Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ini adalah kisah manis yang dulu pernah ada. Ini sekaligus mematri kisah lain bahwa impor beras tak bisa dihindari, bahkan ketika harapan baik tengah melambung.
Berawal dari Menteri Penerangan Ali Moertopo, selepas sidang kabinet terbatas bidang ekonomi, keuangan, dan industri 35 tahun lalu, yang melontarkan kabar gembira. Dia memperkenalkan istilah SSB alias swasembada beras. "Indonesia tahun ini sudah berhasil mencapai swasembada pangan karena berhasilnya intensifikasi produksi di dalam negeri," katanya.
Dari mana Menteri Penerangan Ali sampai tiba pada kesimpulan itu? "Kebutuhan pangan, terutama beras, tahun ini diperkirakan mencapai 17,3 juta ton, sedangkan perkiraan tertinggi 18 juta ton dan terendah 17,5 juta ton," katanya. Maka, berdasarkan angka-angka itu, Menteri Penerangan menilai SSB boleh dibilang sudahlah tercapai.
Meskipun demikian, Menteri Penerangan mengakui Indonesia saat itu masih harus mengimpor beras. Ini mengingat produksi yang 17,3 juta ton masih akan tercecer alias susut dalam proses distribusi sampai ke konsumen. "Kan, tidak bisa itu beras langsung datang dari produsen ke konsumen," katanya berdalih.
Tak disebutkan berapa yang akan diimpor. Tapi, sehari setelah pernyataan itu, muncullah berita yang menyedihkan. Lebih dari 200 ribu ton padi musnah dibabat wereng dalam tahun fiskal 1978-1979. Yang berkata begitu tak kurang dari Menteri Pertanian Profesor Sudarsono dalam rapat kerja dengan Komisi IV Dewan Perwakilan Rakyat. Serangan hama yang jahanam itu, dengan bala bantuan tikus pula, seakan-akan sudah kronis. Dan tahun ini kumat lagi, terutama di sawah-sawah di Jawa Tengah.
Alhasil, beberapa ahli pertanian menaksir produksi pangan menurun 2-5 persen dari perkiraan produksi terendah tahun sebelumnya yang 17,5 juta ton. Mengingat lebih banyak mulut yang butuh nasi, tak pelak lagi impor tahun itu masih akan besar.
Tak mengherankan kalau Bustanil Arifin, Kepala Badan Urusan Logistik, pagi-pagi sudah mengontak banyak negara. Dari Thailand, Taiwan, Amerika Serikat, Burma, Jepang, hingga Pakistan. Cara membeli dari berbagai negeri itu memang bisa menghilangkan kesan bahwa Indonesia memang butuh beras banyak. Tapi sebuah sumber memperkirakan Bulog sudah memborong 1,7 juta ton beras. Harganya kemungkinan besar sekitar US$ 225 pcr ton, yang merupakan harga di pasar internasional.
Tapi ada juga yang mengatakan, berkat kelincahan Bustanil, kita mendapat korting. Yang pasti, impor 200 ribu ton dari Jepang disertai persyaratan ringan: dibayar dalam tempo 30 tahun dengan tenggang waktu 10 tahun dan tingkat bunga 2-3 persen setahun.
Menyusul keterangan Menteri Penerangan Ali Moertopo dan Menteri Pertanian Soedarsono, Kapala Bulog Bustanil Arifin pun memberi uraian yang cukup panjang. Kepada Komisi VII DPR, Bustanil mengatakan ada dua pengertian dari SSB itu, yakni yang relatif dan absolut. Menurut dia, "SSB yang diperhitungkan dicapai pada 1979 adalah yang bersifat relatif, sehingga Indonesia masih harus mengimpor beras."
Menurut Bustanil, dalam SSB yang relatif itu belum lagi diperhitungkan kebutuhan untuk benih, masalah susut, dan penyediaan untuk cadangan. Jadi masih bersifat produksi kotor. Sedangkan yang absolut, kata dia, harus memperhitungkan semua faktor tadi.
Absolut ataupun relatif, yang pasti, seperti diakui oleh Bustanil Arifin, "Tahun ini impor beras ternyata lebih besar daripada tahun sebelumnya." Sekalipun, menurut orang pertama Bulog itu, produksi tahun ini lebih besar dibanding tahun lalu. Diperkirakan impor beras tahun ini akan mencapai 2,2 juta ton. Namun tak tertutup kemungkinan jumlah itu akan merangkak menjadi 2,5 juta ton, lantaran adanya sisa tahun lalu.
Bagaimanapun, dari keterangan ketiga pejabat itu, ada satu persamaan: Indonesia masih belum bisa bebas dari impor beras. Hanya, dalam hal SSB, pengertian yang "relatif" dan "absolut" itu masih membingungkan banyak orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo