Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Warga Desa Sigapiton berkonflik soal lahan dengan Badan Otorita Danau Toba.
Konflik dipicu masalah pembagian lahan.
Sebagian orang bergabung akhirnya dengan Badan Otorita sebagai pegawai.
TAWARAN bekerja sebagai anggota staf hubungan masyarakat Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Danau Toba pernah disampaikan kepada Mangatas Togi Butarbutar. Anggota masyarakat adat keturunan Oppu Ondol di Desa Sigapiton, Kabupaten Toba Samosir, tersebut sempat berpikir menerima tawaran dari Badan Otorita itu. Gajinya cukup menggiurkan untuk ukuran desa setempat, tapi kesempatan itu akhirnya ia lepas. “Saya khawatir ini semacam jebakan,” ujarnya pada Kamis, 17 Desember lalu.
Togi punya alasan menolak tawaran itu. Sejak pemerintah mencanangkan rencana pengembangan pusat wisata Danau Toba, masyarakat adat di Desa Sigapiton memprotes keberadaan Badan Otorita yang memicu konflik penguasaan lahan. Sebanyak 120 dari 279 hektare lahan yang diberikan Badan Pertanahan Nasional kepada Badan Otorita masih tumpang-tindih. Masyarakat adat dan Badan Otorita sama-sama mengklaim.
Togi khawatir keterlibatan dirinya dalam struktur Badan Otorita bakal melemahkan tuntutan yang ia perjuangkan bersama Raja Bius—istilah bagi kelompok marga yang paling awal mendiami suatu wilayah. Sekali tawaran itu ia terima, saat itu juga ia tak bisa lagi bersikap kritis. “Memang sedari awal saya takut terjebak dalam situasi yang bisa menyebabkan hilangnya pengakuan atas status lahan milik adat,” ucapnya.
Masyarakat adat keturunan Oppu Ondol tak semuanya satu suara dengan Togi. Sejumlah kerabat dan famili yang semula berada dalam barisan yang menolak penguasaan lahan adat berangsur-angsur tercecer. Beberapa di antaranya bekerja sebagai pegawai Badan Otorita dengan posisi yang cukup strategis. Togi tak menampik dugaan bahwa penjelasannya mengarah pada dua koleganya, Manogu Manurung dan Marojahan Sirait.
Manogu dan Marojahan kini bekerja sebagai anggota staf humas Badan Otorita. Mereka pecah kongsi dengan Togi karena berbeda pandangan. Manogu menuding Togi tak sepenuhnya berjuang atas nama seluruh masyarakat adat Desa Sigapiton. “Yang dia perjuangkan hanya kepentingan kelompok mereka sendiri, hanya untuk menguasai 120 hektare itu saja,” ujarnya.
Manogu mengaku akan tetap berada di barisan yang sama jika perlawanan terhadap Badan Otorita bertujuan untuk melindungi hak masyarakat adat paguyuban Raja Bius Maropat Sigapiton. “Saya akan tetap berdampingan dengan mereka sejauh perjuangan itu ditujukan untuk kepentingan bersama. Jika hanya untuk kepentingan pribadi, lebih baik saya mundur,” ujar Manogu.
Kepala Desa Sigapiton Hisar Butarbutar mengatakan konflik dua sekondan itu terjadi karena Togi tak meladeni tuntutan yang diajukan Manogu. Awalnya keduanya bersepakat ihwal adanya pembagian lahan di Desa Sibisa untuk keturunan Oppu Ondol Butarbutar. “Tapi kesepakatan itu belakangan ditolak salah satu pihak,” tuturnya.
Menurut Hisar, rencana pengakuan hak untuk marga Butarbutar di Desa Sibisa hanya untuk kepentingan administratif. Di lapangan, menurut dia, penguasaan dan pembagian lahan ditengarai hanya untuk kepentingan bersama kelompok Raja Bius di Sigapiton. “Di luar keturunan Oppu Ondol Butarbutar Sigapiton perlakuannya berbeda,” ujarnya. Saat ini, Desa Sigapiton dihuni 653 jiwa dengan 168 keluarga.
Pelaksana tugas Direktur Badan Otorita, Reza Fahlevi, menampik anggapan adanya campur tangan Badan Otorita dalam konflik antarwarga Sigapiton. Lagi pula, menurut dia, “Saya baru menjabat kepala badan sejak dua minggu lalu.” Sebelumnya, Reza menjabat Asisten Deputi Pengembangan Destinasi Regional I Kementerian Pariwisata.
RIKY FERDIANTO, ARJUNA BAKKARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo