Bukan cuma bikini yang meriah di Kuta, tapi juga kain polang-poleng yang dipakai para penjaga pantainya. Kain bermotif papan catur hitam-putih itu, setelah pengeboman Sari Club tahun lalu, tampak berseliweran di kawasan wisata internasional tersebut. Pengeboman tahun lalu di Legian Kuta, yang memakan korban sekitar 200 orang, membuat polisi tak mau lagi kecolongan. Dan mereka pun melirik banjar untuk membantu.
Banjar, yang berarti barisan rumah, adalah denyut jantung kehidupan adat bagi kebanyakan orang Bali. Sebagai lembaga komunal, mereka mengerjakan semua pekerjaan di banjar. Dari meriahnya pesta pernikahan hingga derasnya air mata saat palebon, semuanya dirasakan bersama. Bendesa (ketua) desa adat seperti I Gusti Ketut Sudira tidak bakal repot merekrut anggota satuan tugas (satgas) karena tiap banjar punya pengurus organisasinya yang jelas dan hampir semuanya memiliki gedung pertemuan sendiri (paruman). Cukup menghubungi kelian atau ketua banjar, urusan rekrutmen langsung beres.
Sudira membentuk satgas pantai, kelompok penjaga pantai yang diambil dari 13 banjar adat di Kuta. Tiap banjar mengirimkan tiga orang. Jika ada yang kurang, banjar lainnya harus menambahi. Bendesa adat memilih satu komandan satgas yang bertanggung jawab kepada desa adat. Tugas mereka cuma satu, menjaga keamanan kawasan Pantai Kuta. Pemerintah Denpasar memberikan gaji buat mereka Rp 635 ribu per orang.
Selain memiliki satgas, banjar umumnya punya petugas keamanan khusus dari desa adat yang biasa disebut pecalang. Biasanya mereka muncul menjadi penjaga keamanan saat ada upacara adat. Misalnya untuk mengatur agar tidak saling serobot masuk tempat upacara. Demikian juga untuk menjaga keramaian di jalan jika upacara itu harus memakai jalan raya.
Tapi, seperti satgas parpol, pecalang sering dipakai untuk membantu acara besar pemerintah macam perhelatan para pemimpin ASEAN di Bali. Di Kecamatan Kuta, ada empat desa adat, yakni Kuta, Legian, Seminyak, dan Tuban. Masing-masing memiliki bendesa dan pecalang sendiri. Seorang pecalang adalah pemuda yang dipilih oleh banjarnya. Biasanya mereka adalah orang yang memiliki kemampuan bela diri dan juga kemampuan spiritual yang tinggi. Hanya, untuk urusan kekuatan spiritual ini, pecalang biasanya tidak mau membeberkannya.
Mereka punya seragam adat, yakni sarung kotak-kotak hitam-putih, baju putih, ikat kepala khas Bali, dan sebilah keris yang terselip di pinggang yang biasa disebut selet. Senjata menjadi simbol khas para pecalang karena tak sembarang orang boleh memakai selet—walaupun hampir semua rumah tangga di Bali punya keris.
Kalau ada keributan di bar, pecalang akan memberikan saran untuk berdamai saja. Dan kepada pasangan yang sedang berkencan di pantai pada malam buta, kata Sudira, biasanya disarankan mencari hotel murah daripada telanjang kedinginan kena angin pantai. Pecalang memang dijauhkan dari kesan seram dan galak, biar turis tidak kabur.
Ada lagi kelompok yang tak berselet, yaitu pemuda desa biasa. Disebut biasa untuk membedakannya dengan pecalang dan satgas pantai. Mereka pemuda banjar, juga berpakaian adat. Setelah pengeboman, para pemuda desa ini sering berkumpul di banjar, menjadi lapisan kedua dari pecalang. Sudira mengatakan, sistem pertahanan desa di Kuta jalan terus, tidak bergantung pada ada atau tidaknya ancaman dari teroris. Tentang ledakan di Kuta tahun lalu, Sudira cuma berujar, "Itu kehendak Yang di Atas. Amerika saja kecolongan, kok."
Polisi juga punya pasukan polisi pantai resmi. Dengan seragam yang funky—celana pendek, kaus ketat, kacamata, dan topi koboi—mereka adalah kesatuan polisi pantai dari Kepolisian Wilayah Kota Besar Denpasar yang sudah terbentuk beberapa bulan lalu. Pak Polisi ini dibekali kepandaian berbahasa asing biar bisa cas-cis-cus ketika membantu turis. Sekarang, tiap siang yang panas dan malam yang benderang oleh nyala lampu merkuri, bule-bule berbikini warna-warni itu aman berjemur di Kuta, dijaga seragam polang-poleng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini