PELATARAN Hotel Begawan Giri Payangan, Bali, 21 Agustus lalu. Sebuah truk penuh laki-laki dari Desa Teges meluncur ke tempat parkir mobil. Begitu tiba, mereka meloncat ramai-ramai dan masuk ke ruang ganti pakaian. Puluhan lelaki itu, sembari bercanda ria mengenakan cawat, telanjang dada. Cak, cak, cak…. Inilah penari cak dari Desa Teges yang terkenal.
Namun, belum sampai masuk ke ruang pertunjukan, tiba-tiba datang rombongan lain agak beringas. Mereka adalah seniman kecak Desa Payangan. Membawa spanduk dan kayu, mereka berteriak-teriak dan menuduh para penari Teges merebut rezeki mereka. Sontak penari Teges ketakutan. Sebagian penari anak-anak sampai bersembunyi di bawah meja. Yang dewasa berusaha menenangkan para pendemo. "Mana otonomi daerah, kalau warga lokal tak dapat order…, beh, beh, beh," teriak pendemo.
Kelompok kecak yang satu didemo kelompok lain. Ini mungkin salah satu pemandangan baru jagat seni tradisional Bali pasca-bom Bali. Dan bukan pertama kali kelompok kecak Teges didemo demikian. Beberapa bulan sebelumnya, saat main di sebuah hotel di Nusa Dua, mereka juga diprotes grup kecak setempat. Soalnya sama: dianggap merebut jatah. "Mereka lalu minta supaya bisa ikut main bersama," tutur I Ktut Rina, pemimpin cak Desa Teges.
Sejak peristiwa bom Bali, order menari bagi grup penari kecak memang menjadi masalah sensitif di Bali. Banyak grup kecak gulung tikar atau banting harga. Grup kecak Garuda Wisnu Kencana, misalnya, menurunkan harga dari Rp 1,5 juta menjadi Rp 600 ribu sekali main. Grup kecak Desa Teges, Kanginan Ubud, pimpinan I Ktut Rina di Bali, memang termasuk papan atas. Boleh disebut paling mahal tarifnya daripada grup kecak lainnya, yaitu Rp 3 juta. Mereka memang tak bisa mematok harga tinggi-tinggi karena banyaknya kelompok kecak baru yang bahkan mau dibayar Rp 1 juta ke bawah.
Bila grup kecak Teges kondang, itu memang ada sejarahnya. Dahulu, tahun 1970-1971, Sardono W. Kusumo menetap di Teges. Teges kala itu desa miskin, belum ada listrik. Sardono ingin membuat cak berdasar kehidupan sehari-hari petani. Di tangan Sardono, kecak tidak sekadar duduk melingkar. Kecak bisa sambil berdiri, lari keluar-masuk pura. Kala itu umur Rina 4 tahun. Ia sampai ikut pertunjukan Sardono yang naik panggung di Paris: Dongeng dari Dirah. Sekarang warga desa yang dahulu menari bersama Sardono sudah beranjak tua. Tapi Rina memelopori regenerasi penari di Teges. Kini penari cak terkecil di Teges umur 6 tahun dan tertua 69 tahun.
Rina mengakui, pada masa pasca-bom ini, order untuk grup kecaknya masih mengalir, hingga timbul kecemburuan grup lain. Tapi itu tidak berarti pertunjukannya tak terpengaruh. "Tiga bulan pertama malah tidak ada sama sekali, 15 order semua di-cancel," tutur Rina. Kini setiap bulan dia paling banter hanya menerima lima order, termasuk dengan jadwal main tetapnya di Museum ARMA Bali setiap purnama tilem. Padahal sebelumnya rata-rata dia mendapat 10 order. "Kalau untuk keperluan membuat film, saya pasang tarifnya 50 juta, tapi itu jarang," ujarnya.
Uang Rp 3 juta sekali main itu, menurut Rina, dibagi rata dengan para penarinya yang rata-rata mendapat upah Rp 20 ribu sekali main. Jumlah penari yang ikut dengannya maksimal 100 orang, termasuk sekitar 30 anak-anak. "Semua petani. Kalau lagi musim panen, paling yang ikut cuma 60 orang," ujarnya. Uniknya, setiap mendapat order, mereka lebih memilih diangkut pakai truk terbuka yang mereka sewa Rp 250 ribu.
Padahal, kalangan pemerhati kesenian Bali selama ini sudah mengimbau agar grup-grup kecak jangan mau direndahkan oleh hotel. Harusnya hotel-hotel tempat diselenggarakannya kecak itu menyediakan jemputan yang layak. Bagaimanapun, mereka seniman, bukan komoditas murahan. Tentang hal ini, Rina hanya tersenyum pahit. "Tapi enggak papa. banyak penari saya muntah naik mobil biasa. Naik truk kan bisa kena angin, dingin, enggak akan muntah, ha-ha-ha...," ujarnya.
Soal jumlah penonton yang melorot juga jadi masalah yang menimpa grup barong terkenal Bali. Di sepanjang jalan raya Batu Bulan, Gianyar, misalnya, dapat Anda temui dengan mudah tempat pertunjukan barong. Biasanya mereka juga menampilkan pertunjukan kecak. Salah satu sekehe (kelompok) yang terkenal adalah Barong Sila Budaya. Keadaan telah berubah. Dulu pelataran parkirnya dipenuhi bus dan bisa membuat macet jalanan, sekarang tempat itu sepi.
"Dahulu kami sampai mengalihkan penonton lokal ke tempat lain, karena sudah padat di-book wisatawan asing," kata A.A. Anom Suteja, pemimpin sekehe ini. Kelompok tersebut sebelum bom bisa 2-3 kali tampil setiap paginya mulai pukul 09.30 Wita. Tentu saja dengan jumlah penonton yang full capacity, yakni mencapai 500 orang sekali pentas. Tapi saat TEMPO menonton pentas kecak di suatu sore pasca-bom Bali, jumlah penari kecaknya lebih banyak daripada jumlah penontonnya.
Anom masih ingat ketika bom baru meledak: beberapa bulan sekehe-nya tidak mentas. "Saya harus nombok Rp 35 juta untuk bayar gaji penari dan karyawan yang jumlahnya 200-an orang," katanya. Penari kecaknya sendiri sekarang hanya dibayar Rp 12 ribu untuk sekali pentas. Dulu, sebelum bom Bali, Anom mengaku sering menolak order tamu lokal, terutama anak sekolah. "Dari dulu sekehe saya spesialis terima tamu asing saja, sekarang tidak," tuturnya mengakui.
Hal itu juga terjadi pada kelompok Barong Sahadewa, Gianyar. Didirikan pada 1969, saat pariwisata Bali mulai tumbuh, kelompok ini termasuk kelompok barong tua. "Dahulu ayah saya melihat tari barong di Singapadu, Gianyar (tetangga Desa Batu Bulan), ternyata sangat menarik wisatawan, lalu mendirikan grup ini," kata Dewa Made Teges Wirawan. Seperti disaksikan TEMPO di tempatnya di Banjar Den Jalan, Batu Bulan, Gianyar, grup ini menerima banyak anak sekolah sebagai penonton meski bayarnya lebih murah.
Untuk menikmati tontonan ini, dikenakan charge Rp 50 ribu bagi penonton lokal yang datang sendirian. Sedangkan yang datang dengan pemesanan dari biro perjalanan cuma dikenai Rp 15 ribu per orang. "Pengalihan liburan tanggal merah untuk memperpanjang akhir pekan memang cukup membantu, karena makin banyak wisatawan lokal yang datang," ujar Dewa Made Teges Wirawan. Sore itu ada serombongan siswa SMU dari Yogyakarta yang memanfaatkan liburan akhir pekan selama tiga hari, 20-22 September. Dan di tempat yang sama, kira-kira 100 wisatawan asal Taiwan dan Korea memenuhi deretan kursi bagian depan.
Bila dibandingkan dengan situasi sebelum bom Bali 12 Oktober 2002, penurunan itu terasa sangat drastis. "Nyaris tidak masuk akal," kata Wirawan. Sebelum bom, sekitar 200 kursi yang dikhususkan bagi wisatawan asing bisa dipastikan penuh terisi. Pada bulan-bulan tertentu, bahkan tempat duduk bertangga dengan kapasitas 300 orang bisa dipenuhi wisatawan mancanegara setiap harinya. Kadang biro perjalanan tertentu malah meminta waktu pertunjukan di luar jadwal harian, sehingga pentas bisa dilakukan 2-3 kali sehari—dengan jadwal harian rutin pukul pukul 9.30-10.30. Pementasan ekstra otomatis akan menambah penghasilan penari.
Pasca-bom Bali, jumlah penonton tak menentu, naik-turun mengikuti sentimen peristiwa di luar sana. Bulan November dan Desember, cuma puluhan penonton yang datang. "Saat itu saya sampaikan, kalau empat bulan begini terus, mungkin harus tutup atau ada pengurangan karyawan," kata Dewa, yang memiliki 80 penari dan penabuh yang berstatus karyawan. Bulan Januari-Maret 2003 situasi agak membaik. Tapi kemudian terjadi Perang Teluk dan wabah SARS, sehingga situasi sepi kembali. Bahkan sempat tutup pada bulan Mei. "Kini situasi membaik lagi mulai Juni 2003. Tapi, ketika Agustus lalu ada bom di Marriott, tamu sepi kembali," katanya. Bahkan rombongan tamu dari Eropa yang sudah pesan tempat untuk bulan September-Oktober kabarnya membatalkan niatnya datang ke Bali.
Informasi yang diterimanya dari biro perjalanan wisata: mereka baru merencanakan pergi ke Bali pada Oktober 2004 setelah pemilu. "Itu pun kalau tidak ada kejadian apa-apa," ujarnya. Karena alasan itu, puncak keramaian turis yang disebutnya tercapai pada tahun 1992 makin jauh dari bayangan. "Saat 1992 itu ada kampanye kunjungan wisata ke Indonesia. Kalau turis mau ke sini, mobil mesti diparkir sampai satu kilometer, dan mereka mesti jalan kaki ke sini melewati sawah-sawah. Tapi mereka senang sekali," tuturnya. "Dulu tiap malam bisa 2-3 kali pentas, enggak langsung pulang seperti sekarang," kata Ktut Budayasa, 25 tahun. Selain membawa pulang honor, para penari kerap mendapat uang tips dari wisatawan yang ingin berfoto untuk pementasan.
"Makanya dulu saya bisa sampai punya deposito Rp 75 juta," kata Budayasa, yang sudah tujuh tahun menjadi penari dan setiap bulannya digaji Rp 300 ribu. Spesialis penari yang kesurupan dalam tari Sang Hyang Jaran pada akhir pementasan tari kecak ini kini harus menekuni pekerjaan lain seperti makelar tanah dan sepeda motor untuk menghidupi keluarga dengan satu orang anak. "Kondisinya seperti ini, mau apa lagi?" katanya.
Dan tepuk tangan pun terus bergemuruh mengiringi babak demi babak di Batu Bulan. Meskipun kostum, tarian, dan alur ceritanya hampir tak berubah sejak dipentaskan sebagai sajian buat turis sejak awal tahun 70-an—dan sudah berbau "turistik" sekali—toh masih mempesona, betapapun sedikit yang menonton. Penampilan delapan penari pengikut rangda yang menusukkan keris yang benar-benar keris ke tubuh mereka sendiri tapi sama sekali tidak meninggalkan luka itu mengakhiri sendratari selama satu jam itu. Penonton pun bertepuk tangan dan balian (dukun) memercikkan tirta, sehingga penari yang kerasukan sadar kembali.
Lalu pembawa acara muncul dan mengucap: "Thank you for coming and your attention." Setelah itu, silakan lihat ke belakang panggung. Para pemain dan penabuh segera cepat berganti pakaian, menghapus make up, membenahi riasan, berganti pakaian, berkemas untuk pulang, bergegas untuk mengejar pekerjaan lain. "Bagi mereka, pekerjaan di sini memang cuma pekerjaan sampingan," ucapan jujur Dewa Made Teges Wirawan, pengelola sekehe Barong Sahadewa.
Seno Joko Suyono, Rofiqi Hasan, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini