Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURAT undangan bertanggal 15 Maret 2018 itu lumayan aneh karena berkepala Kementerian Sekretariat Negara. Isinya undangan menyelesaikan sengketa pengelolaan air di Sentul City, Bogor. Sekretariat Negara, yang bertugas membantu urusan teknis dan administrasi pemerintahan dan presiden, hendak membuat rapat mengundang perusahaan pengembang perumahan.
Dengan sifat "sangat segera", undangan rapat koordinasi pada 21 Maret 2018 ini ditandatangani Asisten Deputi Hubungan Organisasi Kemasyarakatan dan Organisasi Politik M. Ari Setiawan. Ari merespons surat Presiden Direktur PT Sentul City Tbk bulan sebelumnya yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo. "Saya hanya mau membantu penghuni Sentul City menyelesaikan masalah mereka," kata Ari, pekan lalu.
Ari mengundang Kementerian Pekerjaan Umum, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Bupati Bogor, dan Presiden Direktur PT Sentul City. Surat itu beredar luas termasuk ke penghuni Sentul City di Bogor. Diah Ekawati, bukan nama sebenarnya, turut menerima surat tersebut.
Penghuni Sentul City yang sudah 17 tahun tinggal di perumahan elite itu mengirim pesan WhatsApp kepada Ari. Diah memprotes dan mempertanyakan mengapa Ari tak mengundang penghuni dalam rapat tersebut. Tak hanya menulis pesan, Diah juga menulis surat protes kepada Presiden Jokowi yang ditembuskan melalui pesan pendek ke sejumlah pejabat di lingkungan Istana Negara.
Tak puas memprotes melalui pesan pendek, Diah mendatangi Sekretariat Negara pada Selasa pekan lalu mempertanyakan surat undangan tersebut. Alih-alih mendapat penjelasan, Diah, yang datang bersama penghuni Sentul City yang lain, malah dicecar pelbagai pertanyaan soal surat protesnya. "Mereka tanya dari mana saya mendapat nomor pejabat-pejabat itu," ujarnya.
Toh, pejabat Sekretariat Negara, Haswan Boris Harahap, mau menerima mereka. Kepada para penghuni, Boris mengatakan undangan rapat yang ditandatangani Ari Setiawan itu sudah dibatalkan. Diah balik bertanya mengapa Sekretariat Negara begitu responsif atas surat dari Sentul City. "Sementara surat kami tak digubris meski kami sudah mengirim tiga kali," katanya.
Pangkal soal ribut-ribut ini adalah pengelolaan air di perumahan Sentul City yang kisruh sejak 2001. Syahdan, pada tahun itu, penghuni diwajibkan membeli air untuk kebutuhan sehari-hari kepada PT Sentul Air Nusantara, anak usaha Sentul City.
Masalahnya, air tersebut diperoleh dari Perusahaan Daerah Air Minum Tirta Kahuripan dengan harga lebih mahal. Penghuni menuntut akan membeli air secara langsung ke PDAM agar harganya lebih murah.
Mengetahui air yang mereka beli bukan diproduksi Sentul Air, penghuni perumahan ini memprotes. Usut punya usut, biang soal Sentul membeli air dari PDAM adalah Sentul tak punya izin mengelola air karena tak punya bahan baku dan instalasi penyalurannya. "Mereka hanya menjual air yang dibeli dari PDAM," ujar Gita P., kuasa hukum penghuni.
Presiden Direktur PT Sukaputra Graha Cemerlang, anak usaha Sentul City, Jonni Kawaldi Hasibuan, mengakui perusahaannya memperoleh air dari PDAM. Namun, kata dia, perusahaannya juga memproduksi air bersih sendiri. Jonni mengatakan Sentul City memiliki rencana memproduksi air baku sendiri. "Kami harus memikirkan jika air PDAM tak memenuhi kebutuhan," ujarnya dalam sebuah diskusi pada Januari lalu.
Masalah jadi pelik karena Sentul City harus menyerahkan sarana, prasarana, dan utilitas perumahan kepada pemerintah daerah setelah pembangunannya rampung. Dasar hukumnya adalah Pasal 15 Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 7 Tahun 2012 tentang Prasarana, Sarana, dan Utilitas Permukiman. Salah satu bentuk utilitas itu adalah jaringan air. "Sentul City tidak bersedia menyerahkan jaringan air karena menganggap fasilitas itu mereka yang bangun," kata Gita.
Pada akhir 2016, Sentul City menggugat sejumlah penghuninya yang tergabung dalam Komite Warga Sentul City. Pengembang menganggap Komite Warga menghasut penghuni lain agar mendukung tuntutan mereka dan mempublikasikan komunikasi kedua belah pihak.
Pada Agustus 2017, Pengadilan Negeri Cibinong menolak gugatan itu. Sebaliknya, hakim meminta Sentul City membiayai prasarana, sarana, dan utilitas permukiman; tidak memungut biaya pengelolaan lingkungan; serta menggunakan tarif air sesuai dengan ketetapan pemerintah daerah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2015 tentang Sistem Penyediaan Air Minum serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 25/PRT/M/2016, tarif air bersih ditentukan oleh pemerintah, bukan oleh korporasi. Sesuai dengan aturan Pemerintah Kabupaten Bogor, tarif air untuk perumahan mewah adalah Rp 4.900 untuk 10 meter kubik pertama, Rp 6.100 untuk 10 meter kubik kedua, dan Rp 7.300 untuk tahap selanjutnya.
Gita mengatakan, selama ini, Sentul City menjual air tersebut dengan harga Rp 9.200 per meter kubik. Angka ini merupakan harga untuk industri kecil. Padahal, menurut Gita, Sentul City hanya membayar Rp 2.800 per meter kubik kepada PDAM Tirta Kahuripan. Angka itu merupakan harga untuk perumahan sederhana. Nilai yang dibayarkan penghuni belum termasuk biaya pemeliharaan dan perbaikan lingkungan sebesar Rp 2.000 per meter persegi. "Belum lagi ditambah pajak sebesar 10 persen," ucap Gita.
Juru bicara PDAM Tirta Kahuripan, Agus Riyanto, mengatakan lembaganya bekerja sama dengan pengembang mengalirkan air hingga ke reservoir Sentul City di Kandang Roda, Nanggewer. Alasannya, sampai di titik itulah PDAM memiliki kemampuan mendistribusikan air.
Saat ini, PDAM menjual air ke Sentul City seharga Rp 3.912 per meter kubik. Setiap tahun, PDAM menjual hingga 1,8 juta meter kubik ke Sentul City. "Kami menjual berdasarkan harga pokok produksi di Cibinong," ujar Agus.
Pada April 2017, masa berlaku surat izin pengambilan air Sentul City habis. Menurut Gita, pengembang perumahan baru mengajukan permohonan perpanjangan izin pada September 2017. Sesuai dengan Pasal 40 ayat 3 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 1 Tahun 2016, jika lewat tiga bulan dari berakhirnya masa berlaku izin itu, pengembang mesti mengajukan permohonan izin baru. "Mereka seharusnya bukan mengajukan perpanjangan," kata Gita.
Dalam beberapa bulan terakhir, Sentul City mengedarkan kertas kosong tanpa kepala surat kepada penghuni rumah-rumah di kawasan mewah tersebut. Pengembang meminta tanda tangan penghuni sebagai dukungan untuk mengajukan permohonan izin pengambilan air. Surat dukungan menjadi signifikan karena merupakan syarat dari Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane, Jarot Widyoko.
Salah satu surat manajemen Sentul City ditandatangani Urip Tri Gunawan. Masih ingat Urip? Ya, dia adalah jaksa yang dihukum 20 tahun penjara karena menerima suap dari Artalyta Suryani alias Ayin agar Kejaksaan Agung tak meneruskan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia taipan pemilik Gajah Tunggal, Sjamsul Nursalim.
Jarot Widyoko menyebutkan mereka memang mengeluarkan rekomendasi agar Sentul City tidak mengambil air dari Sungai Cibimbim. Surat dari Jarot ditujukan kepada Direktur Penatagunaan Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum. Salah satu alasannya, kata Jarot, izin penggunaan air telah berakhir. "Saya hanya mematuhi aturan," ujarnya pada Jumat pekan lalu.
Menurut Jarot, pengembang Sentul City melakukan pelanggaran lain. Misalnya menyatukan pemohon izin dan pengelola air dalam lembaga yang sama. Sentul memindahkan pengelolaan distribusi air kepada PT Sentul Air Nusantara, salah satu anak perusahaannya. Jika pengelolaannya berpindah tangan, kata Jarot, izin dinyatakan batal dan tidak berlaku lagi. "Kalau mau mengelola air, ya, harus mengajukan ulang," ujarnya.
Atas pelanggaran itu, Balai Besar Ciliwung Cisadane membatalkan rekomendasi perpanjangan yang sempat dikeluarkan pada 15 September 2017. Menurut Jarot, Sentul City bisa mengajukan permohonan izin jika berkoordinasi dengan penghuni perumahan. Balai Besar Ciliwung Cisadane mengajukan syarat tambahan: tagihan air tidak digabung dengan tagihan pengelolaan lingkungan. "Selain itu, pemohon izin merupakan pengelola distribusi air," kata Jarot.
Surat dari Balai Besar Ciliwung Cisadane itulah yang direspons Sentul City. Mereka mengajukan surat keberatan kepada Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum. Dalam suratnya, Sentul City membantah telah memindahtangankan pengelolaan distribusi air kepada anak usahanya. Sentul City juga menganggap Komite Warga bukan merupakan perwakilan semua penghuni perumahan tersebut.
Saat dimintai konfirmasi, Kepala Komunikasi Perusahaan Sentul City Ario Danu menyarankan Tempo bertanya kepada bagian hukum perusahaan. Namun Ario tak bersedia memberikan nomor kontak divisi hukum perusahaannya. "Mending angkat berita MotoGP Sentul, lebih menonjol," ujar Ario pada Jumat pekan lalu.
Diah Ekawati mengatakan akan mempertahankan tuntutan mereka mendapat air bersih yang murah. Dia berharap pemerintah menengahi konflik air ini dan membantu menghentikan tekanan pengembang kepada penghuni, yang sudah berlangsung 17 tahun. "Kami hanya ingin negara hadir di Sentul City," ucapnya.
Adapun Ari Setiawan memilih irit bicara setelah polemik ini dibicarakan banyak pihak. Ia tak menduga surat yang ditandatanganinya berbuntut panjang dan menerbitkan kecurigaan bahwa Sekretariat Negara cawe-cawe dalam urusan air ini. Tak ingin tuduhan berlarut-larut, ia memutuskan membatalkan rapat koordinasi yang seharusnya digelar pada Rabu pekan lalu. "Saya menunggu arahan pimpinan," katanya. "Tolong, kasus ini jangan diperpanjang lagi."
Wayan Agus Purnomo (Jakarta), Sidik Permana (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo