Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja ini bukan kali pertama Pram menulis novel berdasarkan sosok sejarah. Sebelumnya ia sudah pernah menulis Panggil Aku Kartini, yang juga menampilkan sosok Kartini dari mata dan imajinasi Pramoedya sebagai novelis.
Salah satu hal yang membuat buku ini menarikterlepas dari kecenderungan Pram untuk berpanjang-panjang tanpa upaya menyunting diri sendiriadalah bagaimana ia mampu membuka cakrawala pembaca pada sebuah era saat para penganut Hindu dan Buddha tarik-menarik kekuatan. Dengan cukup fasih dan riset yang tampak dalammeski Pram mengaku hanya menulis dari pemikirannyaPram mencoba menampilkan sosok-sosok pada zamannya. Penjiwaan akan Hindhu dan Buddha yang tertulis dalam Arok Dedes memperlihatkan bagaimana Pram mempelajari ritual dan bahasa yang digunakan dalam agama itu untuk zaman itu. Maklum, selama menjadi tahanan, menurut Pram, "Kami hanya boleh membaca buku agama." Padahal, sebagaimana pengakuannya pada masa lalu, Pram adalah satu dari mereka yang masih mencari dan bergulat dengan persoalan eksistensi Tuhan, tetapi itu tak berarti dia tak mengindahkan esensi agama yang ada dan itu tak berarti dia tak mampu menggali pengetahuan agama melalui buku-buku yang dibacanya.
Hal lain yang menarik, seperti yang diakuinya, bagi Pram, Arok Dedes adalah salah satu upaya koreksi sejarah. Jauh sebelum Pram dicemplungkan di dalam pulau yang terpencil itu, Pram mengaku agak terganggu dengan kecenderungan irasionalitas Jawa, yang membuat dia gatal melakukan koreksi sejarah.
Dan hal terakhir yang menarik, seperti biasa, adalah bagaimana sebuah naskah buah karya seorang tahanan politik (tapol) bisa bertahan. Novel karya Pram, bagi teman sesama tapol, adalah sebuah hiburan. Dengan membuat naskah yang dirangkap tujuh, naskah tersebut dibagikan kepada teman-temannya. Selain itu, sesuai dengan peraturan, naskah itu juga harus disetor ke penjaga di Pulau Buru. Namun, karena kecerdikannya, dia berhasil menyelundupkan naskah yang lain untuk diserahkan ke gereja di Pulau Namlea dan disebarluaskan oleh seorang pendeta di sana, sementara naskah lainnya digilir ke unit-unit desa tapol lain untuk dibaca. Berikut cerita Pram tentang proses penulisan novel ini dan cerita penyelundupan naskah ini keluar Pulau Buru kepada Purwani Diyah Prabandari dan Bina Bektiati dari TEMPO.
Apa motivasi Anda menulis cerita Arok Dedes?
Itu satu bagian dari sejarah yang tidak pernah diperhatikan. Kisah Arok Dedes terjadi pada abad ke-13, tetapi cerita itu baru ditulis pada akhir abad ke-15. Kisah ini tak lagi ditulis dalam bahasa Jawa kuno seperti halnya Negara Kertagama, yang ditulis pada zaman Majapahit.
Di situ saya menemukan sejumlah masalah. Pertama, kitab Negara Kertagama tidak pernah menyebut kata keris. Mengapa dalam kitab Pararaton muncul istilah keris, yang bahkan menjadi titik berat cerita itu?
Itu yang membuat cerita Anda sangat berbeda dari cerita yang kita ketahui selama ini mengenai pembunuhan Akuwu Tunggul Ametung dengan keris buatan Mpu Gandring?
Itulah sebabnya saya mulai berpikir bahwa cerita itu mungkin salah. Menurut yang kita pelajari dari bahan tertulis, saya kira, ini merupakan permulaan dari pemikiran irasionalitas Jawa. Ada kutukan, ada keris, itulah awal irasionalitas Jawa. Keris memang hal yang menarik untuk dipelajari karena semasa Ken Arok dan Ken Dedes, Jawa belum mengenal besi dan baja. Jadi, senjata itu masih terbuat dari perunggu, pengaruh budaya Dongson dari Teluk Tongkin. Mungkin saat itu keris memang sudah ada dan sudah berkembang, tetapi belum bernama keris. Dan mungkin juga pada waktu itu belum dianggap memiliki tuah. Keinginan saya dengan menulis cerita ini agar semua irasionalitas kita ini dihentikan. Karena (irasionalitas) ini masih berlangsung hingga sekarang.
Apa yang menjadi tujuan Anda membuat cerita ini?
Maksudnya, supaya kita sadar tentang irasionalitas Jawa. Salah satu contoh irasionalitas Jawa lain adalah cerita mengenai Nyi Roro Kidul, Ratu Laut Selatan. Itu ditulis setelah Sultan Agung dua kali menyerang Batavia dan kalah. Akibatnya, Laut Jawa jatuh ke tangan Belanda. Untuk mengagungkan feodalisme Jawa, menurut pujangganya, semua raja Jawa kawin dengan Nyi Roro Kidul. Artinya, Jawa tetap berkuasa di laut. Sampai sekarang itu masih dipercaya.
Lalu mengapa cerita Ken Arok Ken Dedes dalam sejarah menjadi seperti yang kita ketahui selama ini?
Itu cerita dari pengarang pada akhir abad ke-15. Kata keris adalah pengaruh kedatangan Portugis. Orang Jawa tidak mengerti ada sekelompok pasukan yang kecil (Portugis) yang bisa menang di mana-mana. Seluruh daerah yang mereka datangi bisa diduduki. Orang Jawa mulai irasional. Mereka tidak mengerti persoalan organisasi perang. Kalau mereka mau perang, biasanya tinggal pukul kentongan, rakyat harus datang dengan persenjataan sendiri dan tanpa pengalaman perang, terus maju. Akibatnya, mereka dibabati saja oleh orang-orang Portugis yang profesional. Kemudian orang Jawa menemukan bahwa kehebatan orang Portugis terletak pada "kuros"-nya (pedang pendek). Lantas muncul kata keris yang berasal dari "kuros".
Orang Jawa terkagum-kagum pada kehebatan Portugis sampai orang Jawa menamai orang Portugis lelananging jagat (pejantannya dunia).
Ada kesulitan tersendiri dalam menggabungkan fakta sejarah dengan pemikiran Anda sendiri?
Menulis itu bagi saya mudah, karena semua materi sudah tersedia. Bukan hanya pada saya, tetapi pada semua orang. Saya mengobrol banyak dengan mereka. Jadi, walaupun menulisnya 12 abad yang lalu, perbandingannya tetap sekarang. Bagaimanapun, perbedaan zaman itu tetap satu kelanjutan.
Dalam Arok Dedes, Anda sepertinya sangat memahami agama lama saat itu, seperti Hindhu dan Buddha. Bagaimana Anda mempelajarinya?
Tahanan politik itu hanya boleh membaca buku agama.
Ketika Anda membuat Arok Dedes, betulkah itu diilhami peristiwa jatuhnya Sukarno oleh Soeharto?
Salah satunya ya.
Bagaimana ide itu terus muncul?
Saya melihat bahwa persoalan politik di Jawa hingga zaman Bung Karno itu politik elitis. Dan belum berubah hingga sekarang.
Apakah menurut Anda Soeharto mirip dengan tokoh Ken Arok?
Ada yang mirip dan ada yang tidak.
Bagaimana Anda menggambarkan sosok Ken Arok dibandingkan dengan Soeharto?
Sebelum peristiwa 1965, saya mendapat masukan dari orang-orang Lekra mengenai kesalahan sejarah dalam menulis Ken Arok. Rupanya, itu berpengaruh kepada saya. Arok itu Robin Hood. Praktis Arok sebenarnya tidak jatuh. Memang dia mati dibunuh. Tetapi rakyat mengangkatnya sebagai anak tiga dewa. Dan candi kematiannya adalah candi terbesar di Jawa Timur di Kagenengan. Adapun Soeharto hanya meninggalkan penderitaan untuk orang lain. Arok yang membuat Hindu Jawa menjadi Jawa Hindu. Artinya, bukan Hindu yang menentukan Jawa, tetapi orang Jawa yang menentukan Hinduisme. Itu bisa dilihat dalam dunia kesenian, budaya, pendirian candi-candi yang sudah berubah sama sekali dari bentuk asli.
Apakah suasana sebelum jatuhnya Tunggul Ametung sama dengan suasana menjelang jatuhnya Soekarno?
Ada kesamaan, ada perbedaan. Kesamaannya adalah itu pekerjaan suatu komplotan. Perbedaannya adalah penggunaan kemenangan komplotan itu.
Di mana letak irasionalitas situasi politik masa kini?
Masyarakat elite yang tidak bekerja, tetapi mau senang terus. Apa saja ditempuh. Itu sudah dimulai ratusan tahun yang lalu.
Apakah konflik agama dalam Arok-Dedes juga relevan dengan situasi politik sekarang?
Sejauh yang saya ketahui, sebelum penjajahan, tidak ada konflik agama. Sebab, pada waktu itu bukan prinsip yang menjadi persoalan. Kalau agama, kan, prinsip. Prinsip saat itu adalah bisa hidup damai. Jadi, semua prinsip diterima asal bisa menyelamatkan kehidupan.
Tetapi bukankah pada masa Arok-Dedes sudah ada konflik agama, sewaktu para penguasa saat itu, Tunggul Ametung, menumpas para brahmana Syiwa?
Menurut saya, saat itu bukan persoalan agama, tetapi kekuasaan. Di Tuban ada klenteng yang tercantum cap Kubilai Khan. Itu artinya sejak Kubilai Khan masuk ke Jawa, tidak pernah ada konflik antara Tionghoa dan penduduk asli. Sebab, kalau terjadi konflik, klenteng-klenteng itu pasti hancur. Jadi, kalau ada konflik, itu bikinan, soal kekuasaan. Dan soal brahmana dan satria itu masalah kelas dalam masyarakat yang telah berlangsung berabad lamanya. Tidak sekaligus. Pada awalnya, yang berkuasa brahmana, kaum intelektual. Kemudian yang berkuasa adalah satria, yang memiliki senjata. Mereka merasa mengapa mesti mendengarkan brahmana. Maka, brahmana tersingkirkan.
Bagaimana Anda mendapat bahan-bahan untuk menulis Arok Dedes karena saat itu Anda berada di pulau Buru?
Sewaktu remaja, kerja saya memang membaca sambil menggembala kambing. Jadi, waktu di Pulau Buru, semua bahan sudah di otak. Apa yang menarik dari bacaan saya waktu remaja tetap tinggal di otak saya.
Ketika menulis novel ini, saya mencoba memberikan jawaban mengapa bangsa ini menjadi begitu irasional. Saya mencoba menjawab melalui cerita. Kalau itu disalahkan, silakan. Tetapi saya sudah memberikan sumbangan. Sekarang ini negara Indonesia menjadi negara pengemis. Ini akibat 400 tahun lamanya tidak bisa menjawab persoalan sejarah Indonesia. Salah satu contohnya, kita menamakan diri Indonesia. Indonesia itu artinya kepulauan India. Adalah Portugis yang pertama menggunakannya akibat perebutan monopoli rempah-rempah dulu di antara negeri-negeri Eropa. Dan rempah-rempah pada waktu itu trade mark India. Indonesia tidak berani mengoreksi kesalahan sampai sekarang. Ini salah satu butir dari kesalahan sejarah.
Bagaimana Anda menulisnya, karena Anda tahanan politik?
Setelah 1973, saya diizinkan menulis, tetapi harus menyerahkan ke penjaga. Arok Dedes juga termasuk naskah yang harus diserahkan. Tetapi, karena saya membuat rangkap tujuh, saya masih bisa menyimpan dan menyelundupkannya ke luar Pulau Buru. Sementara itu, selain yang diselundupkan dan diserahkan, kopian yang lain diedarkan di semua unit desa tapol di Pulau Buru untuk dibaca teman-teman. Saat itu ada 14 unit desa tapol yang menunggu giliran membaca
Bagaimana proses naskah Anda keluar dari Pulau Buru?
Naskah itu diselundupkan. Saya menyerahkan kepada teman, seorang pengemudi kapal yang membawa bahan makanan atau kayu antarpulau di sekitar Pulau Buru pada tahun-tahun setelah 1973. Dari situ, naskah saya diserahkan ke gereja Katolik di Namlea untuk diselamatkan. Sebelumnya, saya tanyakan apakah sang Pastor Rovink bisa menyelamatkan naskah saya. Dia bilang bersedia. Jadi, naskah itu diselundupkan secara bergelombang, dan berbentuk lembaran-lembaran kertas. Sewaktu saya keluar dari Pulau Buru, semua kertas dirampas oleh Angkatan Darat.
Dari mana Anda mendapat kertas?
Saya punya delapan ayam. Saya menjual ayam dan telurnya untuk membeli kertas dan rokok. Terkadang saya juga mendapat kertas dari gereja atau teman-teman yang memiliki penghasilan.
Setelah sampai di gereja, apa yang terjadi dengan naskah Anda?
Gereja yang mengurus. Ketika saya datang ke Jakarta, naskah saya sudah tersebar di dunia. Mereka memang minta izin. Termasuk novel yang belum terbit, Mangir.
Berapa lama waktu yang Anda perlukan untuk menulis Arok Dedes?
Saya menulis itu cepat. Paling lama dua minggu hingga sebulan.
Bagaimana nasib naskah yang diserahkan ke penjaga?
Saya tidak tahu. Itu urusan Angkatan Darat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo