Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan Waduk Lambo di Nagekeo bakal menelan sejarah dan budaya masyarakat.
Masyarakat kerap menggelar ritual adat di tempat khusus di kampungnya.
Bupati Nagekeo menyarankan agar titik koordinat makam dan tempat ritual adat dicatat di GPS.
SEPASANG lilin dinyalakan oleh Bernardius Gaso di permakaman keluarganya yang terletak di pekarangan rumahnya di Dusun Roga-Roga, Desa Rendu Botowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, pada Kamis malam, 17 Desember lalu. Begitu api menyala, pria 53 tahun itu menempelkan lilin tersebut di pusara berkeramik hijau mendiang ayahnya, Petrus Gao Baso.
Setelah selesai, Bernardius mengulanginya di empat pusara lainnya, yakni makam ibu, kakek, nenek, serta putranya, Fernando Bao Gaso, yang meninggal pada 2007. “Ini rutin saya lakukan setiap pekan. Untuk sama-sama saling mendoakan agar ada cahaya yang menerangi jalan kita,” ujar Bernardius pada Jumat, 18 Desember lalu.
Bernardius adalah salah seorang penduduk adat Rendu, yang terdiri atas lima suku besar, yakni Rendu, Isa, Gaja, Lambo, dan Ndora. Menurut Bernardius yang juga Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo (FPPWL), salah satu budaya leluhurnya adalah menguburkan anggota keluarganya di dekat rumah. Masyarakat percaya roh leluhur serta anggota keluarga masih tinggal di sekeliling rumah setelah mereka meninggal. Bernardius meyakini, jika ia mendapatkan rezeki ataupun musibah, itu juga berkat doa orang-orang yang telah wafat.
Wakil Ketua FPPWL Wilibrodus Bei Ou mengatakan ada lebih dari 500 makam yang terletak di Desa Rendu. Di daerah Rendu Malapoma, misalnya, ada 116 makam leluhur. Kuburan-kuburan tersebut tidak berada di tempat permakaman umum. Seperti Bernardius, menurut Wilibrodus, anggota keluarga dimakamkan di dekat rumah. “Bisa di samping rumah, di belakang, ataupun di halaman depan rumah,” tuturnya.
Jumlah makam bisa lebih banyak lantaran tersebar di sejumlah lokasi. Menurut Bernardius, hampir semua desa memelihara tradisi serupa. Begitu juga di Desa Labolewa, Kecamatan Aesesa; dan Ulupulu, Kecamatan Nangaroro. Seperti Desa Rendu yang terletak di Aesesa Selatan, dua desa tersebut bakal digusur karena ada proyek pembangunan Waduk Lambo. “Adanya permakaman leluhur ini yang menjadi salah satu alasan kami menolak pembangunan Waduk Lambo,” ujar Bernardius.
Bernardius khawatir, jika penolakan ini gagal, generasi suku selanjutnya tak lagi mengetahui silsilah keluarganya. “Sejarah generasi hilang dan budaya menguap begitu saja karena pembangunan,” ucapnya. Selain permakaman, di tiga desa tersebut terdapat tempat khusus untuk melakukan ritual adat. Menurut Bernardius, ritual itu di antaranya ditujukan untuk meminta hujan, berburu, dan menolak bala.
Untuk meminta hujan, misalnya, masyarakat menyiapkan cengkir dan anak ayam. Menurut Bernardius, kelapa muda itu kemudian dipecahkan, sedangkan anak ayam disembelih. Lalu, air kelapa dan darah ayam diteteskan di atas batu, tempat ritual. Jika lahan itu menjadi waduk, tempat ritual akan berada di dalam air. Ini membuat penduduk kehilangan tempat sakralnya. Demikian juga tempat ritual berburu, yang lokasinya tak bisa digeser ke tempat lain.
Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do mengatakan keberatan penduduk soal bakal lenyapnya tempat ritual dan permakaman leluhur bisa diselesaikan lewat teknologi global positioning system. Menurut Johanes, lokasi permakaman dan tempat ritual tak akan hilang sepanjang titik koordinatnya dicatat. Titik itu bisa dipakai penduduk ketika akan melakukan ritual di atas waduk. “Karena titiknya tidak akan berubah. Sama seperti masih berada di atas tanah.”
JOHN SEO (NAGEKEO), HUSSEIN ABRI DONGORAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo