Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"KERAJAAN Sanggar bukan kerajaan yang musnah, melainkan kerajaan yang hancur dan berdiri kembali." Kalimat yang diucapkan As'ad, 33 tahun, guru SMA Negeri 1 Sanggar, itu seolah-olah mewakili keyakinan seluruh penduduk Kecamatan Sanggar kini. Dari tiga kerajaan yang lenyap dilalap lahar, menurut mereka, hanya Kerajaan Sanggar yang hidup kembali. Bahkan bertahan sampai sekitar 1926.
Itu karena Raja Sanggar La Lisang Daeng, tatkala terjadi letusan pada April 1815 tersebut, bersama 20-an anggota keluarganya mampu lari menyelamatkan diri. Aliran awan panas dari puncak Tambora lebih mengarah ke barat dan selatan. Posisi Kerajaan Sanggar berada di timur. Awan panas yang menuju timur mengalir di sepanjang lorong sempit yang dibatasi di utara oleh gunung berapi tua Doro Tuta'a dan di selatan oleh topografi berbukit.
Dalam pengungsian itu, Raja kehilangan salah satu putrinya yang menderita kelaparan dan diare karena semua sumber air tercemar sulfur dari abu vulkanis. Tujuan pengungsian Raja dan keluarganya adalah Desa Nggabe, Kecamatan Bolo, Kabupaten Bima. Kerajaan Sanggar memiliki hubungan baik dengan Kesultanan Bima dan Dompu.
Raja La Lisang, menurut As'ad, mempunyai semangat hidup kuat. Ia berusaha menghidupkan kembali Kerajaan Sanggar yang hancur setelah letusan Tambora. Kerajaan Sanggar dapat hidup kembali lebih dari seabad kemudian tanpa campur tangan Kerajaan Bima.
Sanggar kini hanyalah sebuah kecamatan di Kabupaten Bima. Raja Sanggar terakhir adalah Abdullah Siamsuddin Daeng Manggala (berkuasa pada 1901-1926). Banyak orang mengatakan ia kemudian menyerahkan kekuasaan kepada Bima. Tapi, menurut As'ad, Sanggar bukan takluk kepada Bima. Penyerahan kekuasaan dipengaruhi semangat Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sanggar rela meleburkan wilayahnya membentuk Kabupaten Bima. Di bawah Bima, Sanggar dipimpin jeneli (camat) pertama Abdullah bin Muhammad.
Tokoh masyarakat Sanggar, Suhada M. Saleh, 56 tahun, seorang keturunan bangsawan Sanggar, di rumahnya di Desa Boro, sekitar 40 kilometer dari Dompu, menyimpan banyak koleksi Kerajaan Sanggar. Di antaranya keris, guci, tempat sirih, uang koin beraksara Arab tahun 1712, dan koin Amerika tahun 1750. Barang tersebut ditemukan oleh warga dan diserahkan kepadanya. Sebagian lainnya merupakan warisan turun-temurun.
Peninggalan lain budaya Kerajaan Sanggar berupa bendera kerajaan dan bendera perang, yang kini dititipkan di Museum Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bendera Kerajaan Sanggar berwarna merah dengan tulisan yang belum teridentifikasi. Ada juga bendera hitam-kebiruan beraksara Arab-Melayu di sisi kiri dan kanannya berlafalkan kalimat tauhid tiga kali, sedangkan di sisi atas dan bawah kalimat tauhid empat kali. Pada pojok kirinya bertulisan Surat Al-Fatihah. Panjang bendera 150 sentimeter dengan lebar 100 sentimeter.
Yang menarik, sebelum menjadi sebuah kerajaan Islam, ada indikasi Sanggar adalah kerajaan Hindu-Buddha di Pulau Sumbawa, yang berdiri pada abad ke-11. Bukti yang menguatkan bahwa Kerajaan Sanggar bertradisi Hindu dan Buddha dapat ditemukan di situs kompleks pemakaman kerajaan di Desa Boro, Kecamatan Sanggar. Nisan di sana berbentuk stupa.
Juga ada indikasi bahwa Kerajaan Sanggar dan Tambora dulu memiliki bahasa sendiri yang "aneh", yang disebut bahasa Kore. Bahasa Kore sangat berbeda dengan bahasa Bima, Sasak, Makassar, atau Buton. "Banyak benda kerajaan yang bertulisan bahasa Kore," kata Suhada saat ditemui Tempo di rumahnya, dua pekan lalu. Diyakini oleh banyak peneliti Belanda yang berkunjung ke Sumbawa sebelum meletusnya Tambora, bahasa ini mirip dengan bahasa Mon-Khmer di Indocina.
Filolog dan keturunan Sultan Bima terakhir, Siti Maryam Salahuddin, 87 tahun, mengatakan, "Yang saya ketahui berdasarkan catatan istana yang saya simpan di Museum Sampangraja, ada 22 suku kata bahasa Kore yang masih digunakan warga Sanggar sampai kini. Menurut penelitian, bahasa ini mirip dengan bahasa Mon-Khmer di Kamboja."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo