Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LA TAZZA Café di kawasan SCBD Sudirman, Jakarta Selatan, menjadi tempat yang akan selalu diingat Slamet Prayogo. Kafe ini menjadi saksi: kopi yang ia bawa dari kebunnya dicemooh para ahli penilai cita rasa kopi dalam acara uji cicip (cupping test) yang digelar Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia (SCAI). "Mereka bilang rasanya seperti tahi ayam," kata Yoga-begitu Slamet Prayogo biasa disapa-mengenang kejadian lima tahun lalu itu.
Waktu itu Yoga terbilang "hijau" di dunia kopi. Pria 58 tahun ini baru memulai berbisnis kopi satu tahun sebelumnya dengan mengambil alih sebuah perkebunan di Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Alih-alih sakit hati mendapat cemoohan, Yoga pulang ke kebunnya yang berada di kaki Gunung Malabar dengan tekad mengubah penilaian tersebut.
Dia lalu memperbaiki teknik perawatan tanaman di kebun yang ketika itu baru seluas 20 hektare. "Semua tanaman rusak saya rawat agar produksinya kembali meningkat," ujarnya, awal Maret lalu. Hal ini ia lakukan sambil mempelajari proses pasca-panen kopi.
Dua bulan kemudian, Yoga kembali menghadiri acara uji cicip yang digelar SCAI. Para pencicip memberi penilaian berbeda. "Mereka menyebutkan ada rasa yang unik dan cita rasanya baik." Yoga makin bersemangat memperbaiki kualitas kopinya. Sejak itu, ia menetapkan niat hanya akan memproduksi kopi spesialti.
Titik balik bagi Yoga terjadi pada 2014. Kopi arabika Java Preanger Malabar yang diolah secara natural memperoleh skor tertinggi dalam uji cicip rutin di acara lelang green bean atau kopi beras SCAI, Kemayoran, Jakarta. Saat itu kopi Malabar mendapat skor cupping 84. Harganya dibanderol US$ 30 per kilogram. Pesanan pun berdatangan. Pembeli tak hanya dari dalam negeri. Para pembeli asal Amerika Serikat dan Korea Selatan antre untuk mendapatkan kopi Malabar.
Yoga, melalui perusahaannya, PT Sinar Mayang Lestari, bukan pengusaha kopi pertama di Pangalengan. Usaha pembukaan lahan untuk penanaman kopi arabika dimulai sejak 1999 oleh masyarakat di Desa Kubang Sari. Sampai saat ini, masih terdapat sekitar 600 hektare kebun kopi yang berdiri di lahan Perhutani-tapi hanya sebagian kecil yang masih terawat. Kebun Kubang Sari menjadi salah satu sumber bibit varietas Sigarar Utang.
Agus Rusman, penduduk asli Pangalengan yang memiliki usaha jual-beli kopi mentah, mengatakan iklim kopi di kampung halamannya tak pernah benar-benar hidup sampai akhirnya Malabar Mountain Coffee menang lelang harga tertinggi di Kemayoran. "Baru di situ petani sadar, kalau diolah dengan benar, harga kopi bisa tinggi," kata pria 43 tahun ini.
Sebagai ilustrasi, menurut Agus, hingga 2012, harga buah kopi (cherry) kopi arabika Jawa Barat tak sampai Rp 2.000 per kilogram. Petani pun enggan menekuni komoditas ini karena tekor biaya produksi. Begitu kopi spesialti Malabar juara, barulah harga cherry merambat naik. Saat ini harganya menyentuh Rp 8.000 per kilogram. Kenaikan itu diikuti oleh harga jual kopi dalam bentuk gabah atau kopi beras. Sinar Mayang kini menjadi salah satu raksasa kopi di Pangalengan dan Ciwidey. Luas lahan yang dikelola 110 hektare.
Luas lahan perkebunan kopi arabika di Pangalengan dan Ciwidey-yang sama-sama masuk wilayah Kabupaten Bandung-mencapai 10.574 hektare, atau 54 persen dari total luas lahan arabika di Jawa Barat. Dua tahun lalu, jumlah produksi keseluruhan arabika di provinsi ini mencapai 10.436 ton. Produktivitasnya tumbuh rata-rata mencapai 7-10 persen per tahun. Ini membuat Jawa Barat dipandang sebagai sentra kopi spesialti baru di Indonesia.
Keberadaan kopi spesialti tak bisa dilepaskan dari peran lembaga donor asal Amerika Serikat, United States Agency for International Development (USAID), lewat "Agribusiness Market and Support Activity (Amarta) Project" pada 2008. "Program ini concern pada peningkatan mutu agrikultur. Salah satunya kopi," ujar Mira Yudhawati, yang pernah aktif dalam program ini. "Dari sinilah kopi spesialti mulai muncul."
Menurut Mira, yang juga Q grader dari kedai Caswell’s Coffee, sebelum USAID turun tangan, petani dan penjual kopi hanya mengenal kualitas kopi premium dan komersial. Kemudian ada juga grade A dan B. Caswell’s termasuk kedai yang menjual biji kopi premium.
Lewat Amarta Project, petani mulai mengenal cara memilih bibit kopi, memetik, sampai proses pascapanen atau proses pengolahan kopi spesialti. Selain berasal dari kopi petik merah, kopi spesialti harus mendapat nilai di atas 80 dalam uji cicip oleh para Q grader-penilai kualitas kopi.
Para petani yang tergabung dalam Koperasi Solok Radjo, misalnya, ikut merasakan keampuhan uji cicip dalam menentukan nilai yang akhirnya mengatrol harga kopi. Teuku Firmansyah, salah satu pengurus koperasi, bercerita bahwa kopi asal kampung halamannya mulai naik daun setelah mengikuti sejumlah acara cupping test pada 2013.
Solok sudah lama dikenal sebagai salah satu sentra kopi di Sumatera. Tapi, hingga satu dekade yang lalu, harga kopi sangat rendah sehingga petani tak bersemangat. "Dulu harga kopi hanya Rp 1.000 per kilogram," katanya. Ketenaran kopi Solok Radjo menjadi-jadi setelah pada 2014 masuk tiga besar dalam uji cicip di Thailand. Prestasi itu kembali terulang pada 2016 dan 2017 di Melbourne, Australia. "Skor cupping kopi dari Solok selalu di atas 85," ucap Firmansyah. Berkat aneka gelar itu, konsumen Solok Radjo kian banyak.
Tahun lalu, Koperasi Solok Radjo mengekspor 4 ton kopi ke Amerika Serikat dan Australia. Adapun kapasitas produksi kopi di koperasi-dengan jumlah anggota mencapai 800 petani-mencapai 10 ton per tahun. "Sisanya diserap oleh pasar dalam negeri," ujar Firmansyah. Sejumlah kafe dan rumah sangrai atau roastery terkenal menjadi pelanggan kopi mereka, antara lain Tanamera Coffee, Klinik Kopi, dan Otten Coffee.
Cerita lain soal kedahsyatan grade spesialti dalam mengerek harga kopi juga dirasakan warga Kabupaten Karo, Sumatera Utara. Pasca-erupsi Gunung Sinabung pada 2013, lembaga-lembaga internasional memberi perhatian ke wilayah ini. Salah satunya Badan Pangan Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO). Lembaga ini melatih para petani menanam kopi spesialti.
Adalah Imam Syukri Syah, 37 tahun, yang menjadi salah satu pegiat yang mendorong petani di Desa Cimbang-salah satu desa terkena dampak letusan Sinabung di Sumatera Utara-untuk berfokus pada kopi. Sejak 2014, Imam dan istrinya rutin mengikuti program pelatihan.
Ia mengumpulkan para petani kopi di Desa Cimbang untuk memperbaiki cara budi daya kopi. Hasilnya lumayan. Pada 2014 dan 2015, rata-rata kebun kopi di Desa Cimbang bisa menghasilkan 1 ton gabah kopi. Pada 2016, jumlah itu melonjak jadi 4,2 ton. Luas kebun di desa ini hanya sekitar 15,5 hektare lahan kopi. "Semuanya diisi tanaman tua. Usianya sudah di atas 12 tahun, tapi kami rawat sehingga produktif kembali."
Kopi Cimbang dianggap memiliki cita rasa unik. Imam menduga hal ini dipengaruhi oleh tanah vulkanis dari Sinabung. Dalam beberapa kali lelang kopi yang digelar Asosiasi Kopi Spesialti Indonesia dan Sustainable Coffee Platform of Indonesia, kopi Cimbang konsisten memperoleh skor cupping 85. Angka ini membuat kopi tersebut layak mendapat gelar spesialti. "Dari hulu kami mengikuti prosedur kopi spesialti, seperti memetik buah yang merah, dan melakukan seleksi terhadap biji kopi yang cacat," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo