Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RUMAH setengah jadi itu terlihat mengenaskan. Berdiri di atas tanah seluas 300 meter persegi, bangunan itu mangkrak ditinggalkan para buruh dan tukang. Ruangan dalam berantakan. Meski struktur desain minimalis modernnya sudah terbentuk, dindingnya belum diplester. Beberapa perkakas teronggok di satu sudut.
Bangunan itu satu dari 12 rumah di proyek hunian elite kluster Java Land, Kecamatan Sumbersari, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Rumah setengah jadi itu satu-satunya bangunan yang sudah berdiri. Permukiman itu tak dapat dibangun lantaran terganjal urusan pajak daerah. ”Masalahnya ruwet,” kata Donny Dunnya, pengembang Java Land, kepada Tempo Rabu pekan lalu.
Donny bukan hendak mangkir dari kewajiban. Pengusaha berusia 33 tahun ini justru kebingungan kala hendak menyetor bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) bagi rumah-rumah yang akan dijualnya. Pemerintah Kabupaten Jember ternyata belum punya peraturan daerah yang mengatur pungutan BPHTB itu—atau pajak pembelian properti. Padahal Undang-Undang Nomor 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi mewajibkan kabupaten dan kota membuat aturan daerah untuk memungut pajak tersebut paling telat 1 Januari lalu.
Aturan pungutan pajak itu—juga regulasi lain—belum bisa dibuat karena terganjal sengketa politik setelah penetapan Bupati M.Z.A. Djalal sebagai tersangka korupsi. Pembahasan peraturan daerah tentang pajak pembelian properti kerap batal karena diboikot fraksi pendukung Bupati. ”Enam kali pembahasan batal karena tak mencapai kuorum,” kata Ketua Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jember Muhamad Asir.
Nasib serupa terjadi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Sekalipun peraturan pajak daerahnya sudah berlaku 1 Januari lalu, transisi birokrasinya bikin ruwet. Para wajib pajak mesti bolak-balik antara kantor pajak dan loket Dinas Pendapatan Keuangan dan Barang Daerah. Banyak berkas, misalnya data kompilasi piutang, dokumen ketetapan, dan berkas penagihan pajak pembelian properti itu, belum tersusun dengan rapi.
Alhasil, Ahmadi, warga Karadenan, Cibinong, wira-wiri dari Kantor Pajak Cileungsi ke loket Dinas Pendapatan di Cibinong untuk mengurus pajak pembelian properti bagi proyek perumahannya. Validasi berkasnya juga memakan waktu seminggu, padahal tahun sebelumnya cukup sehari. ”Meski syarat yang saya bawa komplet,’’ ujarnya. Akibatnya, pengusaha properti berusia 42 tahun ini tak bisa memasarkan proyek rumahnya lantaran validasi setoran BPHTB-nya tersendat.
DULU pungutan ini termasuk pajak pemerintah pusat—Direktorat Jenderal Pajak. Namun, setelah Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi berlaku, pajak pembelian properti ini menjadi pajak daerah. Pungutannya mulai berlaku 1 Januari lalu. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan pajak yang harus dikeluarkan seseorang ketika membeli properti, seperti bangunan atau tanah.
Bukan hanya pembelian rumah—melalui kredit kepemilikan rumah—yang dikenai kewajiban menyetor pajak ini, tapi juga pembelian apartemen, jual-beli tanah, dan pembangunan mal atau infrastruktur lainnya. Tanpa bukti setor atau validasi pajak pembelian properti itu, notaris dan pejabat badan pertanahan tak akan mau mengeluarkan akta jual-beli. Tanpa akta itu, praktis transaksi jual-beli properti berhenti total.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 28/2009, tarif pajak pembelian properti ditetapkan sebesar 5 persen dari selisih nilai perolehan obyek pajak dengan nilai perolehan obyek pajak tidak kena pajak. Transaksi pembelian properti senilai Rp 60 juta dikenai keharusan menyetor pajak tersebut.
Ketika regulasi pajak daerah dan retribusi dibahas Dewan Perwakilan Rakyat dua tahun lalu, pejabat-pejabat daerah antusias agar pajak transaksi pembelian properti diserahkan ke daerah. Tapi, setelah hal itu diserahkan ke daerah, justru mereka tidak siap. Banyak kabupaten dan kota di Indonesia belum punya peraturan daerah yang mengatur pungutan BPHTB. Alhasil, pemerintah daerah tak boleh memungut pajak ini.
Menurut Direktur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kementerian Keuangan Budi Sitepu, dari 497 kabupaten atau kota, baru 293 yang telah memiliki payung hukum untuk memungut pajak pembelian properti itu. ”Sebanyak 61 daerah bahkan belum diketahui kesiapannya,” kata dia.
Bukan cuma daerah terpencil, di Provinsi Jawa Barat saja masih ada 11 kabupaten atau kota yang belum memiliki peraturan daerah tersebut. Sebagian besar, kata Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, masih diklarifikasi oleh pemerintah provinsi dan Kementerian Keuangan. ”Mudah-mudahan akhir bulan ini selesai,” ujarnya.
Dampak nihilnya payung hukum pungutan BPHTB tak bisa dipandang remeh. Para pengembang properti merana lantaran sepanjang Januari lalu transaksi jual-beli mati suri. Nilai pembangunan properti—dari rumah sederhana, rumah mewah, apartemen, sampai mal—senilai Rp 24 triliun selama tahun ini terancam menguap. ”Pengusaha properti akan rugi besar,” kata Ketua Bidang Advokasi dan Perizinan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Echsanullah Khan di Jakarta pekan lalu.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat Real Estate Indonesia Setyo Maharso punya hitung-hitungan potensi kerugian yang ditanggung para pengembang. Sepanjang Januari lalu, sekitar 10 ribu transaksi pembelian rumah, termasuk kredit kepemilikan rumah, batal direalisasi. Dengan asumsi harga jual rumah Rp 100 juta per unit, potensi kerugian pengembang secara nasional mencapai Rp 1 triliun. Angka lebih tinggi disodorkan Ketua Umum Apersi Edi Ganefo. Kerugian pengembang sebulan bisa mencapai Rp 1,8 triliun. ”Itu belum termasuk bunga bank yang mesti dibayar,” ujarnya.
Bukan hanya pengembang yang meradang. Pemerintah pusat juga mencak-mencak. Kementerian Perumahan Rakyat khawatir target penyediaan rumah sebanyak 210 ribu unit pada tahun ini tak tercapai bila kisruh bea perolehan hak atas tanah dan bangunan tak terselesaikan. ”Hambatan ini wajib dibereskan,” kata Deputi Bidang Pembiayaan Sri Hartoyo di Jakarta pekan lalu.
Banyak faktor yang menyebabkan pemerintah daerah tak segera mengeluarkan peraturan pemungutan pajak tadi. Setyo menduga sejumlah bupati atau wali kota menunda menerbitkan aturan karena kontribusi pajak properti ini kecil terhadap penerimaan daerah. ”Biaya mendidik petugasnya tak seimbang dengan penerimaannya,” ujarnya.
Beberapa daerah sebenarnya juga sadar pendapatan dari pajak pembelian properti lebih rendah dibanding saat pajak tersebut berstatus bagi hasil dana perimbangan pusat. Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, Islamudin, mengatakan, saat berstatus pajak pusat, bagi hasil nilai pajak pembelian properti mencapai Rp 1,4 miliar. Sekarang penerimaan sebesar itu sulit tercapai karena transaksi pembelian properti minimal Rp 60 juta terlalu besar di daerahnya. ”Harga tanah di sini tak setinggi di kota besar,” ujarnya.
Sebenarnya ada terobosan dari pemerintah pusat agar pembangunan properti tak mandek. Menteri Keuangan Agus Martowardojo belum lama ini mengeluarkan surat edaran membebaskan pungutan pajak pembelian properti bagi daerah yang belum punya payung hukum. Budi Sitepu mengatakan, dengan surat edaran itu, transaksi properti bisa berjalan karena notaris dan Badan Pertanahan Nasional tak perlu lagi mewajibkan bukti lunas BPHTB dalam validasi akta jual-beli.
Ternyata dalam prakteknya terobosan ini masih mentok. Di Jember, upaya para pengembang menunjukkan surat edaran tak digubris otoritas agraria setempat. Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Jember Agus Hermanto tak berani menerbitkan validasi akta jual-beli. ”Daripada nanti kami disalahkan,” ujarnya.
Pemerintah pusat dan pengembang memutar otak mencari solusi. Rabu malam pekan lalu, 22 pengurus pusat Real Estate Indonesia menggelar pertemuan dengan para pejabat Badan Pertanahan Nasional dan lembaga lain. Setyo mengatakan akan ada terobosan atau keringanan bagi daerah yang belum punya peraturan memungut pajak pembelian properti. Salah satunya aturan transisi yang bisa mengesahkan transaksi tanpa bukti setor bea perolehan hak atas tanah dan bangunan tadi. ”Mudah-mudahan bisa berjalan,” ujarnya.
Kementerian Dalam Negeri tampaknya tak keberatan. Juru bicara Kementerian, Raydonnyzar, mengatakan bisa saja daerah menerbitkan aturan transisi. ”Dalam Undang-Undang Otonomi Daerah itu dibolehkan,” ujarnya. Tak ada pilihan lain, memang. Terobosan baru perlu dicari agar sektor properti menggeliat lagi.
Fery Firmansyah, Mahbub Djunaidy (Jember), Diki Sudrajat (Bogor), Ahmad Fikri (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo