Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera di Riau dan Lampung menyisakan sejumlah sengketa.
Warga mengeluhkan nilai ganti rugi yang dianggap terlalu rendah dan pencairannya yang lama.
Pembangunan jalan tol mempersulit akses warga ke ladang.
MATA Leon Liawandi menatap kosong ke jalan tol Pekanbaru-Dumai, Riau. Warga Desa Senapelan, Pekanbaru, itu lalu menunjuk jalan dan menerangkan bahwa dulu beton tersebut adalah lahan sawitnya. Jalan itu membelah lahan sawit sama besar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu jarak rumah Leon dengan kebunnya hanya 800 meter. Setelah kebunnya terbelah, ia dan istrinya mesti berjalan memutar sepanjang 4 kilometer untuk mencapai bagian kebun lain di seberang. “Pengembang hanya menyediakan jalan tanah,” ujar laki-laki 48 tahun ini pada Rabu, 16 Desember lalu. “Kalau hujan becek dan tak bisa dilalui kendaraan.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akibat kendala itu, Leon tak sering mengunjungi kebun sawitnya. Pohon-pohon itu jadi meranggas tak terawat. Ia juga memerlukan ongkos tambahan untuk mengangkut buah sawit ketika panen. “Hasil panen habis untuk ongkos angkut,” katanya. Leon pun tak lagi bergairah memetik sawit ketika matang.
Keluarga Leon memiliki sekitar 1 hektare kebun sawit. Dari luas lahan itu, sekitar 3.000 meter persegi ia serahkan kepada pemerintah untuk pembangunan jalan tol pada 2015. Leon mendapat ganti rugi Rp 65 juta. “Saya terpaksa menerimanya,” ucapnya. “Kalau kami tolak, uangnya akan masuk kas daerah dan tak akan bisa kami cairkan.”
Di Senapelan, ada puluhan penduduk yang mengalami nasib seperti Leon. Karena hidup menjadi sulit sejak jalan tol membentang di kebun mereka, para pemilik lahan berencana menutup akses jalan itu jika pemerintah tidak segera menanggapi permintaan mereka, yakni membuat jalan layak menuju kebun.
Jalan tol Pekanbaru-Dumai sepanjang 140 kilometer membentang dari Pekanbaru, Siak, Bengkalis, hingga Dumai. Pembangunan jalan yang menjadi bagian dari jalan tol Trans Sumatera ini dikerjakan oleh PT Hutama Karya pada 2016 dan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 25 September 2020.
Sejumlah warga berada di lokasi pembangunan Jalan Tol Trans Sumatera yang bermasalah di Desa Sukabaru, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan, 14 Desember 2020. Agus Susanto
Sejak awal pembangunan jalan tol ini bermasalah, terutama dalam pembebasan lahan. Tidak semua pemilik lahan bersedia melepaskan harta mereka seperti Leon. Mereka menolak dengan alasan nilai ganti rugi terlalu rendah. Seperti penolakan sejumlah warga Kandis Utara, Kabupaten Siak, Riau.
Mereka membuat Forum Masyarakat Mencari Keadilan (FMMK). Misinya: menolak melepaskan lahan karena merasa tidak dilibatkan dalam penetapan harga tanah. Selain itu, tanah mereka hanya dihargai Rp 18 ribu per meter persegi. Penduduk menghitung, seharusnya nilai ganti rugi Rp 150 ribu per meter persegi.
Meski penduduk menolak, Hutama Karya telah membangun jalan tol. Ketika mereka mengirim alat-alat berat yang meratakan kebun penduduk, polisi mengawal. “Kami sudah mengadu ke sana-kemari, bahkan menyurati presiden,” tutur Benny Hasiholan Siregar, Ketua FMMK.
Penduduk lain menempuh jalur hukum, seperti Suyatno Lumbang Batu, yang menggugat penggusuran itu ke Pengadilan Negeri Siak. Pada pengadilan tingkat pertama, Suyatno menang. Majelis hakim setuju dengan nilai ganti rugi yang diajukan Suyatno. Tapi Pengadilan Tinggi Riau menganulir putusan itu sehingga harga tanah kembali menjadi Rp 18 ribu.
Tak punya pilihan setelah menempuh pelbagai cara, banyak penduduk yang memprotes dengan menutup jalan tol. Pada 25 Agustus lalu, warga Kadis Utara menutup pintu tol di sebelah desanya. “Kami akan terus tutup jalan ini sampai pemerintah memenuhi hak kami,” kata Jonatan Ginting, 83 tahun.
Persoalan konflik lahan pembangunan jalan tol juga masih terjadi di ruas jalan tol Bakauheni-Terbanggi Besar di Lampung Selatan, titik awal pembangunan proyek jalan tol Trans Sumatera. Meski ruas jalan sepanjang 140 kilometer tersebut diresmikan pada 8 Maret 2019, belum semua penduduk mendapat pembayaran ganti rugi. Sebanyak 88 keluarga di Desa Sukabaru, Kecamatan Penengahan, Lampung Selatan, mengaku belum menerima uang pembelian lahan.
Banyak penduduk yang beralih pekerjaan karena lahan satu-satunya yang mereka miliki diambil pemerintah. Pardi, seorang pemilik lahan, terpaksa bekerja serabutan setelah 0,5 hektare kebun jagungnya diambil petugas yang menawarkan harga Rp 120 ribu per meter persegi. Pardi dan penduduk desa lain setuju karena uang ganti rugi bisa mereka pakai untuk membeli kebun pengganti. Hingga jalan tol beroperasi, petugas tak datang lagi ke desa mereka. “Saya baru menerima Rp 5 juta,” ucap Pardi, 60 tahun.
Suradi, Ketua Kelompok Kerja Masyarakat Sukabaru, mengatakan total luas lahan masyarakat yang belum mendapat ganti rugi di desanya lebih dari 100 hektare dengan nilai ganti rugi, jika mengacu pada tawaran petugas, sebesar Rp 120 miliar, atau sekurangnya Rp 23 miliar.
Menurut petugas pemerintah Lampung Selatan, pembayaran tersendat karena lahan penduduk masuk kawasan Hutan Produksi Register 2 Pematang Taman. Tak terima atas klaim itu, penduduk mengadukan pengingkaran janji tersebut ke Pengadilan Negeri Kalianda. “Kami menggugat memakai surat sporadic tanah,” ujar Suradi. “Sidang masih berlangsung.”
Menanggapi centang-perenang ganti rugi proyek jalan tol itu, Komisioner Pemantauan dan Penyidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Mohammad Choirul Anam mengatakan proyek tersebut memang kisruh sejak awal. Menurut dia, pemerintah tidak terbuka mengenai alih fungsi dan ganti rugi lahan sejak awal. “Negosiasi sarat intimidasi,” katanya. “Pemerintah memakai alasan sedang menjalankan kebijakan strategis nasional.” Pembangunan jalan Trans Sumatera, Anam menambahkan, juga tak dilengkapi kajian komprehensif terkait dengan dampak penggusuran.
Kepala Dinas Pertanahan Riau Dedi Gusriadi membantah kabar bahwa pemerintah menetapkan nilai ganti rugi terlalu murah. Menurut dia, harga di setiap lokasi berpatokan pada penetapan tim penilik yang independen. “Kami tidak ikut campur menentukan harga,” tuturnya.
Adapun menurut Sekretaris Perusahaan Hutama Karya Muhammad Fauzan, lahan di Riau dan Lampung adalah wilayah sengketa. Dia mengungkapkan, sebagian lahan juga merupakan tanah milik negara. Hal tersebut yang menyebabkan pencairan ganti rugi lahan warga terhambat. “Nanti pengadilan yang akan memutus apakah gugatan warga diterima,” ucapnya.
Soal akses masyarakat yang terganggu akibat jalan tol, Fauzan mengatakan perusahaannya hendak membangun jembatan penyeberangan meski jumlahnya terbatas. Jarak antar-jembatan akan disesuaikan dengan mobilitas penduduk di suatu lokasi.
Fauzan mengakui banyak orang merugi akibat pembangunan jalan tol Trans Sumatera. “Tapi yang diuntungkan jauh lebih banyak,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo