Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyusuri Sungai Nil, Membelah Gurun 'Lawrence of Arabia'

Tinggalkanlah hiruk-pikuk Kairo dan layarilah keheningan Sungai Nil untuk memahami bagaimana peradaban Mesir berdetak dari milenium ke milenium. Novelis Ahmad Fuadi baru-baru ini menyusuri Sungai Nil dari Luxor ke Aswan. Di Luxor dan Aswan, ia mengunjungi kompleks kuil terkenal.

Ia juga merasakan naik balon udara dan mendarat di kawasan Valley of the Kings, yang dikenal sebagai area makam para raja Mesir dari era New Kingdom (1550-1069 sebelum Masehi).

Tak hanya itu, pengarang novel Negeri 5 Menara ini juga menyetir sendiri melintasi gurun, menuju Wadi Rum, tempat petualang tersohor Inggris, T.E. Lawrence, pernah "hilang". Lalu ia ke Yordania, menuju Petra, kota indah misterius yang dipahat dalam bukit batu cadas berwarna merah mawar yang dalam film The Last Crusade membuat Indiana Jones dan ayahnya terkesima. Ikuti catatan perjalanannya.

6 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bunyi langkah kami menyeret koper ke depan hotel terdengar di jalanan Mesir yang sepi dan temaram. Jam masih menunjukkan pukul 4 subuh. Azan pun belum terdengar. Tapi sepagi ini kami sudah bangun. Kairo masih gelap. Tempat yang agak terang di dekat hotel kami hanyalah Egyptian Museum dan Tahrir Square.

Sejenak kemudian, sebuah mobil Hyundai H-1 berwarna putih datang. Dari balik pintu mobil, muncul Muslihuddin Nahid, adik kelas saya di Gontor yang kini menjadi mahasiswa Al-Azhar, Kairo. "Mas, kita perlu cepat, nanti ditinggal pesawat. Yang lain bisa telat di Mesir, tapi EgyptAir tidak," katanya.

Begitu kami sampai di Cairo International Airport, ternyata benar, penumpang sudah diminta boarding lebih awal. "Orang Mesir sudah tahu bahwa pesawat di sini bisa terbang lebih awal," ujar Muslihuddin, tertawa. Kami terbang ke Kota Luxor untuk memulai perjalanan yang sudah lama saya nantikan, yaitu melayari Sungai Nil dari Luxor ke Aswan selama sepekan. Di kepala saya berpendar potongan-potongan gambar Firaun serta kisah Nabi Musa dan Sungai Nil.

* * * *

Berbeda dengan Kairo yang riuh, terburu-buru, dan pengap, Luxor terasa santai dan anginnya berembus sejuk. Terasa seperti kota kabupaten kecil di Tanah Air. Begitu mendarat di Luxor, kami langsung check in di kapal pesiar Nile Ruby berlantai empat yang sedang merapat di dermaga.

Kapal berkapasitas 150-an orang ini tidak penuh. Kamar kami di lantai dua lebih bagus daripada yang saya kira. Seperti kamar hotel berbintang, kamar kami bernuansa kayu dengan pelitur cokelat mulus, lengkap dengan penyejuk udara, televisi, kulkas, dan kamar mandi air hangat. Di lantai atas yang terbuka ada kolam renang, kafe kecil, meja pingpong, dan kursi-kursi malas. Tiket berlayar seminggu ini sudah mencakup makan pagi dan makan malam prasmanan yang lezat. Dan semua ini didapat dengan harga khusus, kurang dari US$ 500. Sebagai bagian dari tur, hari ini kami akan berkeliling Luxor, sebelum mulai berlayar besok.

Luxor atau dulu disebut Thebes adalah ibu kota Mesir di zaman New Kingdom. Bagian timur kota ini, di sisi matahari terbit, adalah tempat dibangunnya kuil dan istana (tanah kehidupan), sedangkan sisi barat, tempat matahari terbenam, tempat dibangunnya kompleks kuburan (tanah kematian). Saking banyaknya situs bersejarah yang tergeletak di udara terbuka di seantero kota, Luxor boleh jadi salah satu open air museum terluas di dunia.

Situs paling terkenal di sini adalah kompleks Kuil Karnak, yang terletak di lahan sekitar 40 hektare persegi dan disebut-sebut sebagai struktur religi terluas di dunia. Kompleks kuil ini didirikan sejak Middle Kingdom (2.000-an tahun sebelum Masehi) dan terus disempurnakan oleh raja-raja setelah itu. Saya menyaksikan di Karnak, semuanya—dari patung sampai gerbang—serba besar, lebar, dan tinggi. Misalnya, di salah satu sudut, ada Great Hypostyle Hall, sebuah ruang yang memuat 134 tiang besar dari limestone yang menggambarkan hutan papirus raksasa. Setiap tiang ini sangat besar sehingga tidak cukup dipeluk oleh tiga atau empat orang dewasa. Di sini pula menjulang obelisk tertinggi di Mesir, setinggi 30 meter. Konon, pucuknya dulu disepuh emas murni untuk memantulkan sinar matahari sebagai penunjuk arah.

Kompleks kuil lain, yang lebih kecil dan lebih muda, adalah Kuil Luxor. Bagian kuil ini kebanyakan dibangun pada dinasti ke-18, sekitar 1.350 tahun sebelum Masehi. Relief serta bangunan dari limestone dan granitnya terpelihara dan terbaca dengan baik. Ratusan atau ribuan tahun kuil ini hilang terkubur pasir dan sudah tertutup oleh rumah penduduk di atasnya. Barulah pada 1885 kuil ini diekskavasi.

Jalan masuk ke kuil dipenuhi jejeran patung sphinx dengan kepala ram, hewan suci milik dewa Amun. Yang menarik, di dalam kuil ini saya melihat ada Masjid Abu Haggag dari abad ke-14. Masjid ini tidak diusik dan dibiarkan berdiri ketika ekskavasi karena menyimpan kuburan ulama terkenal dari abad ke-12. Ketika saya memasukinya, banyak peziarah yang datang mengunjungi makam ulama ini.

"Besok pagi kita berangkat sebelum matahari terbit lagi, ya. Sudah saya siapkan perahu kecil untuk menyeberangi Nil, kemudian kita naik balon terbang," kata Muslihuddin selepas makan malam di kapal.

* * * *

Di subuh buta, perahu kayu kecil kami menyeberangi Nil yang tenang. Ongkos perahu itu sudah mencakup sajian teh panas yang nikmat di pagi yang menggigil ini. Sesampai di darat, kami dibawa dengan mobil menuju sebuah tanah lapang. Di tengahnya sudah menunggu empat balon udara setinggi belasan meter yang dilengkapi keranjang besar di bawahnya. Semburan api dari tabung gas untuk memanaskan udara di dalam balon berkilat-kilat menerangi pagi yang masih temaram.

"Yuk, kita terbang," seru pilot balon kami sambil menambah semburan api ke perut balon. Pelan-pelan keranjang besar yang mengangkut sepuluh orang ini melayang naik ke udara dalam keheningan pagi. Selama beberapa menit tidak banyak penumpang yang berbicara. Yang terdengar hanya desis lembut angin di kuping, sesekali bunyi semburan api yang diatur pilot, serta "klak-klik" kamera kami. Di bawah kami sekarang terbentang kesuburan tanah Nil, yang bersanding kontras dengan gurun dan bukit cadas di sisi lainnya.

Balon kami terus membubung bersama beberapa balon lain, bagai berlomba dengan matahari yang mulai naik di ufuk. Sambil mengendalikan balonnya, pilot bercerita tentang lokasi yang sedang kami lewati: permakaman Mesir kuno, permukiman, serta tanah pertanian Sungai Nil. "Itu Valley of the Kings, tempat beristirahat para raja," katanya sembari menunjuk gugusan bukit batu, tempat yang akan kami datangi.

* * * *

Kawasan Valley of the Kings dikenal sebagai area makam para raja. Lebih dari 60 makam raja dari era New Kingdom (1550-1069 sebelum Masehi) ada di sini. Yang terkenal adalah Hatshepsut, Tutankhamen, Seti I, dan Ramses II.

Namun, sejauh mata memandang, hanya tampak jejeran gunung batu kuning kemerahan. Di mana para raja itu dikuburkan? Setiba di sebuah pintu masuk makam, saya melihat sebuah maket yang memperlihatkan bahwa ternyata para raja Mesir dimakamkan di perut gunung-gunung batu ini. Mereka melubangi dinding bukit, lalu membuat jalan masuk ke perut bumi, yang berliku-liku, ada yang naik dan ada yang turun, kadang berbentuk labirin tanpa pola. Di ujungnya dibuatlah ruangan makam yang diisi mumi dan harta benda raja untuk bekal dia hidup di alam kematian.

Tidak seperti Old Kingdom yang menaruh jasad-jasad rajanya di piramida, para raja generasi New Kingdom ingin jasadnya disemayamkan di perut bukit batu atau ngarai tersembunyi. Itu agar harta benda di makam tidak digasak oleh para perampok makam (tomb raider).

Untuk menuju makam yang letaknya di ngarai antara bukit cadas tersebut, kami diantar dengan mobil listrik khusus. Selama beberapa menit naik, tidak ada yang bisa dilihat selain batu dan dinding cadas. Semakin menanjak, baru kami melihat ada beberapa pintu di pinggang bukit. Pintu itu kecil-kecil dan dijaga petugas keamanan. Makam yang paling sering dikunjungi adalah makam Ramses IX, yang hidup 1.000 tahun sebelum Masehi.

Lubang masuk makam Ramses IX cukup luas dan ada koridor panjang yang dihiasi gambar-gambar beragam binatang, mulai kobra sampai burung, dan tentu saja tulisan hiroglif. Di ujung koridor ada ruang makam besar dengan dekorasi dinding yang berwarna-warni. Kini ruangan ini kosong karena mumi dan harta bendanya sudah digasak pencuri. Meski para raja New Kingdom bersusah-susah mencari lokasi permakaman di perut-perut gunung, ternyata pencuri lebih lihai.

"Ini dia kuil chicken soup," kata pemandu kami yang orang Mesir dengan bahasa Inggris sambil menunjuk ke depan ketika kami tiba di kuil lain, Kuil Hatshepsut. "Sup ayam?" tanya saya. "Itu cuma guyon. Kalau susah mengeja nama kuil ini, kita sebut saja chicken soup, cukup dekat dengan bunyi nama kuil ini, Hatshepsut."

Bangunan yang didirikan Ratu Hatshepsut ini berada di perut bukit cadas dan bertingkat tiga. Dari jauh, kuil untuk Hathor ini terlihat seperti gedung masa kini karena bentuknya yang simetris bertingkat tiga. Tapi, begitu kami mendekat, baru terlihat detail dinding dan patung-patung khas Mesir kuno. Sayangnya, banyak pahatan yang sudah hancur karena dirusak raja penerusnya yang benci kepada ratu ini. Setelah kami puas menjelajahi Luxor, malam itu juga Nile Ruby membuang sauh dan bertolak melawan arus menuju hulu, ke arah Aswan.

* * * *

Kapal kami terasa melayang ketika membelah Nil pagi-pagi. Tidak ada guncangan, hanya terdengar desir lirih air yang dibelah lunas. Sinar matahari yang masih rendah dan hangat membuat air Nil yang biru gelap berubah jadi kuning keemasan. Lebar Nil rata-rata dua-tiga kilometer. Pemandangan tepi sungai umumnya campuran antara palem, ilalang tinggi, dan pasir kuning. Namun terlihat, semakin ke hulu, daratan semakin kering dan tidak jarang pinggir sungai adalah gurun pasir, tidak seperti di Luxor—yang lebih hijau.

Beberapa kali ada tepian tempat berkumpul sapi dan kuda yang sedang merumput ditemani gembalanya. Di tepian lain, tampak beberapa perahu nelayan yang memakai jubah putih hilir-mudik membawa jaring dan pancing. Menjelang Kota Esna, tiba-tiba kami dikejutkan suara raungan beberapa perahu bermotor yang memacu kecepatan mengejar kapal kami. Setelah sejajar, orang-orang dari perahu dengan sigap mengikatkan tali perahu mereka ke sisi kapal kami. Saya langsung ingat adegan pembajakan kapal kargo Alabama di Somalia dalam film Captain Phillips. Untung, mereka tidak membajak, tapi berjualan beragam baju dan selendang Mesir. Transaksinya dengan cara saling melemparkan kain dan uang. Entah bagaimana kalau salah lempar dan kain atau uang masuk ke air.

Pemberhentian kami selanjutnya adalah Kuil Horus di kota kecil Edfu. Kuil yang dicapai dari pinggir sungai dengan kereta kuda ini dijuluki sebagai kuil Mesir yang paling terpelihara seperti aslinya. Itu gara-gara kuil ini ratusan atau ribuan tahun terkubur di bawah kota dan baru digali pada 1860-an. Di dinding luar yang disesaki hiroglif tertulis bahwa pembangunan kuil ini dimulai tahun 237 sebelum Masehi, pada masa Ptolemy II Euergetes. Kuil ini didedikasikan untuk Horus karena kepercayaan lama mengatakan lokasi berdirinya adalah tempat dewa Horus mengalahkan Seth dalam perang untuk membalas kematian bapaknya, Osiris.

Tidak lama setelah Nil meliuk ke barat, kami sampai di Kuil Kom Ombo. Bentuknya seperti kuil Mesir lainnya, tapi bangunan ini unik karena didedikasikan untuk dua dewa sekaligus: Horus dan Sobek, dewa buaya. Di sisi kuil ini ada tempat penyimpanan mumi buaya berbagai ukuran. Memang, orang Mesir kuno juga membuat mumi binatang, seperti reptil, kucing, anjing, dan burung.

* * * *

Setelah lima hari mengapung di atas Nil, pelayaran kami berakhir di Kota Aswan, yang tenang dan santai. Kapal tidak mungkin berlayar lebih jauh karena sudah ada Bendungan Aswan setinggi 110 meter dan melintang sepanjang lebih dari 3 kilometer. Air yang ditahan bendungan inilah yang kemudian menjadi salah satu danau buatan terbesar, Danau Nasser.

Perairan Nil di sekitar Aswan dipenuhi banyak pulau yang enak dikunjungi dengan mencarter felluca, perahu layar tradisional. Kami tidak lupa pula mengunjungi Kampung Nubia, yang berwarna-warni bangunannya. Orang Nubia adalah "pengungsi" yang dipindahkan dari tanah asalnya yang sekarang terbenam menjadi Danau Nasser. Dalam perjalanan pulang dari Kampung Nubia, kami melewati Mausoleum Aga Khan di puncak bukit serta Hotel Old Cataract, yang pernah diinapi orang top dari Winston Churchill sampai penulis Agatha Christie—ketika dia menyelesaikan novel Death on the Nile.

Penyusuran Nil saya belum selesai karena masih ada situs penting yang harus saya jenguk, yaitu dua kuil di Abu Simbel yang terkenal itu. Karena terletak di bagian Nil setelah Bendungan Aswan, lokasi ini kami datangi melalui jalan darat melintasi gurun pasir tak bertepi. Setelah ada serangan teroris kepada turis di lokasi menuju Abu Simbel, daerah yang berbatasan dengan Sudan ini dianggap rawan. Karena itu, perjalanan turis ke Abu Simbel harus dilakukan hanya pada siang hari dengan konvoi kendaraan yang dikawal aparat militer atau polisi.

Menumpang minibus carteran, kami bergabung dengan konvoi yang bergerak dari Aswan sebelum subuh. Selama perjalanan sejauh 300 kilometer, di kiri-kanan kami hanya gurun pasir yang terbentang sejauh mata memandang. Sekali-sekali kami melewati checkpoint yang dijaga ketat tentara yang menghunus senapan. Setelah tiga setengah jam menembus gurun, kami sampai di Abu Simbel.

Kuil Ramses II dan Kuil Nefertari di Abu Simbel punya dua keunggulan arsitektur. Pertama, atas perintah Ramses II (sekitar 1200 sebelum Masehi), dua kuil yang indah ini dibangun dengan melubangi tebing cadas Sungai Nil. Kedua, tahun 1968, atas inisiatif UNESCO dan negara donor, kuil-kuil ini diangkat dan dipindahkan ke tempat yang baru dengan menggotong berton-ton bongkahan batunya satu per satu dan merakitnya kembali seperti sedia kala. Pemindahan kuil terjadi karena pembangunan Bendungan Aswan oleh Gamal Abdel Nasser pada 1972 menenggelamkan lokasi asli kedua kuil.

Kini kedua kuil berada beberapa puluh meter dari bibir Danau Nasser. Di depan dua kuil raksasa ini, saya menengadah sambil membayangkan bagaimana lebih dari 3.000 tahun lalu orang Mesir bisa memahat patung kolosal Ramses setinggi 20 meter itu. Dan bagaimana pula insinyur modern bisa "menggotong" kuil ini dari tempat aslinya.

Ahmad Fuadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus