Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepotong Surga tanpa Pagar

Pengamanan Bali pasca-bom ternyata tak ketat. Polisi mengaku tak punya banyak dana.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MALAM masih muda. Pelabuhan penyeberangan feri Gilimanuk, Bali, terlihat penuh-sesak. Deretan mobil pribadi, truk, dan bus yang baru keluar dari lambung kapal terlihat mengantre di pos pemeriksaan. Petugas dari Kabupaten Jembrana yang berseragam lengkap memeriksa KTP penumpang. Sebuah papan pengumuman dari Pemerintah Daerah Bali berukuran 2,5 x 2,5 meter terpampang. Isinya: perintah menunjukkan KTP bagi semua pendatang. Bagi yang tak memiliki KTP, "Silakan langsung kembali ke Jawa," ujar Wayan Wikanta, petugas jaga di Gilimanuk. Begitu ketatkah? Tak sepenuhnya. Tengok saja sebuah bus yang sarat muatan yang tampak melenggang kangkung. Para penumpang terlihat enggan turun. Mereka sama sekali tak menjalani pemeriksaan. Hanya seorang lelaki yang turun. Ia lantas menyebutkan lokasi tujuan dan kepentingan selama di Pulau Bali. "Mohon izin, besok kami sudah keluar dari Bali, kok," ujarnya sambil sedikit berbasa-basi. Anehnya, petugas jaga langsung mengizinkan bus itu ngeloyor meninggalkan kawasan Gilimanuk. Pemeriksaan identitas di Bali sebenarnya tak ketat-ketat amat. Sudarmis, misalnya, bisa lolos dari aparat meski tak mampu menunjukan KTP yang masih berlaku. Lelaki asal Karanganyar, Jawa Tengah, ini berhasil membujuk petugas yang memeriksanya. Sudarmis mengaku bermaksud menjemput adiknya yang tengah tinggal di Bali. Meski sempat adu argumentasi, petugas akhirnya mengalah. Sudarmis diizinkan melanjutkan perjalanan. "Kalau ada razia KTP di Denpasar, jangan salahkan kami," ujar Sukiman, petugas yang memeriksa Sudarmis. Sebenarnya, pasca-ledakan bom di Legian, Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, pengamanan di Bali sempat meningkat. Tapi lama-kelamaan petugas tampak mulai bosan melakukan pemeriksaan dengan ketat. Beberapa prosedur pengamanan mulai diberlakukan secara longgar. Lemahnya pengamanan di Pelabuhan Gilimanuk, gerbang utama pendatang dari Pulau Jawa, sebenarnya cukup berisiko. Ledakan bom berkekuatan tinggi bisa terjadi kapan saja di Bali. Dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi media massa beberapa waktu lalu, Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar mengungkap bahwa bom berdaya ledak tinggi masih beredar di Indonesia. Dua orang yang disebut-sebut bernama "Tohirin" dan "Zulkarnaen" kini siap meledakan dirinya bersama bom di badan. "Tapi kami belum tahu tempat dan waktu peledakannya," ujar Jenderal Da'i Bachtiar. Kemudahan menembus Bali sebenarnya tak hanya terjadi di Pelabuhan Gilimanuk. Soalnya, Bali memiliki pantai yang panjang. Untuk memasukkan bahan peledak, misalnya, siapa pun bisa memanfaatkan pelabuhan rakyat yang tersebar di sepanjang pantai. Dengan menggunakan perahu motor berkekuatan 5 PK, selat yang memisahkan Jawa dan Bali dapat ditempuh dalam waktu dua jam. Inilah jalan paling aman bagi para pengebom untuk memasok bahan peledak ke Bali. Kalau mau masuk, "Teroris kemungkinan besar akan menggunakan jalur tradisional itu," ujar AKBP Johny P. Latupeirissa, Kepala Polres Jembrana. Memang, pengamanan di beberapa pojok tempat wisatawan di kota Denpasar masih terlihat ketat. Beberapa kafe dan kelab malam yang menjadi ajang dugem (dunia gemerlap) para turis asing terlihat menambah personel keamanannya. Kafe Paddy's, misalnya, kini memberlakukan pemeriksaan berlapis. Semua calon pengunjung, tanpa kecuali, digeledah dengan alat detektor logam. Kafe ini tak ingin mengulangi pengalaman pahit saat mereka luluh-lantak dihantam bom pada Oktober tahun lalu. Tak kurang dari 22 lelaki berbadan tegap kini menjaga setiap pojok kafe. "Kami tak mau mengambil risiko," ujar I Gusti Ketut Nurdiada, Manajer Paddy's. Pengetatan juga terjadi di hotel besar. Inna Grand Bali Beach, misalnya, kini memeriksa semua bawaan para tamu yang akan menginap. Dengan detektor logam, petugas keamanan mengecek dengan sabar dan cermat. "Sejak tragedi Kuta, kami memberlakukan pengamanan ekstra," kata K. Suandha, Manajer Inna Grand. Tapi tak semua tempat wisata memberlakukan pengamanan ketat. Hotel kelas melati yang bertebaran di kawasan Legian, Kuta, sama sekali tak menunjukkan aktivitas pengamanan yang mencolok. Hotel Aquarius, yang hanya berjarak 200 meter dari ground zero bom Bali, terlihat tenang-tenang saja. Hotel yang hanya memiliki tiga orang satpam itu tak pernah melakukan pemeriksaan terhadap barang bawaan tamu. I Made Wendra, Manajer Hotel Aquarius, mengaku tak terlalu khawatir dengan ancaman teroris yang mungkin kembali menghajar Bali. "Kami merasa pengamanan sudah cukup, kok," kata I Made Wendra, tenang. Keterbatasan pengamanan ini diakui Kapolda Bali Inspektur Jenderal Polisi Made Mangku Pastika. Menurut bekas Ketua Tim Investigasi Bom Bali ini, aparat keamanan belum memiliki peralatan yang memadai untuk menangkal teror. Soal detektor bahan peledak, misalnya, polisi masih mengandalkan detektor logam yang masih manual. Padahal, "Banyak bahan eksplosif yang kini tak lagi terdeteksi detektor logam," kata Pastika. Sebenarnya, standar pengamanan untuk menangkal serangan teroris memang terbilang mahal. Ini merupakan konsekuensi dari perkembangan teknologi bahan peledak yang makin canggih. Bahan peledak C4, misalnya, tak akan terdeteksi oleh detektor peledak yang terbuat dari metal. Begitu juga bahan kimiawi yang eksplosif. Hanya peralatan dengan sinar X—harganya ditaksir Rp 3 miliar—yang dapat menangkal benda pembunuh tersebut. Pastika mengaku sudah meminta Gubernur Bali membantu membelikannya. Tapi, "Belum ada tanggapan dari Gubernur. Surat permohonannya pun bahkan belum dibalas," katanya. Pemda Bali bukan berpangku tangan. Tapi mereka, sesuai dengan kapasitasnya, tampaknya lebih mengaktifkan jaringan pengamanan lokal dalam untuk menangkal aksi teror. Salah satunya adalah pecalang, penjaga keamanan adat yang secara tradisional telah hidup bertahun-tahun. Tak kurang dari 10 ribu pecalang kini tersebar di seantero Bali. Pengamanan yang dilakukan pecalang umumnya memang efektif (lihat Demi Keamanan Bikini). Tapi ekses tetap saja terjadi. Dengan berseragam pakaian adat berwarna hitam dan bersenjata keris, para pecalang kadang-kadang justru berakting bak preman. Wartawan TEMPO Endah W.S. sempat melihat aksi pemalakan pecalang terhadap pendatang dari Jawa. Para pekerja seks komersial kerap juga jadi korban. "Tiap malam saya harus menyetor Rp 60 ribu kepada pecalang," ujar Rosi (bukan nama sebenarnya), WTS yang biasa mangkal di Kafe Santa Fe, Denpasar. Bali pasca-bom memang bukan nirwana yang sepenuhnya aman. Hantu teror bisa datang kapan saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus