Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menimbang 'Arok-Dedes'

Novel sejarah Arok Dedes karya Pramoedya Ananta Toer baru saja diedarkan. Sebuah karya yang menyajikan sosok baru Arok dan berupaya mengoreksi sejarah yang kita kenal.

6 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arok Dedes tiba di panggung fantasi pembaca yang tengah memasuki abad baru. Bak mesin waktu, Pramoedya Ananta Toer kemudian melontarkan kita ke sebuah masa silam yang kemudian kita sebagai campuran antara sejarah, fantasi, dan mitos. Apa pun namanya, siapa pun sosok Ken Arok dan Ken Dedes, Pramoedya telah berhasil membuat sebuah perdebatan yang menarik dalam karyanya yang ia sebut sebagai upaya "koreksi sejarah" ini. Inilah sebagian cuplikan dari novel setebal 413 halaman itu. Kami memberikan subjudul untuk mempermudah pembaca menikmatinya. Ken Dedes dipaksa menikah dengan Tunggul Ametung (hlm. 4-5) Ia takkan dapat lupakan peristiwa itu pertama kali ia sadar dari pingsan. Tubuhnya dibopong diturunkan dari kuda, dibawa masuk ke ruangan besar ini juga. Ia digeletakkan di atas peraduan, dan orang yang menggotongnya itu, Tunggul Ametung, berdiri mengawasinya. Ia tengkurapkan diri di atas peraduan dan menangis. Orang itu tak juga pergi. Dan ia tidak diperkenankan meninggalkan bilik besar ini. Gede Mirah menyediakan untuknya air, tempat membuang kotoran dan makanan. Matari belum terbit. Lampu-lampu suram menerangi bilik besar itu. Begitu matari muncul masuk ke dalam seorang tua mengenakan tanda-tanda brahmana. Ia tak mau turun dari peraduan. Tetapi Tunggul Ametung membopongnya lagi, mendudukkannya di sebuah bangku yang diberi bertilam permadani. Ia tutup mukanya dengan tangan. Tunggul Ametung duduk di sampingnya. Orang dengan tanda-tanda brahmana itu telah menikahkannya. Hanya Gede Mirah bertindak sebagai saksi. Kemudian Tunggul Ametung meninggalkan bilik bersama brahmana itu. Sejak itu ia tidak diperkenankan keluar dari bilik besar ini. Semua berlangsung secara rahasia. Empat puluh hari telah lewat. Sekarang ini Gede Mirah meriasnya. Ia telah sampai pada riasan terakhir. Ia ingin kerja rias ini tidak kan berakhir. Dalam empat puluh hari ia telah bermohon pada Mahadewa agar melepaskannya dari kungkungan ini, mengembalikannya pada ayahnya tercinta di desa. Semua sisa-sia. Hari yang keempat puluh adalah hari selesainya wadad pengantin. Ia menggigil membayangkan seorang lelaki sebentar nanti akan membawanya ke peraduan. Dan ayahnya tak juga datang untuk membenarkan perkawinan ini. Ia sendiri juga tidak membenarkan. "Perawan terayu di seluruh negeri," bisik Gede Mirah. "Tanpa riasan sahaya pun tiada orang lain bisa menandingi." Bedak telah menutupi sebagian kepucatannya. Sekali lagi airmata merusakkan rias itu. "Jangan menangis. Berterimakasihlah kepada para dewa…. Ken Arok dan gurunya, Dah Hyang Lohgawe (hlm. 49-50) … "Baik, aku anggap kau banyak tahu, lebih banyak daripada yang kau peroleh daripadaku. Kau telah dapat membaca sendiri rontal tanpa bantuanku lagi. Ingin aku mengetahui sampai di mana dan seberapa pengetahuanmu." Ia terdiam, menutup matanya seperti hendak memulai samadhi. Ia membuka mata dan mengangguk tenang, "Baik , apa pendapatmu tentang Sri Baginda Kretajaya?" "Bukankah ada larangan membicarakan nama Sri Baginda?" "Hanya sampai di situ pengetahuanmu?" "Bahwa kita semua, murid dan mahaguru bisa dituduh membikin persekutuan gelap dan jahat." "Apakah gunanya pendapat kalau hanya untuk diketahui sendiri?" tolak Lohgawe. "Di dekat Tunggul Ametung anjing pun takut menggonggong. Barangsiapa takut pada pendapatnya sendiri....," Lohgawe menuding pada pelajar lain. "Ya , Bapa, dia tak perlu belajar untuk tahu dan untuk punya pendapat." "Betul, ya, Bapa, tidak percuma Hyang Ganesya menghias tangan yang satu dengan parasyu (kapak, lambang Ganesya-Red.) dan tangan lain dengan aksamala (tasbih, lambang Ganesya, Red.) ketajaman dan irama hidup. Tanpa keberanian hidup adalah tanpa irama. Hidup tanpa irama adalah samadhi tanpa pusat. Ampuni sahaya, Bapa." "Ya, sekarang katakan pendapatmu." "Pendapat sahaya, dengan tegas sekarang ini, ialah: Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe tidak suka pada Sri Baginda Kretajaya, apalagi pada akuwunya di Tumapel, Tunggul Ametung. Bapa percaya pada kami, maka juga percaya, persekutuan gelap dan jahat tiada bakal dituduhkan pada kami semua ini. Bapa Mahaguru Dang Hyang Lohgawe menimbang kami semua sebagai telah dewasa untuk bergabung dalam persekutuan para brahmana, menundukkan kembali Hyang Mahadewa Syiwa pada cakrawartinya. Ampuni sahaya, ya, Bapa Mahaguru." Lohgawe membelalak. Lidi enau di tangannya jatuh…. Akar pemberontakan Ken Arok (hlm. 69) … Dan ia terus belajar pada Dang Hyang Lohgawe. Gurunya bukan seorang mahasiddha, seorang yang menolak segala yang bersifat Buddha, ia mempertimbangkan segala berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang dikuasainya. Mahaguru itu juga menaruh kasih padanya karena kecerdasannya. Arok mendapat kebebasan penuh daripadanya. Kebebasan itu ia pergunakan terus untuk memimpin para pemuda menyerbui mana saja dan apa saja yang menguntungkan Tunggul Ametung dan teman-temannya. Tumapel tidak pernah tenang. Satu hal yang ia belum dapat menemukan adalah: sumber emas Sang Akuwu. Dari pengalaman-pengalamannya ia mengetahui, semua pejabat Tumapel menaruh takut bukan hanya hormat pada lambang-lambang para dewa. "Itu berasal dari kejahatannya yang terlalu banyak terhadap sesama manusia," ia memutuskan. Dan pengetahuannya itu akan dipergunakannya untuk menaklukkan para pejabat itu sendiri. Sampai di situ ia masih tetap berpendapat: semua yang dilakukannya selama ini tidak menyalahi Hyang Yama. Buktinya, semua temannya setia padanya. Tak ada seorang pun yang pernah berkhianat. Bahkan, dari hasil rampasan-rampasan itu, sebuah di antaranya pernah dipersembahkan untuk dirinya pribadi: sebuah mata uang emas yang indah dengan gambar wajah seorang yang indah pula sampai leher, dengan tulisan aneh yang ia tak pernah dapat baca. Azab menimpa Tumapel akibat perkawinan yang tidak direstui ayah Ken Dedes, Empu Parwa (hlm. 170-172) …Pada waktu itu terbayang oleh Tunggul Ametung penjaga candi Sri Erlangga. Ramalannya menjanjikan kebesaran karena perkawinannya dengan Dedes. Kini bencana demi bencana jadi hadiah kawinnya, dan kebesarannya terangkat naik ke atas ujung duri. "Baik, pergi kau pada Ratu Angabaya, pikirkan masak-masak sampai jawabanmu dapat kau persembahkan dan dapat difahami oleh Sri Baginda." Tunggul Ametung tidak diperkenankan meninggalkan Kediri. Dalam penahanan di istana Ratu Angabaya, tanpa seorang penuntun pikiran, ia mencoba mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang Arya Artya. Yang Tersuci memang tidak keliru bila menilai brahmana itu sebagai seorang yang rakus akan kebesaran dunia. Belakangka selalu menjauhkannya darinya. Dan bukan tanpa alasan. Apakah Arya Artya sedang menggali lubang perangkap untuk dirinya? Boleh jadi dia sedang menggali lubang untukku, tetapi apa artinya lubang untuk Tunggul Ametung ini? Dia telah berikan padaku Dedes. Dedes adalah segala-galanya. Dia lebih berarti dari Tumapel, dari hidup dan mati. Gadis yang secantik itu, sejelita itu, tidak menyerah gampang pada seorang Tunggul Ametung, telah menimbulkan rangsang semangat dalam hatinya. Hidup menjadi berbobot karena dia. Menjadi lebih indah karena dia. Ia tak menyesal akan lubang perangkap itu. Ia merasa berbahagia di dalamnya. Sekarang ia akan dapat mempersembahkannya: Arya Artya patut disingkirkan dari muka bumi. Ia tak berani meneruskan pikiran melenyapkan brahmana itu. Persembahan itu bisa menyebabkan jatuhnya titah untuk juga melenyapkan Ken Dedes, paling tidak titah untuk menyerahkan Paramesywarinya pada Sri Baginda. Ia tidak akan bicara sesuatu tentang brahmana terkutuk itu. Ia akan mempersembahkan kaum brahmana Syiwa pada umumnya, dan ia bersedia menumpas semua mereka dari muka bumi. Juga Mpu Parwa mertuanya, juga Dang Hyang Lohgawe. Hanya itu persiapannya untuk mempersembahkan pada Sri Baginda Kretajaya. Selama beberapa hari itu! Selama itu pula hatinya gelap pekat digumul oleh kerinduannya pada Ken Dedes. Ia mempersembahkan pada Ratu Angbaya telah siap untuk menghadap dan ia pun dihadapkan. Sri Baginda tidak sudi melihatnya. Yang Tersuci Tanakung yang menerimanya. Dan Kepala Penghulu Agama Negara itu menggedikkan tongkatnya karena kecewa: "Apakah selama dua puluh tahun belakangan ini hanya merampas dan merampok, menyembunyikan banyak hal pada Sri Baginda saja yang kau pelajari sebagai akuwu? Apakah kau tidak mengerti, dengan penumpasan kaum brahmana Syiwa, semua pemeluknya kan menghadapkan mata dan taringnya pada Kediri? Apakah kau tidak tahu kaum brahmana bukan satria? Mereka tidak akan membikin kerusuhan kalau tidak dirusuhi. Mereka tidak pernah bikin keonaran kapan dan di mana pun. Bagaimana seorang akuwu bisa berpendapat seperti itu?" "Mereka telah membikin kerusuhan dengan menggunakan Hyang Durga. Tak mungkin itu bukan karena mereka, Yang Tersuci." "Kau belum pernah mempersembahkan bukti itu pada Sri Baginda. Para brahmana adalah orang-orang terpandai dari seluruh negeri. Orang dungu, seperti kau ini, lebih suka melihat semua orang sedungu kau, maka kau ingin binasakan mereka. Kembali kau ke tempatmu. Pikirkan sekali lagi." Akuwu Tumapel kembali ke tempat penahanannya. Pada waktu itu ia menjadi ketakutan takkan diperkenankan kembali. Dan itu berarti ia bisa kehilangan segala-galanya: wilayah kekuasaan, singgasana dan Dedes. Dedes, ya, Dedes. Mengapakah setelah mengawininya, melalui jalan yang dibenarkan oleh para dewa, ia tertimpa begini banyak kesialan? Seorang akuwu, yang di negeri sendiri menggenggam jiwa semua orang, di Kediri tak ubahnya seperti anjing tanpa harga. Apakah Dedes yang memiliki kebesaran itu, dikasihi para dewa, dan Tunggul Ametung hanya menopang pada kebesarannya? Pikiran itu ia bantah sendiri. Semua kesialan dan kesulitan ini semestinya hanya bea untuk kelahiran anaknya. Dan ia mendapatkan sesanti dengan pikiran itu…. Sikap Tunggul Ametung terhadap kaum brahmana (hlm. 180-182) …Lohgawe menolak datang ke pewukuan. Belakangka tetap dapat menahan diri. Tunggul Ametung gusar. "Semua harus datang karena panggilanku. Semua harus pergi karena usiranku," raungnya. "Tidak bagi Dang Hyang Lohgawe, Yang Mulia," tegah Belakangka. "Tidak sembarang orang mendapatkan gelar Dang Hyang tanpa sebab, Yang Mulia," Sang Patih mencoba menasihati. "Seorang tua tanpa tenaga ... ," dengus Tunggul Ametung. "Apa artinya dia untuk mata pedangku?" "Seorang brahmana tidak bersenjatakan pedang, Yang Mulia," tegah Belakangka, "dia bersenjatakan kata, setiap patah diboboti sidhi dari para dewa. "Waktu mata akuwu itu membeliak padanya, ia tidak peduli. Meneruskan, "Cedera bagi orang seperti dia akan membakar amarah semua pemeluk Syiwa. Dia harus didekati, dibaiki, diambil hatinya." "Orang tua keparat!" "Belum pernah terbukti dia menghasut semua kerusuhan ini, Yang Mulia," Sang Patih mengajukan perhatian. "Apa artinya menolak penggilan kalau bukan hendak membangkang?" "Dia tidak pernah mendapatkan dharma dari Tumapel, Yang Mulia. Dia tak ada kewajiban untuk tunduk pada Yang Mulia," sekali lagi Belakangka menasihati. Juga sekali lagi Tunggul Ametung membeliak pada Belakangka. Setelah pulang dari Kediri, Yang Suci telah berubah dalam penilaiannya. Dia tak lagi dianggapnya teman sekepentingan dalam menumpuk kekayaan, lebih banyak seekor ular yang ikut tidur satu selimut dengannya. "Dia mendapat pengakuan dari Tumapel, diijinkan membuka perguruan ..." "Kalau semua dilarang membuka perguruan, Yang Mulia, dalam sepuluh tahun lagi tak ada anak muda bisa baca tulis, tak ada lagi yang mengerti bagaimana memuliakan para dewa, manusia kembali menjadi hewan rimba belantara." "Apa keberatan Yang Suci kalau semua kembali jadi hewan rimba belantara?" "Keberatan Bapa, semua musnah, juga Tumapel, juga Kediri." "Prajurit-prajurit tidak diperlukan lagi, Yang Mulia, juga akuwu, juga patihnya, juga raja, karena tak ada lagi yang mempunyai sesuatu untuk dipersembahkan," Patih Tumapel memperkuat, "setiap orang harus menjaga keselamatannya sendiri-sendiri, tak ada orang yang akan berbuat sesuatu untuk yang lain." "Justru karena itu Lohgawe harus binasa." "Kalau itu telah jadi keputusan Yang Mulia, tidak bisa lain, Bapa hari ini juga harus ke Kediri.""Yang Suci sekali lagi hendak mengadu?" "Bukan mengadu, itu tugas Bapa. Sekiranya Yang Mulia tidak indahkan lagi nasihat Bapa, memang tak ada gunanya lagi Bapa tinggal di sini." Tunggul Ametung berjalan mondar-mandir. "Sri Baginda Kretajaya pun mendengarkan Yang Tersuci Tanakung." "Tanpa yang Suci semua akan berjalan lebih mudah." "Betul, Yang Mulia, akan lebih mudah menukik ke jurang kebinasaan." "Baik, apa nasihat Yang Suci sekarang?" "Tak bisa lain, Yang Mulia seyogyanya datang mengunjunginya. Hanya datang berkunjung, dan orang-orang Syiwa itu akan menganggap Yang Mulia menghormatinya." "Akuwu Tumapel sowan pada Lohgawe? Nasihat cara apa itu?" "Untuk keselamatan Tumapel sendiri, Yang Mulia." "Tumapel cukup terjaga oleh prajurit-prajuritnya." "Yang Mulia," susul Patih Tumapel," tak ada yang tahu, apakah prajurit-prajurit itu Syiwa atau Wisynu, boleh jadi juga Buddha. Tak ada yang dapat mengetahui hati manusia secara tepat." Tunggul Ametung menatap patihnya, memancarkan kecurigaan: "Bukan tugasmu menasihatiku. Kau hanya menjalankan perintahku." Patih itu terdiam dan mengangkat sembah…. Awal pemberontakan Arok (hlm. 211-212) …Di bawah pimpinan Arok dan Tanca mereka melakukan penyergapanpenyergapan, penyerangan dan perampasan barangbarang Akuwu Tumapel. Dua kali mereka telah menyergap pengangkutan besi dari Hujung Galuh, menghancurkan lima koyang garam, lima puluh satu pikul beras, dua ratus takar minyakminyakan, beratus hasta kain tenun. Mereka telah dengar Tunggul Ametung hendak mengunjungi Dang Hyang Lohgawe untuk meminta pertolongan. Juga mereka telah dengar adanya bondongan pelarian orang Syiwa dari Kediri Selatan ke arah Tumapel Selatan. Mereka telah mulai membuka perangkap terhadap kekuatan Tumapel, setelah mengetahui tidak lain dari Tunggul Ametung yang melakukan penyerbuan dan penghancuran biarabiara Syiwa. Arok dan Tanca telah menemui Hayam dan mendapatkan keterangan secukupnya tentang pendulangan emas Kali Kanta, tentang barisan jajaro yang tidak pernah nampak oleh orang dan selalu membunuh orang yang mencoba masuk tanpa ijin, dan menahan yang dengan ijin, untuk kemudian juga dijadikan budak…. Pertemuan Ken Arok dengan Ken Dedes (hal.248-250) …Paramesywari turun dari tandu. Ia terpesona oleh kecantikannya. Kulitnya gading. Angin meniup dan kainnya tersingkap memperlihatkan pahanya yang seperti pualam. Arok mengangkat muka dan menatap Dedes. Dengan sendirinya ekagrata ajaran Tantripala bekerja. Cahaya matanya memancarkan gelombang menaklukkan wanita yang di hadapannya itu. Dedes terpakukan pada bumi. Ia menundukkan kepala, merasa mata seorang dewa sedang menumpahkan pengaruh atas dirinya. Ia gemetar. Dengan tangan menggigil ia buka pintu Taman Larangan itu, tapi tak mampu. Arok datang membantunya, dan ia dengar suara dewa itu: "Sahayalah orang Yang Suci Dang Hyang Lohgawe." "Dirgahayu untukmu, Arok." "Beribu terimakasih, Yang Mulia." Pintu itu terbuka. Arok dapat melihat Taman Larangan itu. Dedes masuk ke dalam dan pintu ditutup kembali. "Makhluk kahyangan, Arok," bisik prajuritnya. Arok tak menanggapi dan berjalan terus berkemit di belakang pekuwuan, di belakang puradalam, di dalam kebun buah, memutari gedung pekuwuan itu barang lima kali kemudian kembali ke tungguk kemit. Ia diterima oleh Pangalasan dengan perintah baru: "Demi perintah Yang Mulia Akuwu, kau, Arok, diharapkan menghadap sekarang juga di Taman Larangan." Dan Arok berangkat lagi ke belakang gedung pekuwuan. Pintu gerbang itu tidak terkunci dari dalam. Ia sorong dan terbuka. Dua orang pengawal gerbang itu mengangguk mengiakan. Setelah menutup pintu di belakangnya ia mengangkat sembah pada Sang Akuwu yang duduk bersanding di bangku kayu taman, di bawah rindangan pepohonan. Ia duduk bersila di hadapan Akuwu dan mengangkat sembah. "Inilah Arok, jago pilihan Yang Terhormat Dang Hyang," ia dengar Tunggul Ametung memulai. Arok mengangkat sembah pada Paramesywari. "Jadi kaulah yang bernama Arok," kata Dedes. Suaranya agak gemetar. "Inilah sahaya, Yang Mulia." "Berapa umurmu?" "Dua puluh, Yang Mulia Paramesywari." "Pernah kau belajar pada Yang Suci Dang Hyang?" "Sampai tamat, Yang Mulia Paramesywari." "Semuda itu sudah tamat? Ampuni aku, berapa banyak syair dalam karya Mpu Panuluh Hariwangsa?" "Enam belas ribu bait, Yang Mulia." "Bisakah kau mengucapkan barang sepuluh bait?" Arok membacakan bagian awal dalam Sansakerta. "Sansakerta!" Paramesywari mendesis, "Jagad Dewa." Matanya membeliak dan ditebarkan membikin lingkaran berdiri pada alam semesta. Berbisik pada Tunggul Ametung: `'Dalam Sansakerta seindah itu. Bukan manusia, dewa itu sendiri." Ia berdiri, tak tahu apa harus diperbuatnya, matanya sebak. Berbisik lagi pada suaminya."Tidak patut dia duduk di tanah begitu rupa."… Persaingan itu… (hlm. 311-312) Perbedaan antara Tunggul Ametung dan Arok memang kentara, walaupun duaduanya muncul dengan cara yang sama. Yang pertama memeras temanteman seperjuangannya yang terpercaya sampai semua tumpas dalam pertempuranpertempuran dan menggantikannya dengan anakanaknya sendiri, yang kedua memeliharanya. Belakangka telah menemukan cara untuk menghadapi Arok sekiranya memang berhasil dapat memadamkan semua kerusuhan. Ia akan pergunakan Kebo Ijo. Ia telah mengurus pengesahan silsilahnya yang ternyata benar tanpa setitik pun pemalsuan. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Tumapel. Ibunya anak seorang pengusaha pengangkutan air, yang menghubungkan Kutaraja dengan Hujung Galuh. Ia berumur sepuluh atau sebelas tahun waktu gerombolan Tunggul Ametung mulai menyapu desa demi desa, mengerahkan penduduknya menjadi prajuritnya dan menguasai seluruh Tumapel. Waktu itu ia masih bernama Langi. Ia kuasai lalu lintas air dan darat antara Tumapel dan Kediri baik dari selatan maupun utara. Perusahaan nenek Kebo Ijo gulung tikar. Dan bukan hanya itu, bapak Kebo Ijo, Kebo Delancang, seorang perwira Kediri, telah ditumpas bersama pasukannya oleh Langi di Desa Gledug. Kediri mengakui Kebo Ijo seorang dari kasta satria. Tunggul Ametung tidak menggubris. Ia akan tampilkan satria ini untuk menghadapi Arok, dengan segerobak janji indah. Dan ia tidak tahu, juga Empu Gandring telah memilihnya untuk jadi bidak bagi gerakannya. Kastanya akan membikin ia berapiapi menghadapi si sudra Langi Tunggul Ametung. Tetapi ia belum lagi mulai mendekati satria, yang tidak diakui itu. Ia masih harus menunggu gerakan pembersihan di selatan. Kalau Tunggul Ametung tewas sekarang ini, keadaan akan menjadi sulit, karena seluruh Tumapel akan terlibat dalam perkelahian semua orang lawan semua orang. Dan itu berarti hilangnya pengaruh dan kekuasaan Kediri. Ia sendiri terpaksa juga menyingkirkan diri. Kalau Tunggul Ametung keluar sebagai pemenang, kaum perusuh di selatan dapat dikalahkan, tindakan pertama Sang Akuwu adalah menghadapi Arok. Antara keduanya harus terbit suatu permusuhan yang terkammenerkam, dan Arok harus kalah dan Tunggul Ametung dalam keadaan lemas tanpa daya…. Akhir kekuasaan Tunggul Ametung (hlm. 350-351) …Siang itu Arok menghadap Paramesywari untuk mendampinginya menghadapi pameran kekuatan Kebo Ijo. Pasukan Arok dan Kidang yang tetap di pekuwuan diperintahkannya menarik diri ke belakang pekuwuan. Seluruh Tumapel sepi, tak ada berani keluar dari rumah. Hanya anjing dan babi dan kucing berkeliaran di jalan-jalan. Hujan turun sebentar, deras, tetapi hari tetap gelap oleh mendung tebal yang tergantung di langit. Kilat tak hentihenti mengerjap, diikuti oleh petir dan guruh. Tetapi hujan tak juga turun lagi. Dedes mengawasi Arok yang duduk di bawah di hadapannya. Pikirannya melayang pada masa dua bulan yang lalu waktu Arok datang ke pekuwuan untuk pertama kali, dan ia mengandung dua bulan. Kini kandungannya telah berumur empat bulan, dan balatentara Tumapel sedang balik gagang melawan ayah dari kandungannya. Ia tahu, balatentara itu tidak memusuhi dirinya. Dan siapa pun yang menggantikan Tunggul Ametung akan mengangkatnya sebagai Paramesywari, karena kasta dan kecantikannya. Juga ia tahu orang menghendaki jiwa suaminya. Dan ia menitikkan air mata. Suaminya kini terbujur nyenyak termakan bius ringan. Para menteri dan Sang Patih Tumapel telah kemarin melarikan diri bersama keluarga masingmasing ke arah timur, daerah yang belum pernah mengalami kerusuhan. Sebagian dari para abdi juga telah pada mengungsi. "Kau menangis, Dedes, anak Mpu Parwa!" Dedes menyeka matanya. "Mereka semua memusuhi suamimu. Dan dia sekarang tidur tanpa menyadari keadaan dan kejahatannya selama ini." Membayangkan bahwa takkan lama lagi seseorang akan membunuh suaminya, dan darah akan menyemburat, dan anak dalam kandungan takkan mengenal bapa, ia menjadi terhisak-hisak. "Apakah sekarang kau berbalik pikir, anak Mpu Parwa?" Dedes menutup muka dengan dua belah tangan dan menangis. "Kau menyesal?" Dedes terus menangis. Dan pendopo yang lengang itu diisi oleh suaranya yang pelahan ditahantahan. "Bukankah demi Hyang Mahadewa telah kau serahkan hidup dan matinya padaku?" "Darah! Darah bapanya, Guru, Kakanda."….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus