Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Perempuan Harapan Bumi

Para perempuan muda ini mendedikasikan diri untuk melestarikan bumi. Ada yang mengambil peran sebagai penjaga ekosistem, pemulih alam yang rusak, penggerak masyarakat, pendidik generasi muda, dan pembela lingkungan. Jalannya tak mudah, tapi mereka tak menyerah.

25 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Perempuan Harapan Bumi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tempo menulis laporan khusus tentang 26 perempuan muda yang mendedikasikan dirinya untuk melestarikan bumi.

  • Lebih dari 100 nama perempuan yang terjalin dalam seleksi. Mereka berasal dari Aceh sampai Papua.

  • Para perempuan tersebut ada yang mengambil peran sebagai penjaga ekosistem, pemulih alam yang rusak, penggerak masyarakat, pendidik generasi muda, serta pembela lingkungan.

JAUH di pedalaman hutan Desa Ujang, Kecamatan Sekatak, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, Sri Tiawati berjuang mewujudkan mimpi. Di tengah medan yang tak mudah, ia bertekad membuka mata sekitar 70 anak suku Dayak Punan yang berada di perkampungan Semeriot akan pentingnya pendidikan. Sri tak mau lagi mendengar kabar ada orang asing yang membabat hutan atau mengambil lahan warga suku Punan. “Orang suku Punan memberikan cap jempol begitu saja karena mereka tak bisa membaca dan menulis,” kata Sri, Selasa, 21 April lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri, 27 tahun, mendirikan Sekolah Adat Punan Semeriot pada 2014. Orang tuanya sempat menentang keinginan itu karena Sri divonis menderita kanker. Namun tekad Sri sudah bulat. Ia bekerja dan menabung gajinya selama delapan bulan untuk modal mengajar. Sri harus menempuh dua jam perjalanan menggunakan ketinting dari tempatnya tinggal di Desa Kelembunan, Kecamatan Sekatak, ke Kampung Semeriot. Ia pun tak menyerah meski berkali-kali ditolak oleh anak-anak di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sri Tiawati

Perjuangan Sri sudah berbuah. Warga Semeriot mulai bisa baca-tulis dan membedakan nominal rupiah. Para orang tua pun kini tak asal membuka lahan. Ada 105 murid yang kini belajar bersamanya. Sri meminta beberapa muridnya mengikuti ujian Paket A untuk mendapatkan ijazah sekolah dasar. Ia juga mengumpulkan uang untuk biaya ujian mereka.

Tekad menjaga alam juga membawa Lia Putrinda, 26 tahun, mengarungi jalan terjal. Lia dan ayahnya, Saptoyo, bahkan sempat mendekam di bui pada 2015. Polisi menuduh mereka memasuki kawasan negara Pantai Clungup, Kabupaten Malang, Jawa Timur, tanpa izin ketika menanam mangrove di 70 hektare wilayah pantai yang rusak tersebut. “Kami masuk ke situ sebagai masyarakat yang melihat ada kerusakan,” ujar Lia.

Lia dan Saptoyo menanam mangrove di Pantai Clungup pada 2005. Mereka kemudian merambah ke Pantai Tiga Warna. Kawasan yang semula gersang itu sekarang menghijau dan menarik minat wisatawan. Lia menjaga hasil kerja mereka selama bertahun-tahun itu dengan menginisiasi Lembaga Masyarakat Konservasi Bhakti Alam Sendang Biru. Mereka membuat aturan ketat agar para turis tak membuang sampah sembarangan.

Lia Putrinda

Sri dan Lia mewakili sosok perempuan muda yang bertekad menjaga bumi dengan merawat alam. Kami juga menyajikan kisah perempuan-perempuan lain dari lima kategori: pembela, pelestari, pendidik, penggerak, dan penjaga bumi.

Di antara mereka, ada Solfarina yang menginisiasi pendirian Rimba Satwa Foundation untuk menjaga kelangsungan hidup gajah di Suaka Margasatwa Balai Raja dan Suaka Margasatwa Giam Siak Kecil, Riau; serta Eva Bachtiar yang membentuk Garda Pangan untuk menyalurkan makanan lebih layak makan kepada yang membutuhkan. Juga Lasma Natalia yang membantu perjuangan buruh tani Indramayu dan Cirebon melawan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batu bara.

Dalam momen peringatan Hari Kartini dan Hari Bumi ini, kami ingin menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi tak tergantikan dalam gerakan besar menghadapi krisis iklim.

Solfarina

Mereka meneruskan jejak perempuan-perempuan legendaris dari generasi sebelumnya yang telah membuka jalan dalam konservasi alam. Dunia tentu sudah lama mengenal kiprah Jane Goodall, Dian Fossey, dan Birutė Galdikas pada 1960-1970-an.

Para peneliti perempuan itu memperkenalkan kita pada dunia primata dan meletakkan dasar-dasar pemahaman kita soal pentingnya upaya pelestarian alam. Berpuluh tahun, Jane, Dian, dan Birutė hidup di pedalaman rimba Tanzania, Rwanda, dan Indonesia, dan mengajari kita betapa pentingnya alam bebas untuk kesinambungan hidup simpanse, gorila, dan orang utan.

Kini semua orang akrab dengan nama Greta Thunberg, aktivis konservasi dari Swedia, yang lantang menuntut pertanggungjawaban para politikus dan pemimpin dunia soal kerusakan alam. Sejak masih amat belia, Greta sudah berbicara tentang pentingnya kemauan politik semua negara untuk bersama-sama mengubah keadaan.

Lasma Natalia

Indonesia juga punya tokoh-tokoh pejuang bumi dengan militansi serupa. Penelusuran kami sejak awal tahun ini menemukan ratusan nama aktivis perempuan belia yang bergerak di bidang konservasi alam dengan karya dan perjuangan luar biasa.

Untuk mendapatkan sosok-sosok perempuan mumpuni itu, kami melakukan serangkaian diskusi dengan Kepala Departemen Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Khalisha Khalid, Manajer Komunikasi World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia Dewi Satriani, dan Manajer The Climate Reality Project Indonesia yang juga Ketua Tim Ahli Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim, Amanda Katili. “Penting untuk menjangkau teman-teman yang berada di daerah, yang tak terekspos oleh media sosial dan pemberitaan,” kata Khalisha.

Selain berdiskusi dan memantau media sosial, kami menyebarkan pengumuman lewat komunitas-komunitas peduli lingkungan. Kami mengundang mereka untuk mendaftarkan nama kolega mereka yang berjuang dengan segala keterbatasan dan berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Eva Bachtiar

Dalam sepekan pertama, hampir 100 nama—dari Aceh hingga Papua—masuk ke redaksi. Kiprah mereka sungguh menghangatkan hati.

Melalui proses verifikasi berlapis, kami akhirnya membuat daftar final yang lebih pendek. Kami berfokus pada mereka yang dampak perjuangannya sudah terasa dan bisa menginspirasi kaum muda yang lain. Nama-nama tersebut kami diskusikan lagi dengan beberapa ahli.

Kami berbicara panjang dengan Direktur Eksekutif Humanitarian Forum Indonesia Hening Parlan. Ia sebelumnya bekerja di Walhi dan Indonesian Society for Disaster Management. Kami juga berdiskusi dengan Rina Kusuma, yang kini bekerja sebagai Public and Youth Mobilization Manager EcoNusa, dan Mardiyah Chamim, jurnalis yang banyak bergerak di bidang lingkungan.

Adapun lima kategori yang kami tentukan berdasarkan beragamnya latar belakang para tokoh di daftar tersebut. Ada perempuan yang menjaga alam dari kepungan pembalak liar dan pemburu ilegal, ada juga mereka yang memulihkan alam yang rusak dan memperkenalkan cara mengolah bumi tanpa mencemarinya. Kategori berikutnya adalah perempuan yang menggerakkan masyarakat agar kian sadar terhadap ancaman perubahan iklim dan mengubah gaya hidup mereka. Lalu para pendidik yang membuka mata generasi masa depan agar tak mengulangi kesalahan pendahulunya dalam merusak alam. Terakhir adalah mereka yang membela bumi dan menuntut para perusak lingkungan sampai ke meja hijau.

Di setiap kategori, kami memutuskan ada satu tokoh utama yang belum banyak terekspos sebagai fokus liputan. Mereka dipilih karena sukses melalui tantangan yang tingkat kesulitannya di atas rata-rata.

Tentu kami menyadari masih banyak perempuan muda hebat di luar sana. Tak tertutup kemungkinan ada nama lain yang perjuangannya tak kalah gigih tapi luput dari radar kami. Tapi setidaknya kami berharap 26 perempuan dari lima kategori ini bisa memantik harapan kita semua akan masa depan bumi yang lebih baik.

 


 

Penanggung jawab: Sapto Yunus, Dody Hidayat  | Pemimpin proyek: Nur Alfiyah  |  Penulis: Agung Sedayu, Aisha Shaidra, Hussein Abri Dongoran, Gabriel Wahyu Titiyoga, Linda Trianita, Mahardika Satria Hadi, Moyang Kasih Dewimerdeka, Nur Alfiyah  |  Penyunting: Agoeng Wijaya, Bagja Hidayat, Dody Hidayat, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Sapto Yunus, Stefanus Pramono  |  Penyumbang bahan: Dini Pramita, Made Argawa (Bali), Kukuh S. Wibowo (Surabaya), Nurhadi (Surabaya)  |  Fotografer: Gunawan Wicaksono, Prima Mulia (Bandung), Aris Novia Hidayat (Surabaya)  | Periset foto: Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih  |  Penyunting bahasa: Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian, Uu Suhardi  |  Desainer: Djunaedi, Munzir Fadly, Lukmanul Hakim, Kuswoyo  Digital: Rio Ariseno, Riyan Akbar, Imam Riyadi Untung

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus