Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Kaki Hercules ke Wadi Rum

Dari Mesir, perjalanan dilanjutkan ke Yordania dan Laut Mati. Lalu menuju gurun pasir bernama Wadi Rum, tempat dulu Lawrence of Arabia, petualang Inggris, berkelana.

6 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah melayari Nil, saya melanjutkan perjalanan ke Yordania, negara yang punya posisi unik. Negara ini dikepung perbatasan Suriah, Irak, Palestina, Israel, Arab Saudi, dan Mesir. Melihat situasi politik para tetangganya, negara ini layak disebut terletak di pusaran konflik Timur Tengah. Yang menarik, di tengah panasnya suasana Timur Tengah, Yordania selama ini bisa mempertahankan suasana yang relatif aman.

Pada 1995, saya pernah mampir ke Amman. Saat itu saya mengambil kesimpulan bahwa ibu kota negara ini terasa kurang mentereng karena beberapa kali saya bertemu dengan gembala dan rombongan kambingnya yang merumput di pinggir-pinggir jalan raya. Kini gembala sudah tidak ada, sementara bangunan mengkilat dan tinggi tampak tumbuh di mana-mana. Selepas dari Mesir yang kurang teratur, Yordania terasa begitu modern. Konsekuensinya, standar harga di sini beberapa kali lipat di atas Mesir. Satu dinar Yordania sama nilainya dengan belasan ribu rupiah.

* * * *

Kota tua Amman terletak di sebuah lembah yang diapit beberapa bukit landai. Hampir seluruh permukaan bukit-bukit ini diselimuti rumah dan bangunan yang berbentuk kotak-kotak berwarna putih abu-abu. Di kaki lembah ini masih berdiri Roman Theater, sebuah teater terbuka dari batu peninggalan Romawi. Kami naik ke puncak Jabal al-Qalaa, tempat berdirinya Citadel dan reruntuhan Kuil Hercules dari masa Romawi. Dari puncak bukit ini, panorama Kota Amman terlihat indah. Saat waktu asar datang, terdengar alunan azan dari segala penjuru bukit dan lembah di bawah kami, mengirimkan gema bersahut-sahutan yang merdu.

Di kaki Kuil Hercules ini, saya membentangkan peta dan membuka buku petunjuk pariwisata untuk memastikan rute menyusuri daratan Yordania menuju Laut Mati, Aqaba, Wadi Rum, dan Petra. Peta memperlihatkan rute kami akan melintasi gurun, perbukitan, desa-desa, dan jalan besar.

Laut Mati adalah tujuan pertama setelah keluar dari Amman. Mobil yang saya setir sendiri membelah jalan besar Yordania dengan kecepatan sedang. Setelah menyetir sekitar tiga jam dan melewati jalan berbukit, saya melihat di kejauhan bidang air biru terang yang luas terbentang di tengah bukit-bukit gurun yang tandus. Air yang diam tidak beriak terasa misterius. Semakin mendekat ke pantai Laut Mati, jalan semakin turun. Beberapa kali kami menguap dan membuka mulut untuk membebaskan kuping dari tekanan udara, mirip saat naik pesawat.

Tekanan udara yang kuat ini terjadi karena pantai Laut Mati tidak sejajar dengan permukaan laut biasa. Lokasi Laut Mati menempati salah satu titik terendah di muka bumi, tepatnya 423 meter di bawah permukaan laut. Di pinggir jalan kadang ditulis berapa kedalaman tempat ini di bawah permukaan laut. Dari jalan yang dibangun tepat di tepi air ini, kami bisa melihat bangunan-bangunan yang padat di balik Laut Mati. Itulah kota dan permukiman yang dikuasai Israel. Badan air sepanjang 67 kilometer dengan lebar 18 kilometer ini memanjang di Lembah Yordan dan dibagi oleh tiga negara, yaitu Yordania, Israel, dan Palestina di Tepi Barat.

Sepanjang jalan saya melihat batu-batu dan pasir pantai disepuh oleh butiran putih garam. Kandungan garam di Laut Mati sangat tinggi, mencapai 29 persen—bandingkan dengan laut umumnya, yang biasanya hanya 4 persen. Konon, sekitar 3 juta tahun lalu, terbentuk retakan di Lembah Yordan yang terisi air laut dan kemudian membentuk Laut Mati ini. Dengan iklim, penguapan tinggi, dan suasana alam sekitarnya, airnya jadi punya kandungan mineral yang berbeda dengan laut biasa.

Karena kepadatan garam di air Laut Mati inilah manusia akan terus mengapung di permukaannya tanpa harus berenang. Karena itu pula laut ini tidak bisa direnangi ataupun didiami ikan dan tidak ada makhluk hidup besar yang bisa bertahan hidup di dalamnya. Karena itulah antara lain danau ini disebut Laut Mati.

* * * *

Saya mengarahkan mobil ke salah satu pantai yang terbuka buat umum. Di tempat parkir yang memanjang, sudah banyak mobil pribadi dan mobil sekolah. Di pantai ini tampak anak-anak sekolah dan orang dewasa berendam di pinggir laut yang dangkal. Beberapa orang tampak berenang agak menjauh. Kebanyakan saling bercanda sambil memperlihatkan mereka bisa melayang di atas air, tanpa melakukan apa-apa.

Ketika saya mencecahkan kaki ke air Laut Mati ini, terasa airnya "berat". Ketika memasukkan seluruh badan ke air, saya merasa ada daya aneh dari bawah air yang menolak badan saya hingga mengapung ke permukaan. "Hati-hati, jangan sampai air masuk ke mata," begitu tulisan yang terpampang di papan pengumuman di tepi pantai. Dengan kandungan garam yang besar, airnya bisa membuat mata perih dan mengalami iritasi. Beberapa bagian telapak kaki saya yang pecah-pecah terasa perih begitu menyentuh air.

Beberapa orang tampak saling mengoleskan lumpur Laut Mati yang hitam ke badan mereka. Air dan lumpur Laut Mati dikenal kaya dengan mineral bermanfaat, seperti sodium klorida, magnesium, dan potasium, sehingga bisa menjadi obat serbaguna untuk bermacam penyakit. Ada catatan yang menyebutkan salah satu spa pertama di dunia muncul di Laut Mati, di zaman Mesir kuno. Sampai sekarang, di sekitar Laut Mati banyak pusat kebugaran yang menawarkan mandi dengan lumpur Laut Mati, yang antara lain dapat menyembuhkan rematik dan sakit kulit serta bisa meremajakan kulit. Mereka juga menyediakan produk dalam botol yang berisi lumpur hitam dari Laut Mati.

Selepas berendam di Laut Mati, saya mengarahkan mobil menyusuri pantai menuju selatan karena ingin bermalam di Petra, kota kuno yang dibangun dengan menatah batu cadas berwarna merah (lihat "Petra, Kota Cadas Merah Mawar").

* * * *

Mobil terus turun ke selatan melewati kawasan di tengah gurun pasir bernama Wadi Rum, yang dikenal sebagai tempat melihat bagaimana suku Beduin hidup. Kawasan gurun yang dikelilingi bukit batu berwarna merah yang mempesona ini antara lain dikenal melalui Lawrence of Arabia, yang konon beberapa kali melewatinya.

Jalan menuju Wadi Rum tidak ramai, beraspal mulus, lurus, dan datar. Ke segala arah kami memandang, yang tampak hanya gurun tak berujung, dan ujung aspal seperti berair akibat efek fatamorgana. Di tengah jalan gurun ini, beberapa kali kami bersua dengan gembala dan serombongan kambingnya.

Saya sempat salah jalan karena Global Positioning System tidak mengenali tujuan kami dan sejauh beberapa kilometer tidak ada orang untuk ditanyai. Begitu ada lahan pertanian di tepi jalan, saya segera turun dan bertanya kepada seorang bapak tua yang menggarap ladangnya. Belum lagi tuntas jawabannya, si bapak tua malah mengajak kami mampir ke rumahnya untuk minum teh. Ternyata apa yang saya baca di buku travel bahwa orang Yordania ramah dan suka mengajak minum teh ke rumah itu terbukti.

Ketika Wadi Rum terbentang di muka, susunan bukit cadas merah yang menjulang di sana-sini bagai muncul dari perut padang pasir. Salah satu yang terkenal adalah Seven Pillars of Wisdom, bukit batu yang menjulang tinggi, yang tampak terdiri atas tujuh pilar raksasa berwarna merah. Kawasan yang dilindungi ini masih didiami suku Beduin yang terbiasa hidup di gurun pasir. Untuk bisa menikmati keindahan Wadi Rum, mendaki bukit pasir lembut (sand dune), melihat mata air yang muncul dari sela batu gurun, serta melihat jejak manusia prasejarah, para turis harus dipandu suku Beduin asli dengan naik mobil jip 4-wheel-drive-nya.

Pemandu saya seorang anak muda Beduin bernama Ahmad, yang cakap dan ramah. Sambil mengetatkan ikat sorbannya, dia menyalami saya. "Saya akan mengajak Anda berkeliling melihat cara hidup kami di gurun," katanya. Belum jauh menyetir, dia menghentikan jip besar tuanya. "Maaf, sebelum jalan jauh, kita mampir sebentar, ya. Sepupu saya menikah hari ini. Kalian semua saya undang jadi tamu."

Kami dibawa ke sebuah tanah lapang di ujung desa Beduin yang dipasangi tenda besar memanjang. Puluhan orang Beduin dengan baju panjang dan sorban tampak duduk mengobrol sambil makan dan minum. "Kalau mau merasakan cara hidup Beduin, kalian harus makan dulu cara kami," kata sang sepupu yang menikah. Menurut tradisi Beduin, tamu adalah orang yang dihormati. Sesudah memberi selamat kepada pengantin laki-laki, kami melanjutkan perjalanan.

Setelah mengurangi tekanan angin ban dan memasangkan sorban gaya Beduin di kepala kami, Ahmad dengan lincah menyetir jipnya berliku di antara cadas-cadas dan bukit pasir. Sekali-sekali dia berhenti untuk menceritakan obyek yang menurut dia mungkin menarik perhatian kami, seperti "unta liar berwarna putih yang selalu menunggu di sini" dan "gua peninggalan manusia prasejarah yang ada lukisan tangan mereka di batunya".

Di kaki sebuah bukit batu, Ahmad meminta kami turun dan berteriak kencang. "Dengar, bukit ini berteriak balik kepada saya," katanya. Dan beberapa detik kemudian teriakannya bergema berkali-kali, bersahut-sahutan. "Coba berteriak seperti saya," ujarnya. Saya pun berteriak-teriak di tengah gurun untuk mendengar empat kali jawaban dari berbagai bukit yang mengelilingi gurun sepi ini.

Dua kali kami bertemu dengan jip lain yang juga mengantar turis. Ahmad dengan riang berteriak, "Itu sepupu saya yang nyetir. Kami keluarga besar sekali." Di balik sebuah bukit, kami berhenti untuk menaiki bukit pasir dan merasakan halusnya pasir merah yang terus berubah-ubah terkena angin. Petualangan gurun ala Lawrence of Arabia kami tutup dengan duduk berselonjor menatap matahari terbenam di puncak bukit batu yang tinggi. Padang pasir yang luas dan bukit-bukit batu berubah menjadi merah ketika matahari turun ke ufuk. Setelah rona merah matahari mulai redup, Ahmad mengantarkan kami ke luar kawasan Wadi Rum.

Malam ini kami menginap di Beit Ali, penginapan bergaya Beduin yang sudah disesuaikan dengan keperluan turis: kamar-kamar kecil seperti tenda dengan atap terpal yang dibangun di gurun pasir di kaki bukit cadas. Walau penginapan ini bergaya tradisional, di kamar-kamarnya sudah ada kamar mandi dengan air panas dan selimut tebal untuk bergelung melawan dinginnya udara gurun.

Ahmad Fuadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus