Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Hutan sampai Lautan

Para perempuan ini mendedikasikan waktu mereka untuk menjaga kelestarian alam. Rela tidur berhari-hari di tengah hutan.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Swietenia Puspa Lestari./Dokumentasi: instagram diverscleanaction

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Demi menjaga kehidupan satwa liar, Rosa Rika Wahyuni terbiasa menginap berhari-hari di hutan.

  • Fawriza Farhan mendirikan lembaga nirlaba untuk melindungi ekosistem Leuser.

  • Nurain Lapolo mengubah kebiasaan masyarakat yang menebangi mangrove.

TELEPON seluler Rosa Rika Wahyuni berdering pada Rabu sore, 17 April lalu. Di ujung telepon, bosnya, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, meminta Rosa berangkat ke Desa Seumanah Jaya, Kecamatan Ranto Peureulak, Aceh Timur, untuk mengautopsi bangkai gajah. Agus baru mendapat laporan ada penemuan bangkai gajah yang mulai membusuk. “Saya diminta bersiap,” kata Rosa, Ahad, 19 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Putri sulung Rosa, Jasmine, 12 tahun, merengut melihat ibunya berkemas. Ia keberatan Rosa tetap pergi saat Aceh sedang menerapkan lockdown akibat wabah Covid-19. Jasmine juga khawatir ibunya bakal pergi berhari-hari, seperti kebiasaannya selama ini. “Tapi ini tugas Umi, Nak,” ucap Rosa kepada Jasmine.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rosa, 37 tahun, adalah Ketua Tim Medis BKSDA Aceh. Sudah 10 tahun dokter hewan lulusan Universitas Syiah Kuala, Aceh, itu bekerja di tempat tersebut sebagai pegawai honorer. Rosa pernah mendaftar menjadi pegawai negeri, tapi berkasnya ditolak saat verifikasi. Lain waktu ia ingin mendaftar lagi. Tapi, sampai saat tenggat, ia masih di tengah hutan. “Kadang saya bisa menginap di sana sampai 15 hari,” ujarnya.

Dokter Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSD) Aceh, Rosa Rika Wahyuni mengobati luka pada kaki anak gajah di Pusat Latihan Gajah, Saree, Kabupaten Aceh Besar, Aceh./ANTARA/Ampelsa

Rosa dan anggota tim BKSDA lain di antaranya bertugas menyelamatkan satwa liar, termasuk gajah, di seluruh Provinsi Aceh. Salah satu cara mereka adalah dengan memasang global positioning system collar terhadap pemimpin kelompok gajah liar untuk melacak posisi kawanan tersebut. Kalau binatang besar itu kemudian terpantau mendekati wilayah perkebunan, para petugas bisa langsung bergerak menggiring mereka ke luar agar tak sampai terjadi konflik dengan manusia.

Ia juga dipanggil untuk menyelamatkan hewan liar yang terjerat atau mengautopsi yang mati, bergantian dengan dokter lain. Sepanjang 2020 saja sudah ada penemuan delapan gajah mati dan dua gajah terperangkap. “Ke mana pun ditugaskan, Rosa tak pernah menolak,” kata Agus.

Jika tak sedang bertugas ke luar, Rosa bekerja di Pusat Konservasi Gajah milik BKSDA di Saree, Aceh Besar. Salah satu fungsi pusat konservasi itu adalah merawat hewan liar yang terluka. Foto Rosa yang sedang digelendoti anak gajah bernama Amirah sempat viral di media sosial, dua tahun lalu. Menurut Rosa, anak gajah itu menganggapnya sebagai induk. Mereka bisa tertidur lebih lama jika Rosa duduk menemani. “Kalau saya pergi, ia terbangun,” ujarnya.

Di kabupaten yang sama, Fawriza Farhan, 34 tahun, dan temannya mendirikan Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang berfokus melindungi Kawasan Ekosistem Leuser pada 2012. Wiza—sapaan Fawriza—dan kawan-kawannya melakukan advokasi dan konservasi di kawasan yang membentang seluas 2,6 juta hektare dari Provinsi Aceh hingga Sumatera Utara tersebut.

Farwiza Farhan./ Dok TEMPO/Rizki Putra

Mereka, misalnya, membantu para perempuan di Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, mendapatkan izin pengelolaan hutan desa seluas 251 hektare ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2019. Hutan tersebut sebelumnya rusak akibat pembalakan liar dan perburuan. “Karena perambahan hutan itu, desa mereka yang berada di kaki gunung rusak akibat banjir bandang pada 2015,” kata Direktur HAkA tersebut.

Para ibu dari gampong itu sebelumnya dilatih untuk memulihkan dan melindungi hutan. Mereka diajari mendata apa saja hewan dan tumbuhan yang hidup di dalamnya, termasuk mengusir para pemburu dan penebang liar. Februari lalu, mereka membentuk Ranger Mpu Euten alias penjaga hutan yang semua anggotanya perempuan.

Ini adalah salah satu cara Wiza dan teman-temannya mempertahankan luas tutupan hutan di Aceh yang terus menyusut setiap tahun. Pada 2018, misalnya, luasnya masih sekitar 3.004.352 hektare, tapi setahun kemudian berkurang menjadi 2.989.212 hektare. Sepanjang 2018, Aceh kehilangan tutupan hutan sekitar 15.071 hektare atau 41 hektare tutupan hutan hilang per hari.

Nurain Lapolo, 28 tahun, juga terpanggil melestarikan alam. Ia memilih menjaga kelestarian mangrove. Ia tertarik pada tanaman itu sejak kuliah di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Gorontalo. Saat kuliah kerja nyata (KKN) pada 2013, ia ditempatkan di Desa Torosiaje, Torosiaje Jaya, dan Bumi Bahari, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, yang dihuni suku Bajo. Para lelaki di sana terbiasa menebang mangrove untuk dijual menjadi kayu bakar atau sebagai bahan bangunan. “Harga satu kubiknya bisa mencapai Rp 1 juta,” ucap Nurain.

Nurain Japolo saat menanam mangrove dallam peringatan hari konservasi./Dokumentasi Pribadi

Menurut Profesor Ramli Utina, mantan dosen Nurain, masyarakat Bajo percaya mangrove adalah tumbuhan beracun sehingga mereka membabat tanaman itu. “Buahnya memang beracun. Tapi, kalau diolah dengan cara yang tepat, tak berbahaya,” ujarnya.

Bersama kawan-kawan KKN-nya, Nurain memberikan pelatihan kepada para ibu di tiga desa tersebut untuk mengolah buah mangrove menjadi sirop. Edukasi ini berlanjut setahun kemudian ketika Nurain bergabung dalam tim penelitian Ramli tentang mangrove di tiga desa tersebut. Nurain juga mengajak masyarakat menanam mangrove dan mengedukasi mereka tentang pentingnya tanaman tersebut bagi ekosistem laut. Salah satunya menjadi tempat hidup ikan.

Mangrove di tiga desa tersebut kini tumbuh lebat. Para lelaki yang bekerja sebagai nelayan tak perlu lagi kebingungan saat musim angin tiba. Mereka yang sebelumnya tak bisa melaut tinggal pergi ke hutan mangrove. “Di situ mereka sudah mendapat ikan,” kata Nurain.

Swietenia Puspa Lestari, 25 tahun, juga peduli terhadap lautan. Tenia—demikian ia disapa—gelisah ketika menemukan sampah plastik di semua segara yang pernah ia selami. “Bahkan di pulau yang tak berpenghuni pun ada sampah plastiknya,” ujarnya, gemas.

Tenia yang gemar menyelam berinisiatif membuat Divers Clean Action bersama kawan-kawannya pada 2015. Mereka rutin memungut sampah di lautan di sekitar Kepulauan Seribu, sebulan sekali. Sampah yang mereka ambil kemudian didata. Mereka menemukan sebanyak 63 persen sampah di segara dan pantai berasal dari bungkus plastik sekali pakai dan ada sekitar 900 sedotan plastik di setiap 100 meter luas pantai. “Kami mencari datanya langsung untuk menemukan solusi masalahnya,” katanya.

Kegiatan mereka terus berkembang. Tenia dan kawan-kawan mengajak masyarakat, terutama di Pulau Pramuka, Pulau Pari, dan Pulau Harapan, rutin membersihkan pantai dan laut, mengelola sampah yang bisa meningkatkan nilai jual, dan menerapkan kegiatan wisata berbasis lingkungan yang minim sampah. Ada sekitar 500 ribu wisatawan yang berkunjung ke Kepulauan Seribu setiap tahun.

Dari temuan mereka soal sampah sedotan, Tenia dan teman-teman mengkampanyekan tak menggunakan sedotan plastik dan berhasil menggandeng sepuluh restoran besar. Dengan #nostrawmovement, mereka menggandeng restoran waralaba KFC. Mereka juga bekerja sama dengan McDonald's dengan #mulaitanpasedotan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus