Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SKETSA dalam seni rupa tak lagi bak gesekan biola tunggal, seperti dicanangkan oleh Kusnadi, pelukis dan dosen di Akademi Seni Rupa Indonesia, Yogyakarta, pada awal 1950-an. Dan sesungguhnya, pada kenyataannya, dari zaman Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia pada akhir 1930-an, tonggak yang dinyatakan sebagai lahirnya seni lukis modern Indonesia, hingga sekarang, "gesekan biola tunggal" itu diselang-seling dengan "orkestra": sketsa bukan hanya garis, melainkan dikombinasi dengan blok-blok dan sapuan, bahkan pulasan, dan lain-lain. Ini bisa dilihat di berbagai majalah budaya 1950-1960-an, dan belakangan ini pada blok-blok yang menyajikan sketsa dari berbagai kelompok yang tumbuh: Urban Sketchers, Indonesia’s Sketchers, Bandung Sketchwalk, KamiSketsa, dan beberapa lagi.
Walhasil, dua istilah dalam seni rupa, sketsa dan gambar, berpadu, bertukar tempat, atau bahkan menyatu. Sebutan yang dipilih sekadar pertanda pilihan senimannya, dengan catatan: makna sketsa dan gambar di sini adalah yang dibuat langsung di tempat (untuk membedakan dengan gambar yang dibuat berdasarkan imajinasi, umpamanya gambar-gambar Goenawan Mohamad).
Itu pula, membaurnya sketsa dan gambar, yang bisa disaksikan pada pameran yang dinyatakan sebagai "pameran sketsa": Pameran Sketsa bertajuk "Impromptu" di warung Kopi Manyar di Bintaro Jaya Sektor 1, Jakarta Selatan, sepanjang 10-31 Maret ini. Perupanya, Muhammad Thamrin, seorang arsitek. Puluhan karya, umumnya kertas berukuran A4 (sekitar 20 X 30 sentimeter) dan setengahnya, berwarna dan hitam-putih, merupakan "catatan" langsung yang dibuat di tempat tentang berbagai bangunan di berbagai kota di dunia.
Di tengah "hiruk-pikuk" perjalanan seni rupa Indonesia yang menghadirkan beragam bentuk dan konsep-dari yang realis hingga abstrak, dari yang dua dimensi hingga tiga dimensi dan seni instalasi, dari fotografi hingga seni video, dari menghadirkan benda-pakai hingga yang berangkat dari konsep ilmu dan teknologi-karya sketsa bisa terasa sebagaimana dikatakan Kusnadi, "gesekan biola tunggal": garis pensil hitam pada kertas putih. Dan gesekan itu, hanya garis, bisa tidak kalah oleh gemuruh orkestra yang disebut sebagai seni rupa kontemporer. Misalnya, terlihat pada pameran "Impromptu", di tangan Thamrin, garis memiliki kekuatan membentuk; menghadirkan volume dan ruang; melantunkan nada yang kaya; menghadirkan suasana, mungkin riang; dan menghadirkan sosok, mungkin megah.
Lihat gambar bangunan kuno yang megah, ornamentik di Dresden, Jerman. Pemandangan bangunan itu dihadirkan kembali lewat garis-garis pensil pada kertas putih pada dua halaman buku gambar. Karya Thamrin bertarikh 2015 ini mewakili keterampilan yang dimiliki oleh arsitek yang merancang paviliun Indonesia dalam Frankfurt Book Fair 2015 itu. Keterampilan melihat, mempersepsi, dan menyatakan kembali dalam gambar merupakan yang pokok dalam sketsa. Thamrin tampaknya cukup rendah hati untuk menggunakan keterampilan tersebut sebatas berkaitan dengan bangunan, hal yang berkaitan dengan latar belakang profesinya. Maka, seperti pada gambar bangunan di Dresden itu, manusia hanyalah noktah-noktah, titik-titik yang membentuk suasana keramaian dan seolah-olah menyatakan bahwa bangunan itu bukan fiktif, melainkan nyata.
Pada karya-karya lain (perumahan dan museum seni rupa di Jepang, bangunan peninggalan zaman Belanda di Bandung, beberapa pemandangan kota, untuk menyebutkan beberapa karya), Thamrin lebih "mencatat" bentuk bangunan. Keterampilan menghadirkan bentuk bangunan itu keterampilan yang mahal. Bukannya keterampilan membuat sketsa yang mirip obyek sasaran tak dimiliki oleh perupa-perupa Indonesia. Srihadi Soedarsono, misalnya, di masa Revolusi Kemerdekaan membuat sketsa-sketsa suasana dan potret sejumlah tokoh. Juga Henk Ngantung. Kemudian ada nama Ipe Ma’aruf, sketcher yang seolah-olah antara dirinya dan "garis" sudah menyatu: apa pun berada di hadapan Ipe dengan mudah "berpindah" di kertas yang dipegangnya; dalam waktu beberapa menit, yang di hadapannya itu sudah direkonstruksikannya pada kertas. Namun ada yang berbeda antara Srihadi, Henk, Ipe, dan Thamrin.
Pada karya-karya Srihadi, Henk Ngantung, Ipe, dan sejumlah sketcher yang bergabung dengan berbagai komunitas yang sudah disebutkan, terasa adanya, katakanlah, "jiwa tampak". Stasiun Tugu, Yogyakarta, tahun 1948 karya Srihadi, saya kira mudah dikenali oleh mereka yang pernah melihat stasiun tersebut di tahun itu. Sebagaimana bangunan di Dresden karya Thamrin akan dikenali oleh yang pernah melihatnya. Pada Srihadi, bukan sosok bangunan itu yang terutama, melainkan kesan Srihadi pada stasiun tersebut yang digambarnya atau direkonstruksikannya dengan garis yang ringan, melayang-bahkan tiang listrik seolah-olah menggantung tak tertanam di tanah. Karya Srihadi lebih menyapa kita lewat subyektivitas Srihadi, bukan bahwa bentuknya itu sesuai dengan kenyataan. Sedangkan Thamrin lebih menghadirkan sosok, bentuk bangunan itu. Kita terpana oleh rekonstruksi kemegahan bangunan di Dresden itu. Oleh kekuatan garisnya, seolah-olah kita diyakinkan bahwa gambar tersebut sesuai dengan aslinya.
Dengan kalimat lain, kadar emosi pada sketsa-sketsa dan gambar Srihadi (juga Henk Ngantung dan Ipe) lebih terasa, sedangkan pada karya Thamrin, bentuk sosok itulah yang mempesona. Bandingkan misalnya dengan gambar-gambar cat air Srihadi pada pertengahan 1970-an, gambar-gambar yang dibuat dalam perjalanan di berbagai kota di Eropa. Gambar Paris (1977), misalnya, pemandangan kota dengan bangunan yang semestinya sesuai dengan kenyataan, menjadi tidak penting begitu pohon-pohon di depan deretan bangunan hanyalah sapuan warna kabut. Suasana yang tampil, mungkin suasana liris, itu yang lebih sampai ke kita. Sedangkan Shinjuku (12 Desember 2013) karya Thamrin, biarpun tak menghadirkan sosok bangunan, melainkan sebuah lorong membujur di antara gedung dan pepohonan, lalu sepeda-sepeda parkir, dan pengendara sepeda, bukan suasana yang lebih muncul, melainkan komposisi sebidang dinding samping deretan bangunan, trotoar, pepohonan, dan sepeda-sepeda: suatu tata ruang.
Lazimnya, sketsa dan gambar-gambar para perupa, dengan kualitas masing-masing, menyuguhkan suasana lebih daripada bentuk. Suasana keramaian pasar, lalu lintas di jalan, dan semrawutnya kawat-kawat listrik mudah kita temukan pada sketsa-sketsa di sejumlah majalah budaya 1950-1960-an. Juga pada karya-karya beberapa komunitas sketcher. Jarang sketsa yang menyajikan sosok bentuk dengan presisi seperti pada karya-karya Thamrin: perspektifnya, bentuknya. Pada pemandangan sebuah kampung di Kyoto, 2012, misalnya, yang sepi tanpa manusia, tampak bagian depan sebuah mobil merah, yang saya tangkap adalah ciri rumah khas Jepang, bukannya suasana sepi itu.
Di Kopi Manyar, pada pameran "Impromptu", yang posturnya menampilkan sapuan warna nonfiguratif (dan ternyata yang dipamerkan berbeda jauh dengan gambar di poster) kekhasan sketsa dan gambar Thamrin kurang tertampilkan, meski karya yang dihadirkan puluhan jumlahnya. Bahkan beberapa karya mengingatkan pada gambar-gambar ilustrasi di majalah, misalnya, Reader’s Digest. Tampaknya diperlukan pemilahan dan pengelompokan karya untuk melihat kekuatan karya Thamrin.
Pada pameran ini, kita bisa menduga, karena ia arsitek, perhatiannya terhadap bangunan dan teknik membuat sketsa dan menggambarnya mementingkan presisi bentuk. Andai dugaan ini benar, beberapa karyanya yang menurut saya bagus, bentuk dan presisi itu tidak semata menyuguhkan bentuk sebagai bentuk yang fisik (antara lain bangunan di Dresden, museum di Jepang, kampung di Kyoto, pemandangan di Jalan Naripan). Ada dialog yang tidak selesai, terbuka, ketika kita berdiri melihatnya.
Bambang Bujono, Pengamat Seni Rupa
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo