Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Candi Baru di Dua Gunung Suci

Gunung Penanggungan di Mojokerto-Pasuruan, Jawa Timur, dan Dataran Tinggi Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah, adalah gunung suci masyarakat Jawa di era lampau. Dua gunung itu merupakan pusat ibadah para resi. Di situ terdapat candi-candi yang masih bisa kita saksikan sampai sekarang.

Setahun terakhir ini, beberapa situs purbakala baru ditemukan baik di Dieng maupun Penanggungan. Yang menarik, penemuan itu tidak dilakukan oleh lembaga resmi arkeologi, tapi oleh gerakan masyarakat sadar wisata. Mereka mencoba mengisi kekosongan peran pemerintah dalam melestarikan kekayaan budaya masa silam.

10 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teriakan gembira Hadi Sidomulyo, 62 tahun, memecah sepi di siang bolong yang panasnya membakar kulit pada Selasa pertama November tahun lalu. Hadi bungah karena apa yang ia cari di balik tanah di atas tebing batu yang menjulang di lereng timur Gunung Bekel, kawasan Pegunungan Penanggungan, Mojokerto-Pasuruan, Jawa Timur, itu akhirnya berbuah hasil.

"Ini bekas candi," kata pria kelahiran Inggris yang memiliki nama asli Nigel Bullough itu riang. "Ini tidak masuk di catatan mana pun," ujar Hadi menegaskan bahwa temuan itu belum pernah dicatat oleh peneliti sebelumnya, bahkan oleh Willem Frederik, peneliti pertama yang mendata situs purbakala di Gunung Penanggungan, hampir 11 windu silam.

Batu alam yang tertata rapi membentuk teras berundak berukuran sekitar 16 meter persegi itu spontan ia beri nama Candi Tawon lantaran di dekatnya ada sarang tawon seukuran badan orang. Candi itu ia temukan sebulan sebelumnya, setelah mendapat info dari para pencari rumput.

Si jago merah yang melahap area hutan Gunung Bekel seluas 80 hektare pada pertengahan Oktober 2013 memudahkan Hadi menemukan kembali Candi Tawon. Gunung Bekel memang sudah gundul karena terbakar. Yang tersisa hanya pokok-pokok pohon yang kering tanpa daun. Abu kelabu tebal masih melapisi permukaan gunung yang tingginya 1.238 meter di atas permukaan laut itu.

Candi Tawon adalah satu dari 116 situs arkeologi yang diinventarisasi oleh tim yang dipimpin Hadi. Tim ekspedisi Penanggungan Archaeological Trail (PAT) yang dibentuk Pusat Pelatihan Universitas Surabaya (Ubaya Training Center, UTC) itu sejak Mei 2012 hingga November 2013 melakukan inventarisasi situs kepurbakalaan di Gunung Penanggungan. Jumlah 116 situs di Gunung Penanggungan itu adalah hasil keseluruhan, termasuk pengidentifikasian kembali situs yang telah ditemukan para peneliti terdahulu, baik arkeolog Belanda maupun Indonesia. Mereka memeriksa apakah situs-situs itu masih ada atau lenyap.

Tempo beruntung dapat ikut dalam satu sesi ekspedisi selama dua hari dan menyaksikan secara langsung bagaimana Hadi menemukan Candi Tawon dan beberapa situs baru lainnya. "Semua sudah ada dalam lampiran laporan penelitian tim yang diserahkan ke Gubernur Jawa Timur," ujar Ismail Luthfi, ahli epigrafi dari Universitas Negeri Surabaya, yang menjadi anggota tim ekspedisi PAT.

Tim ekspedisi, kata Ismail, baru melakukan observasi permukaan, belum sampai pada deskripsi detail candi-candi yang baru ditemukan itu. Deskripsi yang lebih cermat akan dilakukan dalam penelitian tahap lanjutan. Tapi, menurut Hadi, dapat dipastikan 80 persen situs candi yang tersebar di kawasan Gunung Penanggungan merupakan peninggalan Majapahit.

"Ada keterikatan yang kuat antara situs Trowulan dan situs candi yang berada di Gunung Penanggungan," katanya. Menurut Hadi, sementara Trowulan sebagai keratonnya Majapahit atau pusat administrasi pemerintahan, Gunung Penanggungan sebagai pusat religinya. "Bisa dikatakan Gunung Penanggungan memiliki situs purbakala paling banyak di Indonesia," ujarnya.

Demi keamanan atas temuan itu, Hadi menolak mengungkapkan detail temuan dan lokasinya. Setelah didokumentasikan, temuan baru itu dikubur kembali. Hadi juga merekam koordinat jalur menuju candi baru itu dalam perangkat Global Positioning System miliknya. Dia menegaskan yang perlu dilakukan saat ini adalah langkah penyelamatan terhadap situs peninggalan di kawasan Penanggungan.

"Pertama, selamatkan dengan menetapkannya sebagai cagar alam dan budaya. Kemudian lakukan pemetaan kawasan ini," ujar Hadi, yang sejak 1971 menetap di Indonesia. Dengan zonasi, kata Hadi, keberadaan situs menjadi aman karena pintu masuknya dijaga. Pemetaan juga termasuk menjaga jangan sampai industri masuk sampai ke atas.

Namun Kepala Balai Pelestarian Benda Purbakala Trowulan Mojokerto Aris Soviyani mengatakan belum menerima laporan dari tim Ubaya mengenai temuan baru situs purbakala di kawasan Gunung Penanggungan. "Belum ada laporan," katanya Senin pekan lalu. Menurut Aris, pihaknya terakhir kali melakukan inventarisasi situs purbakala di Penanggungan pada 2010. Berdasarkan inventarisasi tersebut, tercatat 56 candi (baik yang telah diberi nama maupun hanya diberi kode angka), yang sebagian besar berada di atas. "Kalau dengan pertirtaan dan gua yang ada di bawah, ya, ada 81 (sesuai dengan hasil penelitian Van Romondt)," ujarnya.

Aris juga mengatakan 56 candi tersebut berada dalam pengawasan juru pelihara. "Ada 24 juru pelihara dan mereka adalah pegawai negeri sipil," kata Aris. Kalau ditambah juru pelihara pertirtaan, totalnya menjadi 41 orang. Aris menegaskan tidak perlu khawatir terhadap potensi kehilangan benda purbakala di Penanggungan. "Insya Allah, pencurian tidak terjadi karena di setiap pintu naik ke Gunung Penanggungan ada juru pelihara yang memantau."

Aris menyambut baik usul menjadikan kawasan Penanggungan sebagai kawasan cagar alam sekaligus budaya. "Ya, baik saja. Kan, sesuai dengan undang-undang. Penetapan bisa oleh bupati atau gubernur. Tidak harus menteri," katanya.

1 1 1

Pegunungan Penanggungan pada zaman lampau dianggap suci karena mirip dengan Mahameru di Jambhudwipa (India), berupa satu gunung utama dikelilingi beberapa puncak gunung. Pegunungan Penanggungan terdiri atas Gunung Penanggungan (1.653 meter) yang dikelilingi empat puncak gunung: Gajah Mungkur (setinggi 1.084 meter di sisi timur laut), Kemuncup (1.238 meter, tenggara), Sarahklopo (1.235 meter, barat daya), dan Gunung Bekel (barat laut). Kawasan Penanggungan sudah lama dianggap sebagai tempat yang kaya peninggalan purbakala. Sayang, nasibnya tidak sebaik Trowulan, yang lebih kerap didatangi peneliti.

Penelitian pertama di Gunung Penanggungan dilakukan arkeolog Belanda, Stutterheim (1892-1942), pada 1926. Menurut Stutterheim, bangunan suci berwujud punden berundak di Penanggungan merupakan tempat pemujaan arwah leluhur. Stutterheim, yang pernah menjabat Direktur Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) menggantikan Frederik David Kan Bosch, melanjutkan penelitiannya dengan survei lapangan pada 1936, 1937, dan 1940. Penelitian itu berhasil mencatatkan 81 situs kepurbakalaan yang tersebar di lerengnya, terutama di sebelah utara dan barat-sebagian besar berupa punden berundak dan gua pertapaan, selain artefak lepas. Semua situs itu diberi tanda dengan angka Romawi: I sampai LXXXI.

Sayangnya, hasil survei ini tidak pernah diterbitkan sampai V.R. van Romondt melakukan pendataan ulang dengan hasil berupa laporan berjudul Peninggalan-peninggalan Purbakala di Gunung Penanggungan: Hasil Penyelidikan di Gunung Penanggungan Selama Tahun 1936, 1937, dan 1940, yang diterbitkan Dinas Purbakala pada 1951. Tapi Romondt gagal menempatkan sepertiga dari temuan Stutterheim itu dalam peta yang ia buat. Hampir 30 situs hilang karena dicuri atau tertelan alam.

Beruntung, Ichwani, kepala juru gambar yang ikut survei lapangan pada 1930-an, dapat mendeskripsi ulang 51 situs. Laporan Ichwani inilah yang menjadi pedoman bagi para peneliti masa sekarang. Misalnya survei yang dilakukan Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional pada 1975. Juga survei yang dilaksanakan tim Keluarga Mahasiswa Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (Kama-FSUI) pada 1983.

Upaya inventarisasi situs arkeologi yang dilakukan Kama-FSUI di bawah pimpinan Agus Aris Munandar itu berhasil mendokumentasikan 41 situs dari lereng utara dan barat hingga puncak Penanggungan. Tidak hanya kali itu, Agus kembali mengunjungi Penanggungan pada 1985 dan 1989 untuk melengkapi tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra: Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14-15.

Pawitra sebutan lain untuk Penanggungan. Dalam kitab Tantu Panggelaran yang dibuat pada 1635 diceritakan perihal pemindahan separuh tubuh hingga puncak Mahameru dari Jambhudwipa (Himalaya, India) ke Jawadwipa oleh Dewa Brahma dan Wisnu. Dalam pemindahan itu, potongan tubuh Mahameru berjatuhan hingga membentuk Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Kawi, Arjuna, dan Welirang, serta Bromo, dan potongan paling besar menjadi Semeru. Tinggallah bagian puncaknya yang berdiri sendiri menjadi Pawitra. Nama Pawitra juga tertulis dalam prasasti suci yang ditemukan di lereng timur Gunung Penanggungan. Disebutkan bahwa di Pawitra terdapat tempat pertapaan (dharmasrama).

Menurut Agus, ada tiga agama yang pernah hidup di Gunung Penanggungan: Hindu Siwa, Buddha Mahayana, dan agama lokal para resi atau petapa yang melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur. "Ini adalah agama purbakala," ujar Agus saat ditemui pada Jumat dua pekan lalu.

Arca-arca yang menggambarkan Dewi Parwati Sakti Siwa Mahadewa di Penanggungan merupakan bukti keberadaan agama Hindu. Juga adanya relief yang menggambarkan kisah Arjunawiwaha. Sedangkan punden berundak dan altar pemujaan menjadi bukti telak atas kehadiran agama lokal di Penanggungan. Para resi di Penanggungan tak menempatkan arca di altar puncak punden, tapi di bawah. Ini sangat berbeda dengan benda purbakala yang ditemukan di daerah lain.

Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo mengatakan hal serupa mengenai agama lokal. "Altar-altar tanpa arca itu berawal mula di Penanggungan," kata Junus. Hal ini terjadi karena resi mencampurkan agama Hindu-Buddha dengan kepercayaan lokal. "Masyarakat tidak mentah-mentah menerima ajaran Hindu-Buddha. Mereka tetap menjalankan agama lokal, agama purbakala," ujar Junus, yang skripsi sarjananya di bidang arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1983 bertajuk "Punden Berundak di Gunung Penanggungan". Gaya pemujaan di Penanggungan ini belakangan menyebar ke timur. "Punden dan altar tanpa arca di Penanggungan bisa menjelaskan mengapa altar sesaji dan pemujaan dewa di Bali juga tak berarca," kata Junus.

Pembangunan situs pemujaan di Penanggungan, menurut Agus, bermula pada abad ke-10. Peninggalan tertua adalah pemandian Jalatunda, dengan tahun pembuatan 977 Masehi. Agus menduga situs tertua yang pernah ditemukan oleh arkeolog di Penanggungan ini dibuat pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Tguh (memerintah pada 911-1016), pengganti Raja Mpu Sindok yang mangkat.

Sebelum abad ke-10, belum ada peradaban yang tinggal di Gunung Penanggungan. "Kalaupun ada, sifatnya tersebar dan belum tersentuh agama Buddha-Hindu," kata Agus. Pembangunan situs keagamaan marak setelah Kerajaan Mataram hijrah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Pembangunan berhenti pada 1511, seiring dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit. Namun pada masa itu masih banyak resi yang melakukan meditasi di Penanggungan. Baru pada 1543 pertapaan berhenti total karena serangan Kerajaan Demak.

"Petapa hijrah ke timur, ada yang ke Bromo, ada yang ke Bali," kata Agus.

1 1 1

Gunung atau dataran tinggi memang menjadi tempat suci dalam ajaran Buddha-Hindu. Baik Buddha Mahayana maupun Hindu menjadikan Gunung Meru (Mahameru) sebagai pusat alam semesta; menjadi tiang utama dunia penghubung surga dan bumi. Begitu pula di Jawa: pengikut Buddha-Hindu mencari gunung tinggi sebagai tempat pemujaan. Tak mengherankan kalau di gunung yang dianggap suci itu banyak dibangun candi dan situs keagamaan.

Selain Penanggungan, tempat yang pada zaman lampau menjadi pusat ibadah adalah Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah. Di dataran tinggi lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut yang dikelilingi Bukit Pangonan dan Gunung Perahu itu ditemukan banyak candi dari abad ke-8, yang jauh lebih tua daripada candi-candi di Penanggungan. Selama ini diketahui candi yang masih relatif utuh misalnya Arjuna, Semar, Puntadewa, Srikandi, Sumbadra, Gatotkaca, Bima, dan Dwarawati, di samping candi lain yang hanya tinggal reruntuhan.

Yang juga menarik, di Dataran Tinggi Dieng akhir-akhir ini ditemukan situs baru. Di puncak Bukit Pangonan pada 22 September 2013, misalnya, ditemukan potongan batu andesit bertumpuk membentuk empat jenjang atap. Susunan kepala bebatuan mirip menara berundak empat yang kian mengerucut ke atas. Di sisi timur susunan bebatuan itu ada tambahan susunan batu lain yang membentuk bangunan mirip mahkota. Batu bersusun itu tingginya 1,2 meter dan lebar 1 meter. Sekilas mirip atap Candi Arjuna.

Selain di puncak bukit, candi berukuran mini berserakan di Bukit Pangonan. Candi itu tidak utuh. Ada yang hanya berupa fondasi atau bagian kaki. Ada pula yang tinggal bagian tubuh. "Candi yang kamitemukan tersebar di tujuh lokasi. Kami meyakini ada dua lokasi lain," kata Ahmad Bejo, satu dari delapan penduduk yang menemukan candi baru itu.

Hasil penelitian Winda Artista Harimurti, arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah, menyimpulkan bahwa candi di Bukit Pangonan adalah miniatur candi yang strukturnya tidak lengkap. Candi lazimnya memiliki kaki, tubuh, dan atap. Struktur candi di Bukit Pangonan hanya terdiri atas tubuh dan atap. "Fungsi candi itu, seperti candi pada umumnya, untuk pemujaan," kata Winda.

David Priyasidharta, Ananda Badudu,Shinta Maharani, Sunudyantoro

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus