Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Puncak Bukit Pangonan

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Janur dan bunga kering terlihat berserak di dalam dan pinggir tumpukan batu. Pecahan kendi berada di atap bebatuan paling atas. Bekas-bekas perlengkapan itu menandai upacara sembahyang belum lama berlangsung di tempat tersebut. Candi mini berupa batu bertumpuk berundak empat yang ditemukan pada 22 September tahun lalu itu telah kembali berfungsi sebagai tempat puja.

Candi itu ditemukan secara tidak sengaja oleh delapan penduduk di puncak Bukit Pangonan, Dataran Tinggi Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah. Candi itu berada setidaknya satu kilometer di belakang Museum Dieng, Kailasa, menuju arah perbukitan.

"Candi itu tertutup oleh alang-alang dan rumput yang rimbun," kata Ahmad Bejo, salah satu penduduk Desa Dieng Kulon, Banjarnegara, yang menemukan candi itu. Dia bercerita bahwa penemuan candi terjadi pagi hari, sekitar pukul 06.00. Saat itu, menurut Ahmad, ia dan teman-temannya, anggota Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa, baru saja mencapai puncak Bukit Pangonan setelah mendaki sejak pukul 02.30. Tujuan pendakian itu adalah menemukan lokasi paling bagus untuk mengamati matahari terbit dan tenggelam.

Mendaki ke puncak Bukit Pangonan gampang-gampang susah. Kata Ahmad, pendaki harus melewati jalan sempit. Ketika hujan turun, jalan menuju ke sana licin. Banyak tumbuhan berduri menghadang pendaki di sepanjang jalan. Mereka juga harus merunduk ketika melewati tanaman tebu-tebuan yang membentuk lorong panjang. Penduduk Dieng menamai pohon itu "glonggong".

Banyak jalur yang bisa pendaki tempuh untuk menuju puncak Bukit Pangonan. Buat mereka yang tidak terlatih mendaki, dibutuhkan waktu setidaknya dua jam untuk mencapai puncak bukit tempat ditemukannya candi itu. Sedangkan mereka yang terlatih mendaki gunung mungkin hanya perlu sejam atau kurang. Candi baru ini berada pada ketinggian 2.305 meter di atas permukaan laut.

Dari puncak Bukit Pangonan, pendaki bisa menikmati pemandangan Telaga Sumurup, Telaga Merdada, padang savana, dan Bukit Sikunir. Pendaki juga bisa melihat matahari terbit di antara Gunung Sindoro, Sumbing, Lawu, Telomoyo, Merapi, dan Merbabu. Sedangkan matahari terbenam bisa dilihat bersisian dengan Gunung Slamet. "Penemuan candi di Bukit Pangonan bermula dari situ," kata Alif Fauzi, Ketua Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa. Kelompoknya kemudian melaporkan temuan itu ke Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah.

Wisatawan domestik dan asing kini mulai melirik wisata di Bukit Pangonan. Selain menyaksikan matahari terbit dan terbenam, banyak wisatawan yang melihat candi di bukit itu. Turis yang berkunjung ada yang berasal dari Turki. Bukit Pangonan dikunjungi sampai 30 wisatawan pada hari libur. Wisatawan memanfaatkan jasa pemandu wisata Dieng. Ada pula yang menggunakan jasa biro perjalanan dan wisata di Yogyakarta dan Wonosobo. Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa menjadi pengelola wisata di Bukit Pangonan. Mereka mengelola tiket masuk.

Kini penduduk Dieng juga berupaya membersihkan jalan menuju Bukit Pangonan. Mereka mengambil sampah yang ditinggalkan wisatawan di bukit itu.

Alif berharap pemerintah memberi perhatian terhadap kelestarian candi di Bukit Pangonan. Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah pernah meneliti candi setelah penduduk menemukannya. Namun, Alif menyayangkan, belum ada penelitian lanjutan. Museum Dieng pun belum memiliki program untuk mengembangkan candi. "Petugas museum hanya mencatattemuan itu," ujarnya.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banjarnegara Aziz Achmad mengatakan pemugaran candi menjadi kewenangan Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah. Untuk memugar candi di Bukit Pangonan, dibutuhkan biaya dalam jumlah besar. Aziz mencontohkan, pemugaran Candi Bima di kompleks Candi Dieng memerlukan Rp 1,5 miliar. "Candi di Bukit Pangonan sulit dipugar karena letaknya berserakan," kata Aziz. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata hanya mengusahakan pembangunanfasilitas penunjang menuju puncak Bukit Pangonan. Misalnya membangun jalan.

Shinta Maharani, Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus