Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAH, seratus juta? Dikit amat?" Hotbonar Sinaga ingat betul kalimat yang dilontarkan seorang anggota DPR. Saat itu, Februari 2010, ia menjabat Direktur Utama PT Jamsostek (Persero) dan sedang berhadapan dengan beberapa anggota Dewan dari Komisi Kependudukan, Kesehatan, dan Tenaga Kerja. Sang anggota Dewan meminta sedikitnya Rp 2 miliar. "Katanya untuk mengamankan Dirut," Hotbonar bercerita kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Perusahaan jaminan sosial tenaga kerja pelat merah itu ditekan gara-gara investasi di Bank Persyarikatan Indonesia—kini Bank Syariah Bukopin—dinilai merugikan negara. Ihwalnya, kepemilikan saham Jamsostek di bank tersebut merosot dari 20 persen menjadi 9,3 persen. Hotbonar menjelaskan penurunan itu dikarenakan perusahaan memutuskan tidak menyetor modal tambahan. Akibatnya, saham terdilusi.
Dua politikus dari PDI Perjuangan dan Partai Demokrat mengancam akan membentuk panitia khusus untuk menyelidiki penempatan dana perusahaan di Bank Persyarikatan. "Kejaksaan bahkan memanggil saya tiga kali. Tapi memang tidak ada kerugian investasi di situ," kata Hotbonar, yang saat itu juga menjadi koordinator Komunitas Pengusaha Anti Suap (Kupas). Pengalaman Jamsostek merupakan salah satu contoh permintaan dana anggota Dewan kepada perusahaan pelat merah. Ihwal upeti ini diungkapkan Menteri BUMN Dahlan Iskan, dua pekan lalu.
Dahlan sebetulnya tak bermaksud membeberkan persoalan ini ke publik. Yang dia lakukan adalah melapor melalui layanan pesan singkat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 19 Oktober lalu, bahwa praktek seperti itu masih ada di perusahaan BUMN. "Tapi kami berhasil menolak." Salinan pesan dikirimkan pula ke Sekretaris Kabinet Dipo Alam.
Laporan itu disampaikan lantaran Presiden, dalam beberapa kesempatan, meminta menteri mengawal anggaran dengan baik. Jangan sampai terjadi kongkalikong. Sekretaris Kabinet, pada 28 September 2012, menerbitkan surat edaran tentang pengawalan APBN 2013-2014. Surat bernomor SE-542/Seskab/IX/2012 itu ditujukan kepada para menteri dan anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, serta pimpinan lembaga pemerintah non-kementerian.
Dalam surat itu, Dipo mengingatkan dan mengajak untuk mencegah praktek kongkalikong dengan oknum anggota DPR, DPRD, atau rekanan, dalam pembahasan perencanaan dan pelaksanaan APBN 2013-2014. "Demi suksesnya pembangunan untuk rakyat dalam sisa masa bakti kabinet," demikian isi surat tersebut, seperti tercantum dalam situs resmi Sekretariat Kabinet.
Dahlan kaget ketika tiba-tiba wartawan menanyakan persoalan upeti alias kongkalikong penggunaan anggaran negara yang terjadi di BUMN. "Dari mana pers tahu? Ini pasti sms saya bocor," ujarnya.
Isu suap, upeti, atau bahkan pemalakÂan oleh anggota Dewan ini terus menggelinding seperti bola liar. Pekan lalu, Dahlan mulai blak-blakan. Ia menyebutkan beberapa BUMN kecil yang menjadi sasaran "pemalakan" oleh politikus Senayan. Antara lain perusahaan penerima dana penyertaan modal negara (PMN).
Dalam APBN Perubahan 2012, dana PMN tercatat diberikan kepada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia Rp 1 triliun, PT Askrindo dan Perum Jamkrindo Rp 2 triliun. Ada pula PMN untuk Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia IV Rp 100 miliar, Perusahaan Penerbit SBSN Indonesia V Rp 100 miliar, PT Dirgantara Indonesia Rp 1 triliun, PT Sarana Multi Infrastruktur Rp 2 triliun, dan BUMN strategis Rp 2 triliun.
Berdasarkan surat Menteri Keuangan Nomor S-318/MK.06/2012, BUMN strategis yang mendapatkan dana PMN tahun ini adalah PT PAL Rp 600 miliar, Pindad Rp 300 miliar, Industri Kapal Indonesia Rp 200 miliar, PT Merpati Nusantara Airlines Rp 200 miliar, dan PN Garam Rp 100 miliar.
Toh dana tersebut sampai saat ini belum bisa dicairkan. Padahal tak sampai dua bulan lagi sudah tutup tahun. Dewan meminta pertemuan sebelum perusahaan mencairkan dana itu. Menurut Dahlan, mekanisme ini aneh karena pemerintah dan DPR telah sepakat. "Harus ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi, atau ke manalah. Intinya, mengapa untuk mencairkan sesuatu yang sudah disetujui harus melalui DPR lagi."
Anggota DPR dari Fraksi PAN, Chandra Tirta Wijaya, menjelaskan, anggaran yang dibintangi memerlukan pembahasan lagi untuk mencairkannya. Penyebabnya, pertemuan sebelumnya lebih membahas persoalan makro. Maka, untuk mendetailkan penggunaan, bahkan sampai ke teknis program, diperlukan pertemuan lagi.
Idealnya, kata Chandra, pembahasan sudah final ketika palu diketukkan tanda anggaran disetujui. Masalahnya, sering kali BUMN membuat proposal atau rencana bisnis ala kadarnya. Tapi Dewan menyetujui anggaran karena perusahaan tersebut memang sangat memerlukan. "Dalam bisnis, cash flow merupakan hal utama. Kalau dana tidak ada, peluang lewat, selesai semua. Karena itu beberapa BUMN kehilangan kesempatan," ujar Chandra, yang pernah bertugas di Komisi BUMN dan sekarang pindah ke Komisi Luar Negeri.
Dalam pembahasan lanjutan itulah, seorang sumber Tempo menuturkan, terbuka peluang untuk negosiasi. Perusahaan kecil—seperti PN Garam dan PT PAL—pun tak luput dari sasaran. Seorang direktur BUMN bercerita diuber-uber seorang anggota Komisi Keuangan dan Perbankan yang meminta fee atas cairnya dana PMN. Mereka sempat mengadakan pertemuan di sebuah kafe di Jakarta. Tapi sang direktur tak memberi kepastian. Dia beralasan tidak berani membelokkan penggunaan uang negara.
"Eh, si anggota DPR malah ngajari." Ia menyarankan agar direksi tak memakai anggaran negara, melainkan memanfaatkan vendor. Hingga pertemuan berakhir, tak ada kesepakatan apa pun. Tapi si anggota Dewan terus mengejar. Menjelang berangkat ke Tanah Suci bulan lalu, ia masih gencar meneleponnya. "Di Mekah pun masih menelepon terus," kata sumber Tempo.
Lain lagi pengalaman Ismed Hasan Putro, Direktur Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia. Menjelang Ramadan lalu, Ismed dihubungi seorang anggota Dewan yang meminta 200 ribu ton gula, sebagai bagian dari kegiatan corporate social responsibility RNI alias gratis. Anggota Dewan itu berencana, gula akan dibagikan ke konstituen di daerah pemilihannya. Ia menyebutkan nama-nama daerah di luar Jawa.
Pembicaraan telepon berlanjut dengan pertemuan. Ismed mempertanyakan kebutuhan gula sebanyak itu. Berdasarkan perhitungan RNI, konsumsi gula daerah tersebut cuma 20 ribu ton setahun. Artinya, volume yang diminta itu bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan 10 tahun. Si anggota Dewan gelagapan. Permintaan akhirnya susut menjadi 200 ton saja. Itu pun tidak gratis. Rajawali meminta dibayar dengan harga produsen. "Transaksi saya serahkan ke direktur anak perusahaan RNI yang menangani pemasaran," kata Ismed.
Bekas Menteri BUMN Sofyan Jalil mengatakan inisiatif transaksi tidak selalu berasal dari anggota DPR. Bisa jadi sebaliknya, direktur BUMN yang menawarkan komitmen atau mengiming-imingi. "BUMN berkepentingan supaya dana segera cair, sementara anggota DPR menginginkan fee. Bisa dua arah."
Pekan lalu, melalui layanan pesan singkat, beredar daftar inisial sejumlah politikus dari berbagai fraksi di DPR yang diduga meminta upeti ke BUMN. Juru bicara Kementerian BUMN, Faisal Hilmi, membantah data tersebut bersumber dari kantornya. Justru ia mengetahui hal itu dari wartawan. "Saya kaget, soalnya tidak merasa mengeluarkan itu."
Politikus PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo, meminta Kementerian BUMN menjelaskan secara gamblang. "Jangan menyebut inisial. Sebut nama lengkap, dari komisi berapa, fraksi apa, dan BUMN apa yang diperas." Tujuannya supaya semua terbuka. Tidak terjadi gosip yang menjurus ke fitnah.
Dahlan stel kendo. Dia menjelaskan hanya akan membuka nama-nama politikus Senayan yang meminta uang kepada BUMN bila diminta oleh DPR. "Saya mengutamakan bersih-bersih di rumah saya terlebih dahulu, daripada ikut campur di rumah orang lain."
Retno Sulistyowati, Ananda Widhia Putri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo