Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka berkumpul di halaman depan sebuah rumah bergaya 1980-an di Kemang, Jakarta Selatan. Suasananya mirip pertemuan akhir pekan keluarga mafia Italia dalam film Hollywood. Ada dua meja makan bertaplak kotak-kotak. Satu meja berisi beberapa pria yang berbicara dan tertawa. Di meja lain ada istri dan anak mereka yang berbicara sedikit kalem. Sesekali satu-dua pria nimbrung ke meja perempuan, sambil memegang pundak istrinya. "Mereka, istri dan anak-anak, yang membuat kami bisa bertahan seperti sekarang ini," kata Ariyo Wahab.
Kita tahu Ariyo bukanlah seorang don mafia—kecuali jika aktor dan musikus ini berniat membintangi The Godfather versi Indonesia. Selain itu, tentu tak ada mafia Italia di Kemang. Pertemuan pada akhir bulan lalu itu adalah kumpul-kumpul rutin anggota band rock dengan Ariyo sebagai vokalis. Yang memetik gitar adalah Coky Sitompul dan Liliek, pembetot basnya Pallo, dan penekan keyboard-nya Bey Blue. Mereka belum punya drummer, karena itu meminta bantuan Robby Funk dari Funky Kopral.
Nama band itu Free on Saturday, singkatannya FOS, alirannya rock 'n' roll, dan ketenarannya sudah menembus Inggris. Mereka menyisihkan 12 ribu band di kolong langit untuk bisa tampil pada Hard Rock Calling 2012, sebuah festival musik outdoor terbesar di Hyde Park, London. Band dan musikus terkenal yang tampil di sana, pada 13-15 Juli, antara lain Bruce Springsteen, Paul Simon, Soundgarden, dan The Mars Volta. FOS tampil pada hari pertama.
Selain mengundang band yang sudah ngetop, panitia memilih band dari seluruh dunia untuk bisa bermain di sana dalam program The Global Battle of the Bands. Pemilihan itu awalnya memakai sistem voting di Internet. Setelah menemukan sepuluh band dengan pemilih terbanyak, juri mengkurasi band mana saja yang layak tampil di tiga panggung. FOS berada di urutan keenam. Juri yang terdiri atas sejumlah musikus, termasuk Steven van Zandt, personel band pendukung Bruce Springsteen, memilih tiga band terbaik: Hey Monea dari Cleveland (Amerika Serikat), Brass Wires Orchestra dari Lisabon (Portugal), dan FOS. Tahun lalu band asal Indonesia, Gugun Blues Shelter, tampil di acara yang sama.
Apa hebatnya FOS? "Kami ingin menyeimbangkan musik Indonesia," kata Ariyo. Maksudnya, mereka ingin memberi pilihan yang berbeda, membuat pendulum tidak hanya bergerak ke satu arah.
Dibandingkan dengan grup rock Indonesia lainnya, FOS memang unik. Mereka mengusung musik rock klasik yang tenar pada 1960 dan 1970-an. Suara yang selalu mampu menyihir kita. Jenis musik yang di antaranya dipopulerkan The Rolling Stones. "Kami memang menyukai The Stones," kata Coky. Dari kantong celana jinsnya menyembul gantungan kunci lidah melet, lambang grup blues rock dari Inggris itu.
Petikan gitarnya, terutama saat memainkan melodi, sangat menggambarkan kesukaannya. Bahkan kita bisa merasakan aura rock itu dari penampilannya. Malam itu dia memakai sweater merah, menempelkan dua anting hitam di daun telinga, dan menggelung rambut panjangnya. Saat manggung, rambut itu selalu dikibas-kibaskan. Ia memang lebih terlihat gahar saat berada di panggung. Tapi, di makam Brian Jones, pendiri The Stones, di Cheltenham, Inggris, Coky menangis sesenggukan seperti anak yang baru kehilangan orang tua.
"Coky yang mempengaruhi saya untuk menyukai Rolling Stones," kata Bey, yang mengenakan kaus bertulisan The Rolling Stones. Bey adalah karyawan Samsung yang dijuluki teman-teman band-nya dengan Superman, karena sering mengganti kemeja kerja dengan kostum panggung dan sebaliknya. Pengakuan yang sama diakui Ariyo, yang menempelkan stiker lidah melet di belakang telepon selulernya. "Dia sudah seperti abang sendiri. Sewaktu saya kecil, Coky pernah tinggal di rumah saya. Dia selalu menyetel The Stones atau musik rock 'n' roll lainnya," kata Ariyo. "Itulah yang membuat rock 'n' roll menjadi seperti rumah buat saya. Ketika mendengarnya, saya seperti kembali ke masa kecil."
Ketiga penyuka Stones inilah yang menjadi anggota awal FOS. Tapi mereka semua menolak untuk dibatasi dalam genre tertentu. "Pengkotakan membuat kami kaku dalam bermusik," ujar Coky. "Kami hanya ingin jujur bermusik, tak harus mengikuti genre tertentu," kata Ariyo. Arus utama mereka memang rock 'n' roll, tapi pengaruh musik lain justru yang memperkaya suara mereka. Masuknya Pallo menelisipkan suasana reggae, dan Liliek diharapkan memasukkan unsur rock progresif yang sangat ia sukai.
Pallo dari Palu, Sulawesi Tengah, tidak terlihat seperti basis band rock. Rambutnya gimbal dan jiwanya reggae. Tony Q adalah guru reggae pertamanya. Ia juga pernah menjadi anggota band reggae Steven and Coconut Treez. "Tapi rock dan reggae itu semangatnya sama, pembebasan," katanya sambil menyantap nasi dan ikan goreng. Dari pemutar CD, terdengar Bob Marley menyanyikan Stir it Up. "Jadi tak terlalu bermasalah saat saya masuk ke FOS," kata dia lagi. Bahkan, dalam album kedua FOS, kontribusi Pallo cukup banyak. Pallo mengaku tak memasukkan anasir reggae secara verbal ke lagu-lagu FOS. "Tapi kita bisa merasakan suasana pantai saat mendengarnya."
Hal itu dimungkinkan karena, siapa pun pencipta lagunya, mereka memberi kebebasan kepada para pemain musik untuk mengisi suara menurut kemauan mereka. Ketika menarik Liliek sebagai pemain gitar kedua, pembagian permainan gitar bukan lagi melodi dan rhythm. "Bergantian saja. Yang masukin melodi bisa saya atau Coky," kata Liliek, yang juga berambut gimbal. "Sering kali lagu jadi amat berbeda, jauh dari ekspektasi pada saat diciptakan," kata Coky.
Tahun lalu mereka meluncurkan album yang namanya sama dengan nama band. Isinya enam lagu: Abnormal, Angel, Mamaku Bilang, Dia Cewek Gue, What's Going On, dan Tonight. Beberapa lagu, terutama yang berbahasa Indonesia, berlirik agak jenaka atau bergaya cakapan sehari-hari. Tak berpuisi seperti banyak lagu rock. Dalam Abnormal, misalnya, "Gue enggak normal, bangun malam hari, tidur siang hari, hidup gue emang enggak normal."
"Album kedua nanti kebanyakan berbahasa Inggris," kata Ariyo. Sudah ada dua single yang mereka publikasikan: Gimme Some Good dan So Easy. Tentu saja fos ingin melanjutkan langkah mereka di London. Mereka yakin musik mereka bisa diterima kuping Barat. Setidaknya itu yang terlihat saat mereka tampil di Hyde Park. "Saat lagu Angel yang mendayu-dayu, mereka berpelukan, dan waktu Abnormal, mereka jejingkrakan. Padahal mereka tak tahu artinya," kata Ariyo. Dengan mengubah liriknya, mereka berharap bisa lebih diterima di luar negeri.
Kekuatan mereka lainnya adalah soal penampilan di atas panggung. Hampir semua personel FOS amat atraktif. Tapi Ariyo, sebagai vokalis, tentu merupakan titik gravitasinya. "Panggung adalah taman bermain gue. Ketika di atas panggung, gue pingin melakukan apa pun yang gue mau. Gue melakukan itu semua karena memang enjoy melakukannya," kata Ariyo. Kali ini dia memakai kaus ketat bergambar kelinci Playboy, celana denim, dan berbagai kalung etnik di leher. Cambang, jenggot, dan kumis selalu dibiarkan liar. Sepanjang satu minggu tak dicukur.
Di atas panggung Jakarta Blues Festival, pertengahan bulan lalu, Ariyo memang menjadikan panggung sebagai tempat bermain. Ia melompat dengan rokok mengepul terselip di bibir. Gayanya adalah gaya rocker 1970-an yang pantang memakai kaus-T ke atas panggung. Dia membebatkan sejumlah syal berwarna psychedelic ke tiang mikrofon, membiarkan rambutnya menutupi separuh muka, berjas beludru yang tak dikancingkan, sepatu bot yang dientak-entakkan, dan celana berpipa ketat. Ia lalu meneriakkan Gimme Shelter dari Stones. "Oh, a storm is threat'ning/ My very life today/ If I don't get some shelter/ Oh yeah, I'm gonna fade away."
Dan, dalam rock 'n' roll, mereka mendapat naungan.
Qaris Tajudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo