Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tuan Soen Tjiauw Koe berang. Dia mendapat laporan bahwa Thomas Tjia, menantunya, ketahuan bergandengan tangan dengan seorang siocia (nona) tak dikenal di tengah kemeriahan perayaan Cap Go Meh di kawasan Glodok. Malam itu dia berniat mengintai suami Lies Soen, putri bungsunya, tersebut. Di tengah jalan dia bertemu dengan sahabatnya, Letnan Tjiaw Kie Kang. Tjiauw Koe pun mulai mengomel soal Thomas.
"Lu kira gua bohong? Tadi istri gua, si Lies, si Diana, dan si Wisit, semua sudah lihat sendiri dia bergandengan tangan sama siocia Goei dari Semarang. Kalau dia suka sama siocia, kenapa lamar gua punya anak? Kalau ketemu nanti, gua kemplang kepalanya!" kata Tjiauw Koe (diperankan oleh Didi Hasyim) sambil terbatuk-batuk dan mengacung-acungkan tongkatnya.
Kie Kang (diperankan oleh Didi Merit Hendra) mencoba menenangkannya. "Encek sekarang boleh pulang saja, biar nanti owe yang urusin dan cari tahu," katanya. Dia lalu memerintahkan anak buahnya, Bun, untuk mengantar Tjiauw Koe pulang. Bun hendak menuntun Tjiauw Koe, tetapi orang tua itu menepisnya. "Lu jangan pegang owe. Owe bisa jalan sendiri, tahu!" katanya. Tapi, ketika Bun melangkah di depannya, Tjiauw Koe malah memegang pundak Bun dan bertumpu padanya. Penonton pun tertawa melihat kelakuan kakek sok gagah itu.
Adegan drama Nonton Capgome yang dibawakan para aktor Teater Bejana itu terjadi di Kelenteng Toasebio, kelenteng tua di kawasan Petak Sembilan, Glodok, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu. Veronica B. Vonny menulis naskah drama ini berdasarkan Nonton Tjapgomeh (1930), novel setebal 92 halaman karya Kwee Tek Hoay, sastrawan Tionghoa terkenal yang mendapat tanda jasa Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada November tahun lalu. Sebelumnya drama ini pernah mereka pentaskan di Balai Sarbini pada 2004 dan Gedung Kesenian Jakarta pada 2005. Pentas kali ini merupakan bagian dari pameran seni rupa Jakarta Biennale 2011 dan peringatan 125 tahun kelahiran Kwee.
Drama ini bercerita tentang orang tua Lies yang kolot yang melarang Thomas dan Lies menonton Cap Go Meh berduaan saja. Dalam tradisi keluarga itu, Lies selalu menonton bersama keluarganya. Thomas, yang kesal oleh pelarangan itu, bersiasat dengan sobatnya, Frans Liem (diperankan oleh Bobby Kardi). Frans menyamar sebagai Nona Goei, sahabat Thomas dari Semarang. Thomas menggandeng "si nona cantik" di depan Lies, Nyonya Tjiauw Koe, dan keluarganya yang sedang bersantai di Restaurant Ajam Goreng Njonja Gemoek. Keributan pun pecah di keluarga Lies.
Lies sedih atas kelakuan Thomas. Tapi Diana Ong (diperankan oleh Nurulisa), sahabat Lies, dongkol dan mengajak Lies untuk membalas ulah suaminya. Diana menyamar jadi lelaki dan pergi bersama Lies ke perayaan Cap Go Meh. Di sana mereka malah bertemu dengan orang tua Thomas, Tuan Lioe Beng (diperankan Hari Prasetyo) dan Nyonya Lioe Beng (diperankan Ema), yang tentu saja jadi marah besar kepada keluarga Tjiauw Koe.
Karakter tokoh-tokoh dalam drama ini punya potensi lucu dan pemain mencoba mengeksploitasinya. Lagak Frans yang kenes atau Diana yang sok cool jadi bahan dasar untuk adonan kejenakaan itu. Ada pula Tjiauw Koe yang kolot dan selalu marah-marah, serta pelayan restoran yang selalu mengomel karena tamunya cuma datang dan mengobrol tanpa pesan makanan. Ulah mereka cukup menghibur penonton.
Mereka beraksi di sebuah panggung seluas sekitar 4 x 3 meter di sisi kiri halaman kelenteng. Panggung itu memang terlalu sempit untuk gerak pemain, dan halaman yang hanya cukup dimuati satu mobil membuat penonton mendekat ke panggung. Hampir tak ada jarak antara penonton dan pemain. Namun kondisi itu justru dimanfaatkan Teater Bejana untuk memperluas ruang pentas dengan masuk ruang penonton. Para aktor bermain hingga ke tengah-tengah penonton, dan langkah ini membuat pertunjukan jadi menarik, mirip lenong. "Kami memang menggunakan konsep lenong dan juga musiknya, gambang kromong, untuk pertunjukan ini," kata sutradara Daniel Hariman Jacob.
Ruang yang sempit dan kehadiran pemain di antara penonton ini, meskipun tak bercakap-cakap dengan mereka seperti dalam lenong, membuat penonton terseret ke dalam "dunia imajiner" yang dibangun pemain. Misalkan ketika Tuan dan Nyonya Lioe Beng berbincang sambil menengok ke arah jalan seolah-olah sedang melihat menantunya berjalan dengan lelaki lain, para penonton turut pula menengok ke sana.
Teater Bejana akan mementaskan kembali drama ini di Gedung Kesenian Jakarta pada 2-4 Februari mendatang. Tapi, "Pertunjukan nanti tidak sepenuhnya seperti ini, karena bentuk panggungnya berbeda," kata Daniel.
Kelompok teater yang berdiri pada 2003 itu sudah cukup akrab dengan karya Kwee Tek Hoay. Mereka telah mementaskan naskah drama atau saduran dari karya Kwee, seperti Boenga Roos dari Tjikembang; Pentjoeri Hati, yang diadaptasi dari drama Pentjoeri–Toonelstuk dalem Satu Bagian; dan Zonder Lentera, yang diangkat dari novel Zonder Lentera atawa Hikajatnja Satoe Wijkmeester Rakoes.
Kwee Tek Hoay lahir di Bogor pada 31 Juli 1889 dan meninggal di Cicurug, Sukabumi, 4 Juli 1952. Dia adalah wartawan, sastrawan, budayawan, dan intelektual yang menulis sekurang-kurangnya 115 tulisan, dari soal agama dan filsafat hingga drama dan novel. Beberapa karyanya yang terkenal antara lain drama Allah jang Palsoe dan Boenga Roos dari Tjikembang, yang telah berkali-kali dicetak ulang dan dipentaskan, serta dua kali difilmkan, dan novel Drama di Boven Digoel.
Ayah Kwee adalah sinshe dan pedagang obat Cina, dan Kwee membantu ayahnya berjualan di toko kecil mereka di Bogor. Kwee pernah masuk sekolah Tionghoa tradisional hingga setingkat sekolah dasar serta mengambil les bahasa Inggris dan Belanda. Namun sejak kecil dia dikenal sebagai kutu buku dan sudah tertarik menulis. Drama pertamanya, Allah jang Palsoe, ditulis saat dia berusia 17 tahun. Dia juga menulis artikel untuk pelbagai surat kabar Tionghoa, seperti Sin Po, Li Po, dan Ho Po.
Sebagai jurnalis, dia berturut-turut menjadi pemimpin redaksi harian Sin Bin, mingguan Panorama, bulanan Moestika Panorama, mingguan Moestika Dharma, dan majalah khusus agama Sam Kauw Gwat Po. Pada 1931 dia mendirikan penerbit dan percetakan Moestika, yang melansir karya para pengarang Tionghoa, di Jakarta, dan empat tahun kemudian dipindahkan ke Cicurug.
Menurut Sapardi Djoko Damono, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Kwee Tek Hoay adalah tokoh sastra penting dari masa sebelum kemerdekaan, yang tak hanya menulis karya sastra yang baik, tapi juga teori puisi, sesuatu yang tidak dilakukan sastrawan lain pada masa itu. Pada 1927, Kwee menulis esai panjang tentang puitika syair ketika puisinya ditolak sebuah majalah. Dalam esai itu dia membahas konvensi penulisan pantun dan pentingnya kerapian bentuk.
Pada masa itu muncul gerakan realisme pada drama, yang mencoba meninggalkan bentuk drama tradisional seperti komedi stambul dan opera Melayu, yang sering mengangkat tema romantis seperti kisah 1001 malam. Kwee adalah penulis drama yang meneladani realisme pengarang Norwegia, Henrik Ibsen. Dia mengangkat tema keseharian seperti perkawinan yang tidak direstui orang tua. "Kwee menjadi penting karena mencoba melawan arus drama-drama romantis dan cengeng itu," kata Sapardi.
Kwee juga memaparkan petunjuk pemanggungannya secara terperinci, seperti baju pemain, susunan meja-kursi di atas pentas, dan musik pengiringnya. "Dia bukan yang pertama, tapi dia yang pertama-tama memperhatikan bentuk pemanggungan secara terperinci," kata Sapardi, yang menulis dinamika karya drama dalam setiap jilid dari empat jilid Antologi Drama Indonesia yang diterbitkan Amanah Lontar.
Kwee juga terlibat dalam pementasan. Dalam buku 100 Tahun Kwee Tek Hoay suntingan Myra Sidharta, disebutkan bahwa pada masa mudanya Kwee sudah gemar bermain drama, pernah menjadi sutradara, dan pada 1926-1930 menjadi pemimpin kelompok sandiwara Miss Intan, yang cukup terkenal. Kelompok ini sering pentas keliling di beberapa kota di Jawa Tengah. Mereka kebanyakan membawakan naskah karya Kwee, seperti Drama Gunung Merapi, Drama dari Krakatau, dan Boenga Roos dari Tjikembang. Naskah itu pernah pula dimainkan Opera Melayu Dardanella dengan pemain ternama seperti Miss Dja, Tan Tjeng Bok, dan Andjas Asmara.
Dengan sumbangan yang begitu banyak, Kwee telah mengguratkan garis awal perjalanan drama realis Indonesia. Karyanya pun tak lekang. Penonton masa kini masih tetap dapat menikmatinya, seperti yang terjadi ketika Teater Bejana mementaskan Nonton Capgome.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo