Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sekolah pun Semakin Sepi

Dalam dua tahun terakhir, angka putus sekolah di Bali amat tinggi. Alasannya seragam: orang tua tak sanggup membiayainya.

12 Oktober 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEINDAHAN tidak selalu muncul di Bali. Di sebuah sekolah dasar di Kecamatan Tejakula, Singaraja, yang bisa ditemukan malah sebaliknya: kekumuhan. Meja-meja siswa kelihatan rapuh dan berlubang di sana-sini. Tripleks di langit-langit kelas menggelayut, tinggal menunggu jatuh. Mondar-mandir di halaman sekolah yang kurang terawat, kaki anak-anak sekolah—yang umumnya tak bersepatu—tampak dekil. Tamparan bom yang meledak di Kuta setahun silam masih terasa. Kehidupan ekonomi masyarakat sekitar sekolah itu kian memburuk. Jangankan memberikan sumbangan buat memakmurkan sekolah, mereka sudah amat beruntung jika masih bisa menyekolahkan anak-anaknya. Sebagian malah merelakan anak-anaknya meninggalkan sekolah untuk membantu mencari nafkah keluarga. Keadaan itu membuat Nyoman Cerita, Kepala Sekolah Dasar Negeri 3 Samirenteng tersebut, sungguh prihatin. Tahun ini sudah ada 20 orang siswa yang tak bisa lagi bersekolah. Orang tua mereka tak sanggup membiayainya. Sebenarnya, "Sebanyak 90 persen siswa tak punya uang untuk membiayai sekolah dan membeli alat-alat tulis, tapi kami sarankan untuk tetap bertahan sekolah," kata Cerita. Tidak cuma sekolah Cerita. I Made Ngadeg, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Tejakula, menyebutkan bahwa siswa yang putus sekolah mencapai 15-25 orang per sekolah pada tahun ini. Total siswa di wilayahnya 6.482 orang, yang tersebar di 48 SD. Diakui oleh Ngadeg, setelah bom meledak di Kuta, semakin banyak orang tua yang tak sanggup menyekolahkan anak-anaknya. Sebagian besar bekerja di tempat pariwisata, sebagai perajin, buruh bangunan, dan sopir taksi atau angkutan pariwisata. Menurut Ngadeg, selama ini, sebagian orang tua siswa dibantu oleh saudara-saudaranya yang bekerja di wilayah Denpasar, Gianyar, dan Badung. Tidak seperti Tejakula yang minus, tiga wilayah itu dikenal sebagai daerah makmur di Bali. Nah, setelah ekonomi memburuk, praktis bantuan yang mereka dapat dari sanak saudara pun berkurang dan bahkan berhenti mengalir. Sebenarnya upaya untuk menolong siswa telah dilakukan. Diungkapkan oleh Kepala Dinas Pendidikan Bali, I Gusti Ngurah Oka, sudah ada sebuah yayasan yang memberikan bantuan buat siswa yang orang tuanya terkena dampak bom. Hanya, selalu saja itu tidak mencukupi, selain sulit memantau orang yang benar-benar membutuhkannya. Pemerintah Provinsi Bali juga sudah menjatah anggaran yang besar buat pendidikan. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Bali 2002-2003, sebanyak Rp 35 miliar dialokasikan untuk pendidikan. Anggaran tahun sebelumnya hanya Rp 25 miliar. Tapi anggaran ini tetap tak cukup untuk bisa menolong siswa putus sekolah. Program wajib belajar 9 tahun yang semula ditargetkan kelar pada 2005 pun terpaksa diundurkan. Para pemuda yang kurang beruntung kini mesti memupus impiannya. Ini dialami pula oleh Kadek Supada, 16 tahun. Lulusan SMP Dharma Kerti, Buleleng, ini semula berniat melanjutkan pendidikan ke sekolah kejuruan di bidang kepariwisataan. Tapi, karena orang tuanya tak punya pekerjaan tetap, ia cuma bisa gigit jari. "Saya sekarang ikut bantu-bantu keluarga dengan jadi asisten tukang," ujar Supada. Ia juga mengungkapkan, sejak terjadi tragedi Kuta tahun lalu, penghasilan orang tuanya tak menentu. Begitu pula nasib yang mesti dilakoni I Gde Buda Arta, 15 tahun, yang tinggal di Dusun Bangah, Kecamatan Sukasada, Buleleng. Ia sudah lulus SD dan hendak melanjutkan sekolah ke SMP. Namun orang tuanya sudah angkat tangan. Duit yang menjadi kendalanya. Bersama dua saudaranya, Kadek Winaya, 13 tahun, dan Ketut Wisnu Murti, 5 tahun, kini Buda mengisi harinya dengan mengumpulkan barang bekas. Mereka lalu menjualnya ke tukang barang rongsokan di Kota Singaraja. Lumayan, sehari mereka bertiga bisa mendapatkan duit sekitar Rp 9.000. Harus diakui, tragedi Kuta bukan satu-satunya penyebab semakin banyaknya siswa putus sekolah. Keadaan ini lebih disebabkan oleh krisis ekonomi berkepanjangan yang terjadi sejak 1997 silam. Terbukti dari catatan yang dimiliki Dinas Pendidikan Bali, angka putus sekolah di tingkat SD dan madrasah ibtidaiyah pada 2001-2002 sudah mencapai 5.135 orang. Dari jumlah ini, yang tertinggi ada di Kabupaten Karang Asem, yang mencapai 1.588 anak. Tahun 2002-2003? Jumlah murid SD yang putus sekolah mencapai 3.588 anak. Di Bangli terdapat 719 anak yang putus sekolah, sedangkan untuk daerah Karang Asem tercatat sejumlah 984 anak. Kenaikan terjadi di daerah Buleleng. Pada 2001-2002 terdapat 1.230 orang yang putus sekolah, tapi sekarang angkanya melonjak menjadi 1.390 anak. United Nations Development Programme (UNDP) juga membuat laporan tentang anak putus sekolah ini dalam Beyond Tragedy: Bali. Di situ disebutkan angka putus sekolah di wilayah Buleleng, bagian barat Pulau Bali, menempati urutan tertinggi, yaitu 59,7 persen, disusul dengan wilayah Karang Asem, wilayah timur Pulau Bali, sejumlah 54 persen. I Gusti Ngurah Oka mengaku belum mendapat data yang dikeluarkan UNDP. Tapi, dari catatan yang dimiliki Dinas Pendidikan Bali, selain Buleleng, ada dua daerah yang angka putus sekolahnya cukup tinggi, yakni Karang Asem dan Bangli. Menurut Oka, kedua daerah ini memang penghasilannya terkecil dibandingkan dengan kabupaten lain di Bali. Tragedi Kuta hanya memperburuk keadaan di sana. Untuk menghidupi keluarga, orang-orang Karang Asem, Bangli, dan juga daerah lain selama ini bekerja apa saja di Denpasar dan Badung. Ini pula yang semula dilakukan oleh Made Ariawan, 37 tahun, asal Tejakula. Ia pernah menjadi buruh bangunan. Tapi, setelah bom meledak, ia terpaksa pulang kampung karena tak ada lagi yang bisa dikerjakan di Denpasar. "Gara-gara bom, banyak proyek yang berhenti," tutur Ariawan. Akibatnya, anak pertamanya, Budiastra, 9 tahun, pun terpaksa tak melanjutkan sekolah. Sang anak kini hanya bisa mengenang asyiknya belajar dan bermain bersama kawan-kawannya di sekolah. Di rumah, ia bekerja apa saja untuk membantu orang tuanya. Terkadang Budiastra juga bermain dengan teman-teman yang sudah lebih dulu putus sekolah. Belum terpikirkan olehnya untuk menjadi pengumpul barang bekas seperti Buda Arta. Ia cuma berharap orang tuanya mendapat rezeki berlimpah dan suatu saat bisa bersekolah lagi. Kini sekolah semakin sepi di berbagai daerah di Bali, malah tak sedikit kelas yang kosong. Sebaliknya, di jalanan, anak seusia Budiastra kian banyak berkeliaran. Yang terlihat di Denpasar lebih menyedihkan. Tak sedikit bocah usia sekolah menjadi pengemis, menggantungkan hidup pada belas kasihan turis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus