Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari Serangan Lalu Dialog

Pemerintah merencanakan dialog membahas Ahmadiyah. Ada gagasan menjadikannya agama baru.

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LIMA puluhan pengurus Partai Demokrat berkumpul di pendapa kediaman Susilo Bambang Yudhoyono, Puri Cikeas, Bogor, Ahad petang dua pekan lalu. Pelbagai isu yang memojokkan pemerintah membuat tuan rumah, ketua dewan pembina partai itu, mengundang rapat. Undangan disampaikan dua hari sebelumnya. Hadir antara lain Ketua Umum Anas Urbaningrum dan Sekretaris Dewan Pembina Andi Mallarangeng.

Lima jam sebelumnya, tragedi meledak di Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Pandeglang, Banten. Sekitar 1.500 orang menyerbu pengikut Ahmadiyah. Tiga orang pengikut ajaran yang dicap ”sesat” itu dibunuh. Tragedi ini menjadi bahan pembahasan pada rapat petang itu.

Seusai rapat, Ulil Abshar Abdalla, ketua departemen pengembangan dan strategi partai, mendekati Yudhoyono. Keduanya berbicara di pojok. Ulil meminta Yudhoyono memperhatikan betul tragedi Cikeusik dan menanganinya secara cekatan. Tak lupa, Ulil menyampaikan pentingnya masalah ini bagi pemerintahan Yudhoyono. ”Pak SBY bilang: ya, ya, ya. Saya lihat beliau serius,” kata Ulil.

Segera setelah menutup rapat, Yudhoyono memerintahkan rapat mendadak kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Pertemuan segera digelar di Kantor Kementerian Koordinator Politik, membahas kekerasan di Cikeusik. Hadir Kepala Kepolisian Jenderal Timur Pradopo, Jaksa Agung Basrief Arief, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Menteri Agama Suryadharma Ali. ”Presiden meminta Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung dievaluasi,” kata Djoko seusai rapat.

Ada tujuh butir hasil rapat. Selain mengecam dan memerintahkan pengungkapan tragedi, pemerintah meminta warga Ahmadiyah ”taat” pada Surat Keputusan Bersama yang dibuat pada Juni 2008. Isi surat keputusan bersama itu antara lain meminta Ahmadiyah tak mengakui nabi setelah Muhammad.

Rapat kembali digelar esok harinya di tempat yang sama. Kali ini rapat melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah dan Kepala Kepolisian Daerah Banten Brigadir Jenderal Agus Kusnadi. Rapat juga digelar pada Rabu pekan lalu. Kali ini pertemuan membicarakan kerusuhan di Temanggung setelah putusan pengadilan pada perkara penghinaan agama sehari sebelumnya (lihat ”Dakwah Berbelok Rusuh’”). Soal Ahmadiyah, rapat menyatakan penyelesaiannya mendasar tak sekadar masalah Surat Keputusan Bersama. Penyelesaian diserahkan kepada Menteri Agama sebagai koordinator.

Menteri Agama Suryadharma Ali akan mencari solusi dengan menggelar dialog yang melibatkan pelbagai kalangan. Pemerintah, kata Suryadharma, akan meminta pandangan dari banyak ahli, termasuk dari kalangan Ahmadiyah. Selain dari sisi teologi, Ahmadiyah akan dibahas dari sisi sosial dan politiknya. ”Dalam waktu dekat, semakin cepat makin baik,” kata Suryadharma. Ada kemungkinan acara digelar pekan ini.

Suryadharma mengatakan terbuka kemungkinan Indonesia mengadopsi langkah Pakistan. Di negara itu, Ahmadiyah dimasukkan ke kelompok ”minoritas nonmuslim”. Tapi ia menyatakan rekomendasi soal Ahmadiyah akan diserahkan kepada peserta konferensi itu. Ditanya soal sikap Menteri Agama yang cenderung menyalahkan Ahmadiyah, ia mengatakan, ”Bagaimanapun, saya muslim, yang merasa terganggu dengan mereka. Ini kan bagian dari hak asasi saya.”

Ahmadiyah tiba di Indonesia pada 1925. Mereka terbagi dalam dua kelompok. Pertama, Jemaat Ahmadiyah Indonesia atau Ahmadiyah Qadiyani. Kelompok ini meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kedua, Gerakan Ahmadiyah Indonesia atau Ahmadiyah Lahore, berpusat di Yogyakarta. Ahmadiyah Lahore tak mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan pembaru. Majelis Ulama Indonesia pada 2005 menyatakan baik Qadiyani maupun Lahore ”sesat”. Majelis Ulama meminta pemerintah membubarkan Ahmadiyah.

Firdaus Mubarik, anggota staf hubungan kemasyarakatan Jemaat Ahmadiyah Indonesia, menyatakan siap berdialog. ”Kami sambut baik,” kata dia. Tapi Firdaus meminta pemerintah berkaca pada Pakistan. Amendemen Konstitusi Pakistan pada 1974 menyatakan Ahmadiyah sebagai agama baru. Hasilnya, pengikut Ahmadiyah tetap saja jadi korban. Ia mencontohkan penyerangan kepada Ahmadiyah di dua masjid, Mei tahun lalu, yang menewaskan setidaknya 93 orang.

Menjadikan Ahmadiyah sebagai agama baru, menurut Firdaus, justru memberi angin pada gerakan kekerasan terhadap Ahmadiyah. Masjid Ahmadiyah pasti akan jadi sasaran. ”Mereka akan bilang: bukan Islam kok punya masjid. Kami salat, mereka akan bilang: bukan Islam kok salat!” Menurut Firdaus, persoalannya adalah bagaimana negara memberikan perlindungan kepada warga negaranya. Selama sepuluh tahun terakhir, sudah banyak penyerangan terhadap warga Ahmadiyah, tapi tak satu pun pelakunya dihukum.

Menurut Firdaus, Surat Keputusan Bersama dan 12 butir penjelasan Ahmadiyah cukup dijadikan pedoman. Penjelasan itu dibuat pada 2008, setelah penyerangan terhadap aliansi kebebasan beragama di Lapangan Monas, Jakarta. Ketika itu, Menteri Agama Maftuh Basyuni memerintahkan para pejabat kementeriannya melakukan dialog dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Dialog berlangsung hingga tujuh putaran, mulai September 2007 hingga Januari 2008. Ahmadiyah dipimpin Amir Abdul Basit.

Di awal dialog putaran ketujuh, pemerintah menawarkan sejumlah pilihan dalam soal Ahmadiyah: pembubaran oleh pemerintah, pembubaran oleh pengadilan, dikategorikan nonmuslim, atau sebagai aliran dalam komunitas muslim Indonesia. Ahmadiyah memilih yang terakhir. Pada pertemuan inilah Jemaat Ahmadiyah membuat 12 butir penjelasan soal posisi, keyakinan, dan hubungan mereka dalam masyarakat.

Isinya antara lain syahadat Jemaat Ahmadiyah sama dengan arus utama Islam Indonesia. Jemaat Ahmadiyah sejak awal meyakini Muhammad sebagai nabi penutup. Ahmadiyah meyakini Mirza Ghulam Ahmad sebagai guru, pembawa berita gembira dan peringatan, sekaligus pendiri dan pemimpin yang bertugas memperkuat dakwah dan syiar Islam. Jemaat Ahmadiyah juga menjadikan Quran dan sunah Muhammad sebagai pedoman.

Ahmadiyah juga menjelaskan buku Tadzkirah bukan kitab suci Ahmadiyah. Kitab ini berisi catatan pengalaman rohani Mirza Ghulam Ahmad yang dikumpulkan dan dibukukan serta diberi nama Tadzkirah oleh pengikutnya pada 1935, 27 tahun setelah ia meninggal. Penjelasan lain, Jemaat Ahmadiyah tidak mengkafirkan orang Islam di luar mereka. ”Setiap masjid milik Jemaat Ahmadiyah terbuka untuk seluruh umat Islam dari golongan mana pun,” kata Firdaus.

Sunudyantoro, Mahardika Satria Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus