Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font size=2 color=#FF0000>Saham Garuda</font><br />Babak-Belur Menelan Garuda

Penjualan saham Garuda kurang sukses. Penjamin emisi terpaksa menyerap saham tak laku.

14 Februari 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAHAS betul nasib penjualan saham PT Garuda Indonesia dalam program penawaran saham perdana (initial public offering/IPO). Sampai berakhirnya masa penawaran, Selasa pekan lalu, para investor tak bersemangat membeli saham maskapai pelat merah ini.

Semula Garuda akan menjual 9,4 miliar lembar saham (sekitar 30 persen) kepada publik. Tapi permintaan investor hanya sekitar 6,27 miliar lembar (26,7 persen). Dana yang dapat diraup meleset dari target karena terjadi kekurangan pemesanan (undersubscribed).

Semula target penjualan Rp 6-10 triliun. Ternyata Garuda hanya bisa mendapat Rp 4,7 triliun.

Membahas aksi korporasi itu, Kamis pekan lalu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Mustafa Abubakar mengundang Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar ke kantornya, di lantai 19, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta.

Hadir juga Direktur Utama Bahana Securities Eko Yuliantoro, Direktur Utama Mandiri Sekuritas Hari Supoyo, dan Direktur Utama Danareksa Sekuritas Marciano Herman. Bahana, Danareksa, dan Mandiri Sekuritas adalah penjamin emisi saham Garuda.

Mustafa hanya berkomentar singkat ketika ditanya tentang hasil penjualan Garuda. ”Yang terpenting, Garuda bisa go public dan mendapat dana sesuai dengan kebutuhan,” katanya kepada wartawan. Emirsyah menimpali, ”Penjualan saham berjalan baik.”

l l l

GARUDA adalah satu dari 12 perusahaan negara yang akan menjadi perusahaan publik tahun ini. Dengan metode penawaran saham kepada masyarakat (IPO), pemerintah menetapkan harga jual Garuda Rp 750 per lembar. Di sinilah masalah Garuda bermula.

Ketiga Garuda dan ketiga penjamin emisinya menggelar penjajakan pasar (pre-marketing) pada akhir Desember 2010, calon investor menawar harga Garuda pada kisaran Rp 500-600 per lembar. Tapi Mustafa keberatan bila Garuda dilepas dengan harga di bawah harga jual saham PT Krakatau Steel, Rp 850 per lembar.

Menteri Mustafa tampaknya khawatir, bila saham dijual dengan harga Rp 500-600, privatisasi Garuda bisa bernasib sama dengan Krakatau Steel. Pada Oktober tahun lalu, penjualan saham perusahaan baja asal Cilegon, Banten, itu kisruh.

Pengamat dan politikus ramai menyoroti penjualan saham Krakatau Steel lantaran harganya dinilai kemurahan dan penjatahan sahamnya tak merata. Tarik-ulur penentuan harga jual saham Garuda, ujar sumber tadi, berlanjut menjelang paparan publik, 12 Januari lalu.

Di kantornya, Mustafa, manajemen Garuda, para petinggi Bahana, Mandiri, dan Danareksa berdebat lama menentukan kisaran harga. Akhirnya para penjamin emisi menyerah. Mereka setuju, dalam paparan publik saham Garuda ditawarkan pada kisaran Rp 750-1.100 per lembar.

Akibat perdebatan alot itu, jadwal paparan publik molor dua jam. Para penjamin emisi Garuda telat hadir ke Hotel Ritz-Carlton, Kawasan Bisnis Sudirman, tempat hajatan digelar. Rupanya, para investor asing dan lokal tak sreg dengan kisaran harga itu.

Benar saja, pada masa penetapan harga (book building), 13-24 Januari lalu, mayoritas investor memesan saham Garuda pada harga bawah, Rp 750 per lembar. Belakangan, Mustafa memutuskan harga jual Garuda pada harga ini.

Menurut sumber Tempo, harga jual Rp 750 per lembar kemahalan. Dengan menggunakan indikator rasio harga terhadap laba (price earning ratio/PER), valuasi harga saham Garuda sekitar 26 kali. ”Padahal pasar Indonesia PER-nya hanya sekitar 13 kali,” kata bankir investasi ini.

Harga jual saham Garuda lebih mahal dibanding perusahaan sejenis di kawasan Asia. Lihat saja Singapore Airlines, rasio harga terhadap labanya hanya 14,06 kali, Malaysia Airlines 7,06 kali, Air Asia 9,71 kali, dan China Southern Airlines hanya 13,54 kali.

Menilai mahal atau murahnya harga saham bisa juga menggunakan rasio harga terhadap nilai buku (price to book value/PBV). Semakin tinggi angka rasionya, semakin mahal harga saham. Nah, berdasarkan rasio harga terhadap nilai buku, ternyata saham Garuda memang relatif lebih mahal dibanding maskapai lain. Rasio harga terhadap nilai buku Garuda mencapai 6 kali. Bandingkan dengan Air Asia yang 1,28 kali, Malaysia Airlines 1,22 kali, Singapore Airlines 0,85 kali, dan China Southern Airlines 1,06 kali.

Jangan kaget, ujar bankir tadi, mayoritas investor asing menjadi kurang berminat, dan bahkan menarik diri, gara-gara harganya kemahalan. Citigroup dan UBS AG, penjual saham Garuda di luar negeri, hanya bisa menyerap saham Garuda sekitar 2 persen atau senilai kurang dari Rp 100 miliar.

Kementerian BUMN terpaksa mengubah komposisi alokasi saham Garuda. Biasanya, dalam setiap penjualan saham perusahaan negara, investor asing mendapat jatah lebih besar ketimbang investor lokal. Tapi, dalam penjualan saham Garuda, investor lokal justru mendapat jatah saham sangat besar, yakni 80 persen.

Kepala Riset PT Bhakti Securities, Edwin Sebayang, juga berpendapat bahwa harga jual saham Garuda kemahalan. Padahal, di pasar gelap, menurut Edwin, harga saham Garuda ditawar lebih murah. ”Saham Garuda dihargai Rp 740 dari harga penawaran Rp 750 per lembar,” ujarnya kepada Viva Budi dari Koran Tempo, pekan lalu.

Selain karena faktor harga, kata Edwin, kurang suksesnya penawaran saham Garuda lantaran bersamaan dengan penjualan saham baru (rights issue) Bank Mandiri. ”Investor besar lebih memilih saham Bank Mandiri karena bisa memberikan dividen dan keuntungan kapital,” ujarnya. Penawaran surat berharga syariah negara, alias sukuk, senilai Rp 7 triliun dengan imbal hasil (yield) 8,15 persen, juga ikut mempengaruhi gairah, khususnya investor asing, membeli saham Garuda.

Tentu saja masalah ini menimbulkan persoalan baru. Sumber Tempo membisikkan, Mandiri, Bahana, dan Danareksa harus menyerap saham Garuda yang tidak terjual, sekitar Rp 2 triliun. Ketiga perusahaan sekuritas pelat merah ini kelimpungan karena dananya terbatas. ”Mereka babak-belur, harus menelan saham Garuda yang enggak laku,” katanya.

PT Jamsostek sempat diminta ikut memborong saham Garuda. Tapi perusahaan asuransi tenaga kerja ini tidak bisa membeli lebih banyak. Dengan harga Rp 750 per lembar, jumlah pembelian Jamsostek telah menyentuh 5 persen—batas maksimal pembelian menurut peraturan pemerintah tentang pengelolaan dana jaminan sosial tenaga kerja. PT Recapital Advisory, yang dipimpin Rosan Roeslani, juga dimintai bantuan membeli saham Garuda.

Hari Supoyo menampik bila penjualan dinilai kurang sukses. Menurut dia, banyaknya investor lokal yang membeli saham Garuda sudah sesuai dengan keinginan pemerintah. ”Investor lokal diberi kesempatan lebih besar agar pasar domestik kuat,” katanya.

Tentang kewajiban menyerap saham, kata Hari, sebagai penjamin pelaksana emisi, Mandiri Sekuritas memang harus mengambil jatahnya bila ada porsi saham yang tidak terjual, atau ada investor yang belum menyetor dananya. ”Itu biasa pada setiap IPO,” katanya pekan lalu.

Sedangkan Eko enggan menanggapi kabar yang berseliweran, termasuk keharusan Bahana menelan saham Garuda yang tak laku. ”Terpenting fully subscribed (terjual),” katanya.

Sebaliknya, Direktur Jamsostek Elvin G. Masassya membenarkan Jamsostek ikut membeli saham maskapai penerbangan terbesar di Indonesia ini. Jamsostek mendapat jatah saham Garuda senilai Rp 210 miliar, sekitar 4 persen dari total nilai saham yang dijual. Tapi ia membantah Jamsostek ditekan pemerintah agar membeli saham Garuda. ”Semua sudah sesuai dengan proposal,” ujarnya kepada Tempo, pekan lalu.

Rosan juga mengakui Recapital membeli saham Garuda. ”Partisipasi mendukung aset nasional seperti Garuda wajib hukumnya,” katanya. Menurut Rosan, tren saham Garuda di pasar sekunder akan sebaik saham perusahaan negara lainnya, seperti Bank Mandiri, BRI, BNI, dan Telkom. Saham Garuda bisa menjadi saham unggulan (blue chip) di Bursa Efek Indonesia.

Padjar Iswara, Agoeng Wijaya, Anne Handayani, Evana Dewi, Ucok Ritonga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus