AROK-DEDES | Penulis | : | Pramoedya Ananta Toer | Penerbit | : | Hasta Mitra, Desember 1999 | Penyunting | : | Joesoef Isak, Desember 1999 |
|
Novel Pramoedya, seperti halnya karya Pram sebelumnya, berkisar pada sejarah tanah airnya, Indonesia. Kali ini, karya Pram berkisah tentang perebutan kekuasaan dari suatu peristiwa klasik dalam drama sejarah, yaitu tentang Ken Arok, sebuah kisah yang menurut Pram adalah cerita kudeta pertama dalam sejarah kepulauan Nusantara.
Sesungguhnya, pendapat itu agak berlebihan. Pembentukan kekuasaan di kepulauan kita ini hampir selalu dengan kekerasan, dan demikian pula kejatuhannya. Contohnya Raja Balitung (akhir abad ke-10) dan dinasti di Jawa, yang singkat umurnya (100-l50 tahun). Bahkan, menurut teoretisi sejarah Jawa, C.C. Berg, dua sampai tiga raja pertama biasanya adalah nenek moyang yang merupakan mitos belaka. Karena itu, menurut Berg, kemungkinan besar Arok-Dedes adalah mitos belaka untuk membuat Raja Hayam Wuruk dari Majapahit (1350-1389) diagungkan dalam puisi epik Negara Kertagama oleh Prapanca sebagai raja yang lebih respektabel dari dinasti kuno; dan dia bukanlah seorang parvenu ("orang kaya baru" atau "orang yang baru berkuasa") belaka.
Bagaimanapun, sejarah Jawa penuh dengan petualang "orang baru"—dalam dinasti kerajaan—seperti Arok, yang berawal dari seorang perampok, anak yang ditemukan di jalanan yang menjadi raja Tumapel. Demikian juga sebenarnya riwayat Senopati (1582-1602), raja Mataram pertama, yang tidak banyak berbeda dari riwayat dinasti lain.
Akan tetapi, Pramoedya ada benarnya bahwa kisah Ken Arok adalah "kudeta pertama" dalam sejarah Jawa. Kisah ini sangat dramatis dan cukup banyak detail sebagaimana yang dapat dibaca dalam kitab Pararaton: Arok adalah seorang ambisius dan perencana licik terhadap majikannya, Tunggul Ametung, pembesar Tumapel, bawahan Raja Krtajaya (1216-22) yang megalomaniak. Sifat licik dan ruthless Arok digambarkan bahwa guru dan pembuat kerisnya, Empu Gandring, dibunuh oleh Arok.
Pembunuhan Tunggul Ametung pun menunjukan kelicikan Arok. Keris empu Gandring diberikan kepada rekannya, Kebo Ijo, kemudian Arok mencuri keris tersebut. Keesokan harinya, Tunggul Ametung ditemukan wafat oleh tikaman keris Empu Gandring. Kecurigaan tentu jatuh pada Kebo Ijo dan bukan pada Arok, pelaku yang sebenarnya. Apa lagi yang dapat kita katakan tentang Raja Krtajaya, yang megalomaniak, yang menganggap diri reinkarnasi Dewa Wishnu dan meminta kepada para rohaniwan (brahmana) untuk memujanya sebagai dewa di bumi? Para Brahmana menolak dan memihak pada Arok, yang pada waktu itu sudah menjadi pembesar di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang malang.
Syahdan, Arok menginginkan Dedes karena dia melihat Dedes mengeluarkan sinar berapi dari pangkuan antara dua kakinya (flaming womb), yang menandakan bahwa ia akan menjadi cikal bakal para raja Jawa. Tampaknya, tidak ada kisah yang lebih penuh kelicikan, kekerasan, kekejaman, tipu muslihat, dan ambisi yang ruthless seperti kisah Arok-Dedes dalam Pararaton.
Bagi seorang sejarawan, masalah perebutan kekuasaan dan bagaimana kejahatan dapat diberkahi takhta adalah bagian yang menarik. Dalam karya Pramoedya, selain kisah kekuasaan ada segi lain yang ditampilkan, yaitu pergulatan antara para brahmana aliran Civa (Sjiwa), yang dianut Dedes-Arok, rohaniwan Lohgawe (guru Arok), yang menentang Tunggul Ametung, dan Krtajaya, yang beraliran Wishnu dan mengejar para Sjiwa.
Sementara itu, Pramoedya menampilkan Ken Dedes sebagai peran utama. Karya Pramoedya dimulai dengan perkawinan paksa—dapat dikatakan penculikan Dedes—seorang anak brahmani yang masih berketurunan darah "Hindu", putri seorang brahmana terkenal Mpu Parwa yang menghilang, dengan Tunggul Ametung, akuwu dari Tumapel. Tunggul Ametung termasuk dalam kasta sudra (terendah) yang diangkat ke kasta ksatria. Ia buta huruf, sedangkan Dedes adalah brahmani yang tidak hanya pandai membaca dan menulis, tetapi juga menguasai sastra, bahkan Sanskerta. Dedes melukiskan Tunggul Ametung sebagai orang dungu yang tidak dihormati akan tetapi ditakuti. "Satria baru yang menakutkan…." "Satria hidup dari ketakutan dunia, maka dia terus juga takut-takuti dunia."
Ametung lalu menjawab, "Maka juga kaum brahmana takut pada satria," yang kemudian disambut Dedes, "Mereka tidak perlu takut pada kedunguan. Mereka belajar setiap hari untuk tidak menjadi dungu."
Pramoedya mengetengahkan masalah pertentangan antara dua aliran agama Wishnu menghadapi Sjiwa, sehingga kisah Arok pada versi ini tidak menjadi pertarungan tentang takhta dan kekuasaan belaka. Pramoedya mengangkatnya pada tingkat yang lebih budaya dan menampilkan alasan lain di luar keserakahan. Selain itu, tokoh Arok menjadi sangat simpatik karena Pramoedya menggambarkan pekerjaannya sebagai perampok semacam Robin Hood, yang mencuri dari si pencuri yang disebut raja.
Seperti filsuf Thomas Aquino, ia menanyakan, "Siapa yang sebenarnya penodong (perampok )itu? Sang raja atau sang penodong?" Tentu Arok, dalam merampok para penarik pajak Tumapel, segera membagikannya kembali kepada rakyat. Hasil rampokan juga digunakan untuk membeli persenjataan guna melawan kekuasaan Wishnu, Tumapel-Kediri .
Berlainan dari kisah asli, novel Pramoedya tidak mencantumkan masalah magis, seperti sinar yang berpancar dari vagina Dedes atau lingkaran-lingkaran api dan cahaya yang bersinar saat Arok tidur. Ia mencoba untuk menempatkan "Arok-Dedes" dalam versi yang "rasional", yang masuk akal bagi zaman ini. Empu Gandring, misalnya, pada versi Pramoedya adalah pengusaha senjata belaka—bukan pembuat keris pusaka—dan ini memberikan sentuhan pascamodern. Kebo Ijo adalah rival Arok, baik dalam perebutan Dedes maupun takhta Tumapel.
Dengan kerangka ini, pembaca pun bisa memahami bahwa di samping Arok adalah perampok dan panglima yang gagah dan tampan, ia juga dilukiskan sebagai seorang murid yang cerdas dari Lohgawe, seorang guru brahmana (Syiwa-it) yang besar. Arok juga diakui oleh para Brahmana Syiwa-it lainnya, yang menobatkannya sebagai jagonya.
Dalam versi Pramoedya, Dedes—yang sudah menjadi permaisuri Tumapel yang cantik dan terpelajar—tertarik pada Arok karena kefasihannya dalam bahasa Sanskerta dan pengetahuannya tentang sastra yang ia dapat ucapkan di luar kepala bait demi bait. Singkatnya, Pram tidak melukiskan Arok sebagai pelaku kudeta pada ucapan pertama bukunya. Awalnya, Arok ditekankan sebagai seorang kasta brahmana.
Karena ini sebuah novel, tentu saja Pramoedya menggambarkan masalah perebutan kekuasaan sesuai dengan fantasinya.
Hal ini berbeda dengan pertunjukan (panggung) tradisional seperti ketoprak, yang mengambil kisah dari Babad Tanah Jawi dan menampilkannya sesuai dengan yang diceritakan versi babad tersebut. Pada akhir buku Pramoedya, semua pertentangan agama dan kekuasaan menemui klimaksnya dalam runtuhnya kekuasaan Tunggul Ametung. Dia dilukiskan sebagai sosok yang sudah tua, runtuh, dan dalam keadaan sakit.
Mpu Gandring digambarkan sebagai salah seorang pemimpin pemberontakan terhadap yang ditumpas oleh Arok. Meski Arok adalah seorang perebut kekuasaan yang ambisius, ia berjanji kepada Tunggul Ametung dan permaisuri Dedes untuk melindungi jiwanya.
Karya Pramoedya ini, memang harus diakui, penuh fantasi, sepenuh fantasi kisah dalam buku Pararaton yang penuh dengan segala macam kisah kegaiban. Naskah kuno seperti Pararaton dan Negara Kertagama datang juga pada kita dalam bentuk abad ke-19 (pertengahan), dan siapa yang dapat menjamin bahwa dalam proses mengopi (menyalinnya), naskah kuno itu tidak disesuaikan dengan zamannya atau ditambah? Seperti juga dalam pertunjukan wayang kulit, sang dalang, yang menggunakan kisah yang ratusan tahun usianya, toh, selalu menyelipkan sesuatu yang kontemporer seperti terjadi dengan semua literatur yang berakar pada budaya lisan (oral).
Dalam novel-bersejarah (historical novel), sejarah yang kita kenal dikisahkan dengan tambahan, mungkin, beberapa orang yang fiktif. Dalam historical novel, masalah detail hidup dan gaya hidup harus sangat diperhatikan, dan ia dapat membantu kita untuk lebih mengerti pendalaman zaman sejarah yang dikisahkan.
Namun, yang penting, novel Pramoedya ini patut dilihat dari masalah pertentangan agama, hubungan sastrawan dan ksatria yang buta huruf, intrik kekuasaan, dan perlawanan terhadap kekuasaan yang ada.
Onghokham (sejarawan)