Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Kerusuhan London Sampai Wabah Kolera Benggala

Dampak Letusan Gunung Tambora Terasa Hingga Amerika Utara Dan Eropa.

30 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vermont, Amerika Utara, 1816. Seorang petani bernama Joseph Smith merasa putus asa. Dua tahun berturut-turut panen selalu gagal. Puncaknya pada 1816. Musim panas tak juga datang. Smith beserta istri dan anaknya memutuskan meninggalkan Vermont menuju Palmyra, New York.

Pada 1816, Amerika Utara dilanda cuaca ekstrem. Salju turun pada musim panas. Keluarga Smith tak sendiri. Banyak warga di wilayah Pantai Timur Amerika memutuskan pindah ke Negara Bagian New York atau wilayah barat tengah, seperti Indiana dan Illinois. Di sana cuaca tidak terlalu ekstrem, meski matahari juga tak selalu bersinar.

Kisah keluarga Smith dan migrasi ini termaktub dalam tesis mahasiswa pascasarjana Universitas Illinois at Urbana Champaign, Darienne M. Ciuro Sanchez, berjudul "Mount Tambora Eruption and Its Impacts on Global Climate and Society (1815-1818)". Sanchez sekilas menyebut Joseph Smith kemudian ada sangkut pautnya dengan kelahiran agama Mormon di Amerika. Salah satu putranya yang ikut pindah, bernama Josep Smith Junior, kelak yang mendirikan Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir.

Joseph Smith seniorlah yang bersaksi bahwa sang anak bertemu dengan malaikat Moroni, putra Mormon, di sebuah bukit dekat rumahnya di Palmyra. Moroni memberi tahu adanya lempengan emas berisi tulisan suci. Joseph Smith Junior mengaku menyalin tulisan itu sebagai kitab Mormon. Andai keluarga Joseph Smith tidak pindah ke New York gara-gara cuaca buruk tersebut, entahlah, apakah penampakan itu akan terjadi. Nama Gereja Yesus Kristus dari Orang-orang Suci Zaman Akhir sendiri diperkirakan Heryadi Rahmat dan Adjat Sudradjat dalam bukunya, Tambora Menyapa Dunia, menampilkan situasi saat itu, ketika banyak orang berpikiran kiamat menjelang.

Entah apakah benar iklim buruk itu mendorong orang membayangkan "penyelamatan" demikian. Namun, dalam catatan sejarah klimatologi, memang periode 1810-1819 merupakan masa paling dingin dalam 500 tahun terakhir. "Dalam kurun 100 tahun terakhir, perubahan suhu bumi tidak lebih dari 1 derajat Celsius. Namun, saat Tambora meletus, hanya dalam waktu satu tahun turun 1 derajat Celsius. Artinya, sangat luar biasa sekali dampak letusan Tambora," kata Perdinan, ahli aplikasi informasi iklim Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor.

Saat itu suhu di London tercatat menyentuh angka minus 16 derajat Celsius. Di Italia, salju berwarna merah, di Hungaria kecokelatan. Perubahan iklim ini juga menyebabkan huru-hara. Eropa banjir pengemis akibat kelaparan. Jerman menamai tahun-tahun ini dengan sebutan "year of the beggars". Penguasa lokal di Somersetshire, Inggris, mengerahkan milisi untuk meredam perusuh kelaparan. Semua penjara di Inggris dipenuhi perusuh.

Sejumlah literatur mengaitkan amuk Tambora dengan menyebarnya wabah kolera di Benggala ke Eropa bahkan sampai Moskow. Di antaranya J.D. Post Stomel dan Bernice de Jong Boers. Menurut De Jong Boers dalam buku Mount Tambora in 1815: A Volcanic Eruption in Indonesia and Its Aftermath, sebelum kolera menjadi wabah dalam skala besar, penyakit akibat kuman kolera ini hanya sebagai endemik di suatu tempat ziarah di tepi Sungai Gangga.

Dari Benggala, kuman kolera diduga dibawa ke luar India oleh prajurit Inggris yang secara gradual pindah tugas. Ada yang berpindah ke Afganistan, Nepal, dan Asia Tenggara. Berikut ini catatan migrasi kolera itu versi Stomel: sekitar 1820, mencapai Indonesia; pada 1823, tiba di Laut Kaspia; pada 1826, epidemik kolera kedua pecah lagi di India; sampai di Moskow pada 1830; dan menguasai Eropa Barat pada 1831. Dari Eropa, kolera menyeberangi Samudra Atlantik dan mencapai New York pada 1832.

Profesor Muhammad Nadjib Butan, ahli epidemiologi bencana Universitas Hasanuddin, Makassar, mengungkapkan tidak mustahil letusan Tambora telah menyebarluaskan kuman penyakit yang semula hanya endemik di sebuah wilayah. "Memang faktornya tidak hanya itu, tapi cukup kompleks," ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus