Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Dari Kebun Sampai Ke Cangkir

LIMA belas tahun setelah benih kopi arabika pertama ditanam di Jawa oleh Belanda pada 1696, Bupati Cianjur Aria Wira Tanu mengirimkan sekitar empat kuintal kopi ke Amsterdam.

25 Maret 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA belas tahun setelah benih kopi arabika pertama ditanam di Jawa oleh Belanda pada 1696, Bupati Cianjur Aria Wira Tanu mengirimkan sekitar empat kuintal kopi ke Amsterdam. Ekspor kopi itu untuk pertama kalinya memecahkan rekor harga dalam lelang di sana. Pada 1726, sebanyak 2.145 ton kopi asal Jawa membanjiri Eropa, menggeser kopi Mocha dari Yaman yang menjadi penguasa pasar. Sejak itu, kopi asal Jawa populer dengan sebutan Java Coffee.

Dua belas tahun sebelumnya, Raja Louis XIV meminta Wali Kota Amsterdam Nicholas Witsen mengirimkan benih Coffea arabica var. arabica yang disebut juga Coffea arabica L. var. typica-selanjutnya disebut tipika. Raja Prancis itu mendengar berita bahwa kopi asal Jawa dihargai tinggi dalam lelang di Amsterdam. Ia menginginkan varietas kopi tersebut menjadi bagian dari koleksi kebun raya Jardin des Plantes yang berlokasi di Paris.

Benih kopi pemberian Nicholas Witsen sesungguhnya berasal dari bantaran Ciliwung, seperti Kampung Melayu dan Meester Cornelis, nama lama Jatinegara, wilayah awal perkebunan kopi di Jawa, yang bibitnya dibawa orang Belanda dari Sri Lanka. Pada 1706, setelah melihat kopi tumbuh berlambak di Jawa, kompeni mengirimkan benih kopi dari Ciliwung ke kebun botani di Amsterdam untuk ditelaah. Kesimpulannya, kopi tersebut berkualitas bagus.

Perwira angkatan laut Prancis kemudian membawa benih kopi dari Jardin des Plantes yang berasal dari Jawa itu ke Martinique, koloni Prancis di Karibia. Pada awal 1720-an itu, Belanda juga mengapalkan benih kopi Jawa ke Suriname. Tergiur oleh harga kopi Jawa yang tinggi, Belanda ingin mengembangkan perkebunannya di sana. Dari kedua tempat itu, benih kopi Jawa kemudian menyebar ke Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Menurut Prawoto Indarto, yang menekuni sejarah kopi, jejak kopi Jawa di Amerika Latin masih terlihat sampai sekarang. "Di kebun mereka ada tipika," katanya dalam diskusi di kantor kami pada akhir tahun lalu. Ia mencontohkan kopi Blue Mountain yang ditanam di Jamaika dan Geisha-ada juga yang menyebutnya Gesha, mengacu pada nama dusun penghasil kopi di Ethiopia-yang tumbuh di Panama.

Di pasar dunia, keduanya menjadi primadona. Harga satu kilogram Geisha bisa di atas US$ 1.000 atau Rp 13 juta dalam kurs saat ini. Sebuah kafe di Los Angeles, Amerika Serikat, menjual secangkir Geisha hingga US$ 55 atau sekitar Rp 750 ribu. Geisha, yang merupakan hasil persilangan tipika dan varietas lain, juga kerap menjadi andalan para baracik dalam kompetisi peracik kopi internasional.

Kedigdayaan Java Coffee surut menjelang 1880. Serangan jamur Hemileia vastatrix menyebabkan pohon-pohon kopi mati. Jamur tersebut memakan daun seperti karat. Itu sebabnya para petani menyebutnya penyakit karat daun. Pada 1880, menurut Prawoto, Jawa kehilangan potensi ekspor sekitar 120 ribu ton kopi dan menyebabkan pasar kopi dunia panik.

Belanda sempat menanam Coffea canephora var. liberica atau liberika untuk menggantikan tipika Jawa, tapi gagal. Pada 1900, perusahaan perkebunan Soember Agoeng di Jawa Timur membeli 150 benih kopi Coffea canephora var. robusta atau robusta dari Pembibitan Hortikultura Kolonial di Brussels, Belgia, yang mengembangkan benih asal Kongo ini.

Robusta terbukti lebih tahan karat daun. Karena itu, konon, nama robusta berasal dari kata "robust" yang artinya kuat. Sejak itu, robusta mendominasi produksi kopi Nusantara. Pada 2016, produksi robusta mencapai 465.600 ton. Sedangkan perkebunan arabika menghasilkan 173.900 ton atau sekitar 27 persen dari total produksi kopi Indonesia. Di dunia, Indonesia adalah negara penghasil kopi terbesar keempat setelah Brasil, Vietnam, dan Kolombia.

Setelah menghilang selama puluhan tahun, kopi arabika Indonesia kembali dinikmati dunia. Data Kementerian Pertanian menunjukkan produksi kopi arabika selama satu dasawarsa terakhir terus meningkat, meski masih jauh di bawah robusta. Selain permintaan dunia, ini agaknya disebabkan oleh makin antusiasnya orang Indonesia minum kopi.

Kedai kopi menjamur hingga ke pelosok. Minum kopi tak hanya menjadi kebutuhan, tapi juga gaya hidup. Para penikmat kopi bahkan sudah tergolong bagian "kopi gelombang ketiga". Mereka tak hanya menyesap kopi, tapi juga mengulik sejarahnya, pengolahan, penyajian, hingga eksplorasi rasa.

Tingginya minat minum kopi Nusantara membuat Slamet Prayogo, pemilik kebun Malabar Mountain Coffee di Pangalengan, Bandung, berhenti menjual kopinya ke luar negeri. "Memenuhi kebutuhan dalam negeri saja kewalahan," ujar pemilik Malabar Mountain, kafe dan tempat sangrai kopi di Bogor, ini.

Kementerian Pertanian mencatat produksi kopi dalam negeri selama beberapa tahun terakhir rata-rata tumbuh 0,93 persen dan pertumbuhan konsumsinya rata-rata 2,43 persen. Angka konsumsi, menurut Gabungan Eksportir Kopi Indonesia, malah lebih tinggi: sekitar 8 persen per tahun, di atas pertumbuhan konsumsi dunia.

Untuk memotret gairah orang terhadap kopi Nusantara, kami menerbitkan edisi khusus ini yang berbarengan dengan musim panen selama Maret-Mei tahun ini. Agar berwarna, kami mengirim Praga Utama, wartawan di desk ekonomi, berziarah ke dataran Gayo di Aceh serta Sidikalang, Lintong, dan Karo di Sumatera Utara. Ditemani Slamet Prayogo, Praga merekam penanaman, pengolahan, tata niaga, hingga kultur masyarakat yang lahir dari kopi.

Praga juga mengunjungi Ciwidey, Malabar, dan Pangalengan, sentra kopi Jawa Barat. Kopi Priangan melejit kembali di luar negeri, mengingatkan pada Java Coffee, 300 tahun lalu.

Untuk memperkaya, kami juga berdiskusi dengan sejumlah praktisi kopi. Selain Prawoto Indarto, yang menulis buku The Road to Java Coffee; ada Mira Yudhawati dari kedai Caswell’s, yang ikut memelopori perkembangan kopi spesialti di Indonesia; dan Yoshua Tanu, pemilik kedai Common Grounds sekaligus juara tiga kali kompetisi barista Indonesia dan semifinalis kejuaraan baracik dunia.

Jadi, mari merayakan kopi Nusantara sembari menyesap sejarah dan pernak-pernik pengolahannya di edisi ini. Selamat membaca!

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus