Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagi dunia bisnis, Theodore Permadi Rachmat bukanlah nama sembarangan. Teddy, begitu ia akrab disapa, pernah menjadi pemimpin puncak Grup Astra. Selama bertahun-tahun Teddy dikenal sebagai tangan kanan William Soeryadjaya, pendiri Astra yang masih terhitung pamannya.
Di luar Astra, ia pernah pula menempati posisi terhormat sebagai anggota Dewan Ekonomi Nasional semasa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid.
Setelah meninggalkan kursi empuk Presiden Direktur Astra, Teddy kini lebih disibukkan dengan kegiatan sosial. Dari kantor pribadinya di Menara Kadin, Jakarta, ia mengatur usaha pembiayaan kredit mikro untuk membantu pedagang kecil. Bersama putranya, ia juga mendirikan yayasan yang membantu memberikan beasiswa untuk para mahasiswa.
Semua langkahnya itu dilandasi tekad untuk memerangi kemiskinan dan kebodohan, yang masih disandang jutaan rakyat Indonesia. Teddy ingin mendorong agar mereka tidak menyerah. Alasan lain, ia yakin orang yang pandai tak akan menderita kelaparan. Dan kemakmuran yang lebih merata akan mampu meredam konflik yang kerap muncul, terutama antara pribumi dan golongan keturunan Tionghoa seperti dirinya.
Teddy telah mengecap pedihnya pertikaian antargolongan itu sejak dini. Di usia empat tahun, bersama orang tuanya ia harus mengungsi dengan menggunakan truk Belanda dari kampungnya karena golongan keturunan Cina dituding menjadi kolaborator Belanda.
Kemudian, sewaktu terjadi kerusuhan anti-Cina pada 10 Mei 1963 di Bandung, sebagai mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) ia ikut jadi sasaran bentakan sesama rekan di kampus. Peristiwa Malari 1974 juga menjadi guratan getir dalam sejarah hidupnya. Kala itu, Astra—perusahaan tempatnya bekerja yang merakit mobil-mobil Jepang—menjadi sasaran aksi unjuk rasa anti-Jepang.
Namun, dari semua peristiwa yang pernah dialaminya, ia mengaku sangat ngeri ketika terjadi kerusuhan Mei 1998. "Saya tak habis pikir mengapa rakyat yang santun berubah menjadi buas," katanya dengan nada sedih. Akibat peristiwa itu, banyak temannya kabur ke luar negeri. Tapi ia memilih tetap tinggal di Indonesia. Mengapa?
Ia mengaku merasa bersyukur dengan apa yang telah diperolehnya di negeri ini. Cuma sedikit orang Indonesia, katanya, yang sempat mengenyam posisi istimewa memimpin Astra. Tak banyak pula orang Indonesia yang bisa berkantor di Menara Kadin dan punya rumah di daerah Kuningan seperti dirinya. Karena itu, masa pensiun dari dunia eksekutif dijalaninya untuk menjalankan obsesinya selama ini. "Saya bertekad memerangi kemiskinan dan ignorance di negeri ini," katanya dalam sebuah pertemuan dengan puluhan eksekutif di Jakarta, bulan lalu. Ia tampak serius. Pipinya memerah dan matanya tampak sedikit berkaca.
Jumat dua pekan lalu, kepada Nugroho Dewanto dari TEMPO, di kantornya yang asri dan nyaman di Menara Kadin, Jakarta, Teddy bercerita panjang lebar mengenai pekerjaan barunya itu. Ia juga berbicara tentang ekonomi, bisnis, dan hubungannya dengan demokrasi. Berikut petikannya.
Bagaimana kondisi bisnis sekarang dengan suku bunga yang masih tinggi, inflasi tinggi, dan nilai rupiah masih lemah?
Di bawah Pak Dorodjatun dan Pak Boediono, makroekonomi sebetulnya mulai membaik. Sebelum tragedi Bali, orang sebetulnya sudah mulai optimistis. Lalu tiba-tiba ada bom. Tapi, kalau pemerintah segera bertindak rapi dan tegas, masalah ini juga akan segera bisa diatasi.
Bukankah anggaran kita masih ada masalah, terutama dalam jangka panjang, karena persoalan utang dalam negeri berupa obligasi rekap yang begitu besar?
Sebelumnya saya juga sempat pesimistis melihat beban utang dalam negeri. Waktu tinggi-tingginya, perbandingan jumlah utang dengan produk domestik bruto mencapai 110 persen. Tapi sekarang sudah di bawah 80 persen, dan pada tahun 2004 turun lagi menjadi 65 persen. Itu kan sudah lumayan kendati belum sempurna. Kalau fiskal ingin lebih membaik, pertumbuhan ekonomi harus didorong jangan cuma 3-4 persen, tapi naik menjadi 7-8 persen. Kemudian pajak juga harus dibenahi.
Bagaimana mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara kita tak punya stimulus?
Kalau tak punya uang, paling tidak kita membuat kondisi senyaman mungkin. Sekarang misalnya dalam dua minggu bisa keluar Perpu Anti-Terorisme, laskar-laskar dibubarkan, Pak Nurcholish Madjid mengatakan tak ada hubungan antara agama dan terorisme. Itu semua kan bagus. Pertanyaan saya, mengapa itu semua tak dilakukan sejak tahun lalu. Jadi, yang penting ke depan kita harus melakukan pembenahan secepat mungkin. Bila Indonesia nyaman, saya yakin investor akan kembali.
Bagaimana dengan tingkat risiko negara (country risk) kita yang masih tinggi?
Tingkat risiko itu kan enggak bisa kembali dalam sekejap mata. Kita perlu setahun dua tahun untuk membereskan semua. Mari kita bikin negara kita lebih rapi ketimbang negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Bukankah kita tak lebih bodoh dari mereka?
Bagaimana pula dengan aksi unjuk rasa buruh yang sering terjadi?
Kami memang tidak nyaman dengan soal perburuhan. Itu harus cepat ditertibkan. Hukum dan peraturan untuk ketenteraman kerja juga harus dibereskan.
Bukankah semua ini terkait dengan penegakan hukum yang sangat lemah?
Itu tergantung keberanian pemimpin untuk mengubah. Contohnya waktu Baharuddin Lopa jadi Jaksa Agung, kita semua senang. Sayang, dia cepat wafat. Coba kalau kita punya 50 orang saja seperti beliau, persoalan Indonesia bisa cepat selesai. Negara kita butuh sistem yang mapan dan juga pemimpin yang kuat. Sekarang ini kita sedang transisi dari era otoritarian ke demokrasi. Kalau demokrasinya kebablasan, tugas pers untuk mengoreksi.
Kalau disuruh memilih, mana yang Anda pilih: situasi bisnis saat sekarang atau seperti masa Orde Baru dulu?
Saya lebih memilih kondisi sekarang. Saat ini, kalau bekerja dengan baik, kita tak perlu nyetor kiri-kanan, nyetor ke partai atau ke pemerintah.
Saya sebagai komisaris di Unilever, Heineken, Bir Bintang, dan Astra sudah merasakannya. Kami tak perlu bayar apa-apa. Sekarang enggak ada yang bisa memaksa kami.
Tapi bukankah praktek percaloan yang subur di masa Orde Baru itu sekarang juga masih merajalela?
Calo memang masih banyak. Biasanya kalau jual barang ke pemerintah pusat maupun daerah, orang yang minta komisi yang enggak pantas itu banyak sekali. Mungkin jumlahnya malah lebih banyak sekarang ketimbang dulu. Maka saya mempertanyakan apakah kita masih mau mempertahankan praktek seperti itu.
Mengapa Anda tak menolak saja praktek itu?
Kadang-kadang kami menolak, kendati risikonya harus kehilangan pekerjaan bernilai besar. Tapi, kalau tidak begitu, kapan kita berhenti melakukan praktek tersebut?
Apa lagi hal yang positif dari situasi sekarang?
Sekarang enggak ada lagi kebijakan yang menyesakkan hati, misalnya kebijakan mobil nasional. Sekarang itu siapa yang ahli, dia yang menang. Kalau dulu pengusaha harus menggantungkan diri pada kekuasaan, sekarang tak perlu. Sekarang, kalau dia kompeten, market-nya tak hanya di dalam negeri, dia pasti bisa maju.
Jadi Anda melihat iklim demokrasi sekarang sangat baik buat berbisnis?
Sebelum terjadi tragedi Bali, saya optimistis sekali dengan Indonesia. Dengan adanya perubahan konstitusi untuk memilih presiden secara langsung, berarti demokrasi sudah jalan. Syariat Islam tak diterima, ini hal yang bagus. Perkataan pribumi dan nonpribumi sudah dihilangkan. Jadi, menurut saya, kondisi politik sudah sangat kondusif.
Sebagai pengusaha, apa yang Anda lakukan untuk membantu bangsa yang sedang terpuruk ini?
Saya ingin memerangi kemiskinan dan kebodohan. Misalnya dengan memberi pembiayaan kredit mikro untuk pedagang kecil. Sekarang sudah ada 20 ribu nasabah. Dalam waktu sepuluh tahun saya targetkan berkembang menjadi 2,5 juta nasabah.
Mengapa begitu yakin?
Karena kredit macetnya kecil. Selama tiga tahun pertama, kredit macet kami cuma 2 persen.
Berapa plafon pinjaman untuk kredit mikro ini?
Rp 500 ribu sampai Rp 1 juta. Pinjaman diberikan tanpa agunan. Bunganya 2 persen sebulan. Pinjaman hanya diberikan untuk kegiatan produktif. Kalau peminjam tak membayar, semua anggota lain dalam kelompok harus ikut membayar. Kami mencontoh sistem yang dikembangkan Ibu Zaafril di Jawa Timur.
Dengan kendaraan apa Anda melakukan pembiayaan kredit mikro itu?
Saya mendirikan yayasan, namanya Yayasan Para Sahabat. Yayasan itulah yang memiliki bank perkreditan rakyat (BPR) yang menyalurkan kredit. Kemudian saya menyuruh putra pertama saya mendirikan yayasan untuk memberi beasiswa kepada mahasiswa S-1. Sekarang sudah ada 500 mahasiswa yang kami bantu.
Di mana kredit ini sudah mulai jalan?
Sekarang baru ada dua BPR di Jawa Barat. Tahun depan kami rencanakan ke Jawa Tengah. Saya juga membantu HIPMI dan Kosgoro untuk melakukan hal yang sama. Saya berpandangan makin banyak yang melakukan hal ini, makin baik.
Dari mana modal awal untuk membiayai BPR itu?
Dari saya dan Pak Benny Subianto. Kemudian bank-bank ikut membiayai.
Berapa jumlah aset kedua BPR itu?
Sekarang Rp 15 miliar, tahun depan kami targetkan naik menjadi Rp 40 miliar. Tahun berikutnya lagi Rp 100 miliar.
Berapa porsi antara modal sendiri dan pinjaman dari bank?
Sesuai dengan peraturan mengenai BPR, yaitu 1:8. Artinya, jumlah modal sendiri seperdelapan dari keseluruhan modal.
Apakah ada pembiayaan dari luar negeri juga?
Kami memang mendapat dana dari Grameen Bank di Bangladesh. Tapi lebih baik kalau bank dalam negeri ikut membantu. Sekarang kami sudah mendapat kucuran dari BNI. Sementara itu Bank Mandiri dan Danamon sudah berjanji akan ikut membantu.
Ada orang bilang, pengusaha biasanya melakukan kegiatan sosial setelah sukses berbisnis untuk menebus "dosa", bagaimana dengan Anda sendiri?
Motif orang sebaiknya tak usah ditanyakan. Yang penting menurut hati nurani, baik atau tidak. Orang mau omong apa, bukan urusan kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo