Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembangunan waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, ditolak oleh sejumlah warga yang khawatir kehilangan mata pencariannya.
Petugas mengukur lahan meski tak diizinkan pemilik.
Bupati Nagekeo menyatakan pembangunan jalan terus.
MEMBAWA parang dan tali yang dililitkan di pinggangnya, Gaspar Radja berjalan kaki dari rumah ke kebun miliknya di Desa Rendu Botowe, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur, pada Sabtu pagi, 24 Oktober lalu. Ia hendak berkebun dan membuat perangkap burung seperti kebiasaannya setiap hari.
Tiba di kebunnya, Gaspar kaget karena sudah banyak orang di sana. Menurut Gaspar, saat itu ada polisi bersenjata, personel Pemerintah Kabupaten Nagekeo, serta petugas kantor pertanahan yang sedang mengukur lahan. Kedatangan Gaspar menghentikan aktivitas pengukuran. “Saya ditanya mau apa bawa parang dan tali,” ujarnya kala menceritakan lagi peristiwa tersebut kepada Tempo, Senin, 14 Desember lalu.
Gaspar menjawab kedua benda itu ia bawa untuk berkebun serta menangkap burung. Setelah itu, ia meminta para petugas segera keluar dari kebunnya. Ia tidak mengizinkan pengukuran dan tak mau menjual lahan seluas 3 hektare tersebut untuk dibangun Waduk Lambo. Rencana pembangunan waduk yang membendung Lowe Se atau Sungai Se itu membutuhkan lahan seluas 432 hektare.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warga menunjuk lokasi pembangunan Waduk Lambo di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. TEMPO/Jhon Seo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ucapan ini membuat situasi memanas. Badan Gaspar dipegangi oleh polisi. Ia dihadang masuk kebun agar petugas lain bisa melanjutkan pengukuran. Begitu tangannya dicengkeram aparat, Gaspar berteriak, “Tolong… tolong…! Saya ditangkap petugas.” Menurut Gaspar, tak lama setelah ia berteriak, sejumlah penduduk yang juga sedang berkebun berdatangan ke sumber suara. Karena banyaknya orang yang datang, menurut Gaspar, para petugas menghentikan aktivitas pengukuran dan segera meninggalkan lokasi.
Masuknya petugas ke lahan warga tanpa izin juga dialami oleh Lusia Ando. Perempuan 52 tahun itu meneriaki sejumlah petugas yang berada di kebunnya pada Jumat, 23 Oktober lalu. “Saya bilang, mereka bakal segera mati kalau tak pergi dari sini,” ujar Lusia. Menurut Lusia, mendengar sumpah serapah itu, para petugas lari terbirit-birit dan memanjat pagar yang mengelilingi lahan.
Lantaran terburu-buru, menurut Lusia, seorang petugas sempat tersangkut di pagar. Sebelum berhasil melewati pagar, senjata laras panjang aparat tersebut terjatuh di lahan Lusia. Petugas tersebut tetap kabur tanpa mempedulikan bedilnya. Lusia lalu membawa senjata tersebut ke rumahnya. Keesokan harinya, beberapa petugas datang ke rumah Lusia dan meminta senjata dikembalikan. Lusia diiming-imingi duit Rp 50 ribu agar mau menyerahkan senjata itu. Awalnya Lusia menolak. Tapi, setelah dimediasi oleh tetua kampungnya, Lusia mengembalikannya.
Lahan Waduk Lambo terletak di tiga desa, yakni Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan; Labolewa, Kecamatan Aesesa; dan Ulupulu, Kecamatan Nangaroro. Jika pembangunan ini berjalan, menurut Wakil Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo Wilibrodus Bei Ou, setidaknya ada 6.000 warga yang bakal kehilangan rumah dan pekerjaan. Lahan Gaspar dan Lusia termasuk yang lokasi diincar untuk lahan waduk.
Menurut Philipus Kami, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Wilayah Pulau Flores, Solor, Adonara, dan Lembata, petugas semakin agresif mengukur tanah dan memaksakan pembangunan sejak 2015. Selain kasus Gaspar dan Lucia, menurut Philipus, kasus petugas masuk ke lahan tanpa izin menimpa penduduk lain.
Philipus mengatakan rencana pembangunan waduk mencuat sejak 2001. Saat itu, masyarakat sudah menolak dan pemerintah pun mengurungkan niat melanjutkan pembangunan. Menurut Philipus, pemerintah kembali ngotot membangun Waduk Lambo setelah Presiden Joko Widodo berpidato di Nusa Tenggara Timur pada Desember 2015. Ketika itu, Jokowi menetapkan pembangunan tujuh waduk di NTT sebagai program strategis nasional. Dua di antara tujuh bendungan itu sudah selesai dibangun, yakni bendungan Reknamo dan Rotiklot. Lima sisanya termasuk Bendungan Lambo.
Saat itu, Jokowi menyebut pembangunan waduk itu ditujukan untuk menyelesaikan masalah air bersih. Jika air tersedia, Jokowi melanjutkan, warga di sana bisa menanami jagung, sorgum, dan tanaman pertanian lainnya. “Semoga setelah dibangun akan membawa perubahan bagi NTT,” ucap Jokowi saat berpidato dalam perayaan Natal di Kupang, Senin, 28 Desember 2015.
Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do menuturkan pemerintah daerah memang menerjunkan sejumlah aparatur sipil dengan dibantu polisi untuk melanjutkan pembangunan Waduk Lambo. Para petugas antara lain diminta untuk mengukur lahan. “Semuanya sudah dilakukan survei dan tidak bisa dipindahkan ke lokasi lain,” ujarnya kepada Tempo, Selasa, 15 Desember lalu.
Selain itu, menurut Johanes yang juga politikus NasDem ini, pemerintah telah menggelar sosialisasi untuk masyarakat mengenai pembangunan bendungan. Salah satunya dilakukan bersama-sama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat pada akhir September lalu. Ihwal peran polisi dalam mengawal pembangunan Waduk Lambo, Kepala Kepolisian Resor Nagekeo Ajun Komisaris Besar Agustinus Hendrik Fai belum bisa dimintai tanggapan. Panggilan telepon dan pesan dari Tempo belum dijawab.
Keinginan warga agar lokasi pembangunan waduk dipindah sebetulnya sudah pernah disampaikan kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Hal ini muncul dari diskusi tiga komunitas adat, yakni Rendu, Lambo, dan Ndora, yang tinggal di lahan yang bakal dijadikan lahan bendungan Lambo. “Kami sepakat bahwa lokasi pembangunan dipindah ke Lowopebhu atau Malawaka, bukan di Lowo Se,” ujar Wakil Ketua Forum Penolakan Pembangunan Waduk Lambo Wilibrodus Bei Ou.
Warga bersiaga di dalam lahan mereka yang masuk ke dalam peta rencana pembangunan Waduk Lambo saat polisi berjaga di Desa Rendu Butowe, Kecamatan Aesesa Selatan, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Mongabay/Willybrodus Be’i Ou/FPPWL Nagekeo
Menurut Wilibrodus, masyarakat menyampaikan aspirasi itu lantaran lahan yang berada di Lowo Se merupakan tempat mata pencarian warga dan sebagian merupakan tanah adat. Karena itu, Forum pada telah mengirimkan surat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ihwal dugaan terjadinya pelanggaran HAM dalam pembangunan Waduk Lambo. Dua tahun kemudian, Forum mengirimkan surat ke Presiden Jokowi untuk menghentikan pembangunan dan menarik polisi dari lokasi.
Ketua Forum Penolakan Pengadaan dan Pengukuran Tanah Masyarakat Adat Ndora Siti Aisyah menuturkan masyarakat pernah menyita alat ukur tanah dari petugas. Hal ini dilakukan lantaran buntunya diskusi antara masyarakat dan pemerintah. “Kami bukan menolak pembangunan, tapi wilayahnya. Tanah ini dari leluhur dan untuk hidup kami,” tuturnya. “Anak kami juga bisa sekolah karena hidup dan dapat penghasilan di tanah ini.”
Bupati Johanes Don Bosco Do tak menghiraukan penolakan ini. Menurut dia, alasan warga menolak pembangunan merupakan “cara melankolis yang dibuat-buat agar pembangunan tak berjalan”. Johanes mengatakan pembangunan akan terus berjalan karena proses lelang pembangunan bendungan sudah selesai. “Ini untuk kepentingan umum,” ujarnya.
JOHN SEO (NAGEKEO), HUSSEIN ABRI DONGORAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo