Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lebih dari satu jam pria itu duduk di sebuah kafe di kawasan Depok. Berulang kali, dari kursinya, ia melongok ke arah jendela. Ia juga terus memandang orang-orang yang baru masuk dan mencoba mengenali mereka satu per satu. Mulutnya terkatup. Sesekali ia menatap layar laptop. Sore itu, Senin pekan lalu, dia menunggu "paket" penting.
Beberapa saat kemudian, perempuan berdandan tebal menghampirinya. Keduanya bertukar pembicaraan. Setelah menyesap kopi yang baru dipesan, perempuan itu menyerahkan foto dan pergi begitu saja. Kecewa ditinggalkan perempuan bertubuh aduhai? Tidak juga. Ia malah tersenyum dan kembali menyeruput kopinya. "Yes, dapat," ujarnya pelan.
Lelaki itu adalah Wiryono Sudianto alias CJ Ryon. Ia detektif swasta yang cukup ternama di Indonesia. Ryon adalah pemimpin sekaligus pendiri biro penyelidik swasta Panca Indera. Kepada Tempo yang menemaninya di kafe itu, Ryon menjelaskan bahwa perempuan yang baru saja datang adalah agennya—orang yang dia pekerjakan untuk memata-matai.
Sedangkan foto yang diserahkannya adalah bukti perselingkuhan seorang lelaki. Istri si lelaki menyewa Ryon untuk membuktikan kehidungbelangan sang suami. Untuk tugas ini, Ryon tak turun sendiri. Ia mengutus agen wanita tadi. Tugasnya membuntuti sang suami. Agar tidak mencurigakan dan selalu berada di lingkaran dalam pergaulan target, agen itu mencoba berkenalan dan berteman. Berhasil. Ia bahkan bisa hang out bersama sasaran dan dikenalkan dengan selingkuhannya.
Untuk memantau pergerakan agen bersama sasaran, Ryon memasang chip pendeteksi Global Positioning System pada celana dalam agen. Dengan komputer jinjing, dia memantau ke mana chip di celana dalam itu pergi.
Celana dalam "sakti" itu dirakitnya sendiri. Chip-nya, yang dibeli di Cina, ditaruh di bawah bordiran bunga tepat di bagian sensitif sang agen. Mungkin si agen merasa sedikit tak nyaman, tapi tempat itu paling aman. "Agar tidak ada yang berani meraba," katanya kepada Tempo.
Ryon memiliki banyak agen. Kliennya juga berderet. Kasusnya bukan cuma perselingkuhan. Perusahaan asing, perusahaan dalam negeri, instansi pemerintah, bahkan konon kepolisian pernah memakai jasa Panca Indera yang didirikan pada 1997 ini.
Saat perusahaan itu berdiri, Ryon bisa dikatakan tak menemukan pesaing. Baru lima tahun kemudian, mulai muncul beberapa detektif swasta lain. Pada 2006-2011, jasa detektif swasta ataupun intelijen menderas. Bahkan investigator dari luar negeri masuk ke Indonesia. Mereka biasanya mengiklankan jasanya di situs Internet atau di koran-koran.
Ketua Dewan Analisis Strategi Badan Intelijen Negara Rubiyanto mengatakan keberadaan detektif swasta di Indonesia sudah terdeteksi lama. Kebanyakan adalah mantan polisi, tapi tidak sedikit juga berasal dari sipil. "Bayaran mereka besar," ujarnya.
Memang besar. Ryon mengklaim mendapat ratusan juta rupiah jika menangani kasus dari perusahaan. "Tarif dasarnya US$ 250 (sekitar Rp 2,3 juta) per jam," kata pria 40 tahun ini. Ia pernah mendapat bayaran Rp 1 miliar untuk satu kasus yang dia kerjakan hanya tiga pekan. Meski jam kerjanya pendek, tenaga yang dia kerahkan cukup besar. Untuk kasus tersebut, ia sampai mengerahkan sepuluh agen. "Jika sudah percaya, klien akan royal," ujarnya.
Munculnya para investigator swasta ini bukan hanya karena bayarannya menggiurkan. Fenomena ini juga menunjukkan ada pasar yang cukup besar. Ada kebutuhan banyak orang untuk menyerahkan penyelidikan ke luar penyelidik resmi seperti polisi. Alasan utamanya, memang kasus-kasus tersebut bukanlah wilayah penyelidikan aparatur hukum.
Salah satu klien CJ Ryon yang kami temui mengatakan mempekerjakan polisi untuk kasus personal tidaklah tepat. Lagi pula, ia menilai, di tangan polisi, pekerjaan belum pasti rampung. "Beda dengan PI (private investigator atau penyelidik swasta). Mereka bisa dipercaya dan kerjanya cepat. Teknologinya tinggi," ujar perempuan 40 tahun yang minta dipanggil Ringgani ini.
Dalam waktu dua pekan, Ringgani sudah mendapat bukti video dan foto suaminya sedang menginap dengan perempuan lain di hotel di Palembang. Selanjutnya, ia meminta CJ Ryon mengambil mobil Ford Focus atas namanya yang dipakai suaminya berdinas di kota itu. "Suami saya marah karena merasa dibuntuti," ujar Ringgani. Untuk segala kerepotan tersebut, pegawai swasta di Jakarta ini membayar CJ Ryon Rp 60 juta.
Mahal? "Ya, tapi harganya setimpal dengan hasil kerja mereka," kata Usula, bukan nama sebenarnya. Usula adalah perempuan Prancis berusia 60 tahun yang sementara tinggal di Indonesia. Dari para penyelidik swasta, foto suaminya berciuman dengan perempuan lain ada di tangannya. Bukti itu dipakai untuk mengajukan cerai di pengadilan negara asalnya. Ia pun resmi berpisah pada 2004. Usula membayar puluhan juta rupiah kepada PT Guard Force Indonesia, yang berhasil membantunya.
PT Guard Force Indonesia, yang berdiri sejak 2004, memang cukup ternama di dunia ini. Pemiliknya adalah mantan polisi Departemen Investigasi Kriminal (CID) Singapura bernama Loreen Neville Djunaidi, 52 tahun. Kliennya tidak sembarangan, dari perusahaan obat ternama, pengacara top Indonesia, sampai lembaga keuangan seperti bank. "Tapi kami juga menerima kasus perselingkuhan," ujar Loreen, mantan istri Direktur Utama Jamsostek Ahmad Djunaidi.
Klien penyelidik swasta ini beragam karena memang banyak lahan yang bisa mereka kerjakan. Selain menyelidiki suami yang berselingkuh, mereka banyak dimintai bantuan memata-matai lawan bisnis sebuah perusahaan, menyelidiki pemalsuan produk, atau membantu pengacara memperdalam riset kasusnya.
Pengacara O.C. Kaligis mengaku pernah memakai jasa private investigator. Ia memakainya dalam kasus tracking atau pelacakan untuk mengumpulkan bukti beberapa kasus perbankan kliennya. Tentu hal itu dilakukan tanpa melanggar hukum. "Keberadaan PI dibutuhkan. Bagaimana kita tahu rumah di Menteng nomor 56 milik siapa. Ada sertifikatnya atau enggak," ujarnya.
Lahan dengan bayaran asyik dan klien yang tidak sedikit ini juga menarik perhatian AJ Cacio, detektif swasta dari Amerika Serikat. Pada 2009, perempuan ini mendirikan Gecko Investigations di Bali. AJ telah menangani ribuan kasus perselingkuhan, penipuan asuransi, orang hilang, dan investigasi kejahatan.
Selain mereka, ada nama-nama populer jasa intai di Jakarta, seperti Indonesia PI dan Jakarta Detective International. Untuk yang lokal, ada Private Investigasi (Blue Agent) di Surabaya. Lalu ada Jogja Detective 86 di Yogyakarta dan Bali Eye Private Investigations di Bali. "Detektif lokal saat ini tumbuh subur. Jika dapat nama, bisnis ini memang basah," kata Ryon, yang memiliki mobil sport dan motor gede dari hasil kerjanya menjadi detektif.
Masalahnya, bisnis ini masih berada di wilayah abu-abu. Ada yang membolehkannya, ada yang tidak, ada juga yang menganggapnya oke-oke saja dengan syarat. Pengacara O.C. Kaligis berharap keberadaan detektif swasta di Indonesia dilegalkan. "Di Singapura saja sudah legal," tuturnya.
Di negara maju, menurut pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana, private investigator memang tak punya kendala. "Namun tidak memiliki kewenangan menangkap. Cukup penyelidikan saja," ujarnya kepada Tempo awal pekan lalu. Yang jelas, aksi detektif tidak akan terbentur birokrasi karena setiap negara bagian memiliki undang-undang keamanan dan investigasi.
Menurut dia, meski belum dilegalkan, aksi detektif swasta yang terkesan mengambil lahan polisi tidak bisa dikatakan ilegal. Ini karena di Indonesia belum ada undang-undang yang mengaturnya. Selama tidak melanggar hukum, pekerjaan mereka sah saja. "Rancangan undang-undangnya saja belum ada. Sepertinya pemerintah belum mau membuat," ujarnya.
Namun Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Boy Rafli Amar mengatakan, pada prinsipnya, pekerjaan detektif swasta di Indonesia tidak dibolehkan. Apalagi, kata Boy, banyak aksi mereka yang melanggar hukum. "Pencurian dokumen informasi itu melanggar hukum. Tidak berizin lagi," ujarnya kepada Tempo.
Boy menegaskan, pihaknya tidak segan menindak detektif yang melanggar, apalagi sampai mengganggu privasi orang lain. "Bisa kena pasal perbuatan tidak menyenangkan. Itu diatur dalam KUHP," katanya. Ia juga membantah anggapan bahwa polisi pernah bekerja sama dengan detektif swasta untuk mengungkap kasus. "Tidak ada kerja sama itu. Keberadaannya saja tidak jelas," tutur Boy.
Rubiyanto mengakui kemungkinan terjadinya pelanggaran itu. "Intelijen (swasta) yang membuntuti orang, kalau ketahuan, bisa lo dilaporkan," ujarnya. Namun, kata dia, investigasi swasta tidak dilarang sepanjang tidak melanggar hukum. Agar batasannya jelas, ia berharap undang-undang mengenai detektif partikelir segera dibuat. "Agar profesional juga. Tidak amatiran," ujar Ryon, yang sependapat dengan Rubiyanto soal undang-undang tersebut.
Sembari menunggu kejelasan itu, para detektif swasta seperti Ryon tetap bekerja. Setelah menghabiskan kopinya dan kelar buang air kecil, dia pamit. Banyak pekerjaan menunggunya setelah bukti awal berupa foto dari agen perempuannya datang. Ia harus mengutus agen lain dan mempersiapkan alat penyelidikan baru. Semua itu dilakukannya di wilayah abu-abu ini.
Heru Triyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo