Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya, sebuah ziarah ke Mekah, tapi di tengah jalan ia mengikuti dorongan hatinya menelusuri Suriah, Irak, Iran, Arab Saudi, Malaysia, bahkan Cina. Ziauddin Sardar membayangkan dirinya sejalan dengan Al-Ghazali. Seorang filsuf besar yang memutuskan untuk melakukan perjalanan ke negara-negara luar, sebelum akhirnya kembali dengan pengetahuan yang lebih mendekati kebenaran.
Berikut adalah wawancara wartawan Tempo Arif Zulkifli, Nezar Patria, dan Idrus F. Shahab dengan Ziauddin Sardar. Perbincangan sekitar 45 menit di Jakarta ketika sosok Indo-Pakistan ini berkunjung ke sini beberapa waktu lalu.
Apa yang mengesankan dari ma-syarakat dan intelektual muslim di Indonesia?
Secara jujur, harus saya jelaskan, ketika pertama kali datang ke sini saya sangat skeptis. Dalam pikiran saya, ide-ide saya, khususnya yang menyangkut syariah, tak akan diterima seterbuka ini. Pikir saya, respons akan seperti di Pakistan atau Timur Tengah. Namun di sini beda. Para sarjana, cendekiawan, penulis, pemikir, dan aktivis muslim yang saya temui ternyata sangat terbuka. Mereka tidak hanya berpikir tentang ide-ide itu, tapi tentang bagaimana memberlakukannya. Mungkin di Indonesia kita mempunyai reformis Islam yang sesungguhnya.
Sempat berbicara dengan Islam radikal di sini?
Ya. Pertanyaan pertamanya tentang ideologi. Saya langsung tahu dari mana ia berasal. Ideologi telah menjadi fokus Jamaah Islamiyah atau Ikhwanul Muslimin. Ideologi telah menjadi semacam kutukan buat umat Islam. Islam bukan ideologi. Ideologi tak membolehkan kita bersentuhan dengan realitas. Ideologi tak berubah dan membuat Islam sebuah ideologi sama saja dengan membuat Islam terbungkus politik. Saya melihat Islam sebagai cara untuk mengubah pandangan dunia, termasuk nilai dan kerangka.
Bagaimana dengan syariah?
Syariah diciptakan dalam waktu dan konteks berbeda. Sebagai muslim sejati, kita harus merumuskannya kembali. Syariah tidak tak berubah dalam sejarah, tidak pula suci. Syariah adalah pengertian, tafsir kita terhadap kitab suci. Dan tafsir ini tidak bisa kekal. Kita harus bedakan kebenaran Quran dan interpretasinya. Syariah dibentuk pada masa yang panjang: hasil kerja sama kebiasaan, ide-ide, pemikiran para pemikir besar di masa itu. Yang harus kita lakukan adalah menunjukkan pergulatan pikiran mereka. Yang mesti kita hormati bukan pikiran-pikiran mereka. Kalau kita memaksakan pikiran mereka sesungguhnya kita tak menghormati mereka. Lihatlah para imam besar, Imam Maliki, Hambali, Hanafi, Syafii. Simak besarnya perdebatan mereka, bagaimana mereka berubah pikiran dan sebagainya. Ketika mereka mengungkap pendapat, mereka tak membayangkan itu sebagai akhir pergulatannya. Mereka pun tahu, kelak para pemikir di masa depan akan menentang pikirannya. Mereka akan marah jika melihat syariah yang ditegakkan di Sudan, Iran, Nigeria, dan Arab Saudi.
Tapi tentu ada yang sakral dalam syariah .
Memang beberapa elemen syariah sakral, tapi mayoritas merupakan konstruksi sosial. Tapi mereka tidak melakukan lompatan selanjutnya untuk merumuskan lagi. Mereka ragu karena kita melakukan ini kembali setelah hampir 1.000 tahun. Muslim, terutama muslim yang baik, takut berbuat salah. Ini sesungguhnya sikap yang benar. Tapi harus ada waktu untuk mengambil langkah selanjutnya. Sejak Jamaluddin Afghani, Muhammad Abduh, tak ada lagi. Memang ijtihad dalam sekarang sangat kompleks. Tidak bisa dilakukan hanya oleh seorang individu, tapi usaha kelompok. Bukan cuma terdiri dari ulama, tapi harus kelompok yang multidisiplin. Terlalu banyak isu kontemporer mesti dibahas di dalamnya. Misal, untuk mendefinisikan manusia, kita harus menguasai perkembangan baru biologi: kloning, organ-organ. Jadi, kita tak bisa mengandalkan satu dua ulama untuk membahas masalah itu. Ijtihad di sini tidak hanya menyinggung fatwa, sel-sel riset, halal-haram, tapi sebuah reformulasi total syariah.
Ada contohnya dalam sejarah bahwa kita pernah menggunakan pendekatan ini?
Inilah pendekatan yang digunakan saat syariah pertama kali dibentuk. Saya pikir, kalau Quran diletakkan sebagai teks yang kekal, teks seperti itu tidak boleh memakai hanya satu interpretasi. Harusnya tiap generasi punya tafsirnya sendiri, tafsir yang sesuai dengan kondisi zamannya. Mungkin tafsir mereka secara radikal akan berbeda dengan generasi sebelumnya. Kita belum pernah melakukannya. Karena kita takut pada keragaman interpretasi. Ulama yang menutup pintu ijtihad abad ke-13 dan ke_14 berpendapat, jika kita membiarkan setiap orang dengan tafsirnya masing-masing, niscaya banyak sekali interpretasi. Akan banyak yang salah. Saya rasa, pandangan inilah yang salah. Sudah ada bermacam interpretasi dalam Islam, contohnya Sunni, Syiah, dan sufi. Tentu, cara beribadah, iman, mereka tak berbeda. Tapi kalau kita lihat cara memandang ulama, ada perbedaan besar antara Sunni dan Syiah. Ini perbedaan besar. Begitu juga sufi. Jadi, sudah banyak tafsir yang berbeda dalam Islam.
Jadi, mengapa kita takut pada tafsir yang berbeda?
Menurut saya, tafsir tunggal itulah yang berbahaya. Tafsir yang menekankan bahwa merekalah tafsir yang mengklaim sebagai satu-satunya tafsir yang valid. Lihat Iran dan Arab Saudi: mereka menggarisbawahi bahwa hanya tafsir mereka yang benar, dan keduanya menghubungkan sang tafsir dengan Negara. Jadi, Islam dan Negara adalah hal yang sama. Tapi keduanya kan negara otoriter. Kita punya contoh yang menunjukkan bahwa salafi dan Wahabi mencoba mendominasi bukan hanya satu dua negara Islam, tapi seluruh.
Bagaimana Anda memandang mereka, muslim yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan?
Di mata mereka, Islam telah gagal dan tak ada jalan lain untuk bersentuhan dengan dunia ini kecuali lewat cara-cara kekerasan itu. Memang dunia Islam mengalami efek buruk peradaban Barat. Misalnya, sekarang belum ada institusi pengajaran di Timur Tengah yang memenuhi standar internasional. Tapi kita tak bisa menyalahkan Barat karena tiadanya institusi yang dimaksud. Kita harus juga memikul sebagian tanggung jawab ini. Dan ekstremis menunjukkan, kita gagal bersentuhan dengan dunia, dan kalau sudah begini, kita gagal bersentuhan dengan modernitas dan lain-lain. Tentu ada soal-soal seperti politik luar negeri AS, Chechnya, Palestina. Tapi pada akhirnya kita yang harus bertanggung jawab. Ada satu buku bagus pada 1950-an yang menyebut: bukan Barat yang menjajah negara-negara Islam, tapi negara-negara itulah dalam kondisi dapat dijajah. Jadi, mereka mengundang penjajahan. Dan sekarang ada neo-colonializability. Menolak dunia, bereaksi secara ekstrem, dan sebagainya.
Apakah Anda melakukan dialog dengan kelompok fundamentalis?
Banyak kelompok fundamentalis di London. Salah satunya, saya sering berhubungan secara reguler. Dalam Desperately Seeking Paradise tampaklah saya sangat dekat dengan Jamaah Islamiyah dan Ikhwanul Muslimin, pada awal-awal kehidupan saya. Dan saya ini tumbuh dengan banyak muslim yang berpandangan segalanya harus persis seperti syariah. Saya akrab dengan pandangan orang-orang itu. Saya kadang-kadang berbicara di depan grup-grup yang punya komponen fundamentalis di London. Karena orang-orang ekstremis dan fundamentalis sesungguhnya tanggung jawab kita. Satu-satunya cara untuk mengubah mereka adalah dengan mengadakan dialog dengan mereka, meski mereka tidak menyukainya. Jadi, kita yang harus agak memaksa berbicara dengan mereka. Kita katakan, kita juga sangat peduli akan Islam, sama seperti mereka, meski kita tak memelihara janggut seperti mereka.
Dalam demokrasi, kedaulatan ada di tangan rakyat. Bagaimana dalam teokrasi?
Itu pernyataan yang sangat bodoh. Kedaulatan selalu di tangan Tuhan, tapi masyarakatlah yang harus membuat keputusan. Tuhan tidak akan turun dan memberi tahu sampai detail setiap langkah yang harus diambil. Dan Nabi sudah bersabda, umatku tidak akan membuat keputusan salah jika itu diputuskan secara konsensus. Toh, kalau diberi pilihan, umat Islam tidak akan memilih seorang diktator jahat.
Tapi kadang-kadang partai fundamentalis juga menang pemilu?
Tidak ada masalah. Ini yang terjadi di Aljazair. Proses menjalankan pemerintahan berpengaruh dan mengubah persepsi. Karena, ketika kita mulai memerintah, kita pun mulai menyadari ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan dalam politik praktis. Lihatlah, kalau FIS yang menang itu diizinkan menjalankan pemerintahan, niscaya ia akan mengubah dirinya. Ia akan lebih demokratis dan terbuka. Sekarang ekstremisme FIS adakah produk perlakuan pemerintah militer saat itu. Jadi, kalau rakyat ternyata memilih fundamentalisme, saya setuju. Apa salahnya? Dan itu adalah cara untuk mentransformasi fundamentalisme. Lihat Turki. Dalam 20 tahunan menjalankan politik, Partai Islam telah berubah secara mencolok. Sekarang dia tak setertutup 20 tahun lalu. Partai Islam yang berkuasa di sana memecahkan persoalan urban dengan sangat kreatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo