Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUATU malam di Lahti, Finlandia, Januari lalu. Suhu musim dingin menggeretakkan geraham dan mengeriputkan kulit. Air beku. Kawasan 100 kilometer sebelah utara ibu kota Finlandia, Helsinki, itu terkubur dalam timbunan salju.
Namun, di ruang makan sebuah rumah yang benderang di kota itu, sang Dingin tak berkutik. Di ruang itu, suara tawa terdengar berderai. Di antara belasan tamu tampak Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, juga Zaini Abdullah (salah seorang juru runding Gerakan Aceh Merdeka) duduk bersisian. Harum mawar oranye yang dipasang nyonya rumah berbaur dengan aroma masakan di atas meja.
Mereka melepas lelah sehabis berunding untuk mewujudkan perdamaian di Aceh. Bersama mereka, turut serta tuan rumah Juha Christensen, pria Finlandia, 47 tahun. Juha bukan diplomat, bukan pula politikus. Ayah tiga anak ini adalah saudagar alat kedokteran dan farmasi. Ia berperan besar dalam mempertemukan juru runding GAM dengan wakil pemerintah Indonesia.
Keterlibatan Christensen bermula ketika dia melakukan penelitian bahasa-bahasa daerah tak tertulis yang ada di Sulawesi Selatan, 15 tahun lalu. Saat itu ia sempat berkenalan dengan dr. Farid Wadjdi Husain, dosen Universitas Hasanuddin, Makassar.
Januari 2004, Christensen kembali ke Indonesia dan menemui Farid yang saat itu adalah Deputi Menko Kesejahteraan Rakyat. Dalam bahasa Indonesia yang fasih dia menawarkan peralatan kedokteran dan speedboat. Farid tak tertarik. Di akhir pertemuan, Christensen mengucapkan selamat kepada Farid karena perannya sebagai salah satu mediator perundingan damai Ambon dan Poso.
Pembicaraan pun beralih ke konflik Aceh yang tak kunjung usai. Kepada Farid, Christensen mengaku kenal baik dengan pentolan GAM di Swedia. Farid tertarik dan menanyakan kemungkinan Christensen mempertemukan mereka. ”Saya jamin 200 persen, saya bisa pertemukan Pak Farid dengan mereka,” katanya.
Pertemuan mulai dirancang setelah Farid menerima perintah membuka dialog dengan GAM dari Menko Kesejahteraan Rakyat saat itu, Jusuf Kalla. Christensen menjemput Farid di bandara Helsinki dan mereka melanjutkan perjalanan ke Stockholm, Swedia, markas para pemimpin GAM. Di kota itu, lima pemimpin GAM—di antaranya Malik Mahmud dan Zaini Abdullah—datang ke hotel tempat mereka menginap.
Christensen mencoba memperkenalkan petinggi GAM dengan Farid. Maksudnya, agar kedua pihak berbincang-bincang. Tetapi tawaran itu ditolak. Untuk berbicara dengan pejabat Indonesia, kata mereka, anggota GAM harus mendapat izin Hasan Tiro, pentolan GAM. Walhasil, tiada tegur sapa, apalagi senyum ramah. Perjalanan separuh bola dunia yang ditempuh Farid hanya berujung pada tatap mata anggota GAM di lobi hotel. Agar tak kalah gengsi, kata Farid, ”Saya juga tak mau tegur atau memberi senyum.”
Kegagalan itu membuat pria berbadan besar itu marah dan memukul meja. ”Kurang ajar kamu Juha, kamu sudah membohongi saya!” kata Farid. Yang dibentak kaget dan memeluk Farid. ”Sabar, Pak, bagaimana kalau kita bicara dengan Presiden Ahtisaari?” Yang dimaksud adalah Martti Ahtisaari, Presiden Finlandia 1994-2000, dan Ketua Dewan Direktur Crisis Management Initiative, sebuah organisasi nirlaba yang punya pengalaman mendamaikan pihak-pihak yang berseteru.
Ajakan itu diterima Farid. Christensen lalu meminta bantuan Tapani Ruokanen, Pemimpin Redaksi Soumen Kuvalehti, sebuah jurnal mingguan terbesar di Finlandia. Kontak terjalin dan sore itu juga mereka harus kembali ke Finlandia karena Martti hanya punya sedikit waktu sebelum berangkat ke Jenewa, Swiss. Pertemuan itu berlanjut dengan putaran pertama perundingan, 29 Januari lalu.
Sebagai pedagang, Juha tahu bagaimana harus mengendurkan saraf yang tegang. Selepas perundingan, ia tak segan mengajak para delegasi berjalan-jalan atau menonton pertunjukan musik. Istri Juha, Pirkko Christensen, kadang juga dilibatkan. Malam setelah pertemuan putaran pertama, Pirkko mengatur makan malam untuk para tamu. Di perjalanan menuju rumah Juha, Farid dan Zaini juga menyempatkan diri membeli bunga untuk nyonya rumah. Pirkko juga mengajarkan Farid bermain ski es. ”Ternyata tak terlalu susah,” kata Farid.
Christensen mengaku tak punya agenda politik atas apa yang dilakukannya. ”Saya akan kembali ke bisnis saya,” katanya seperti dikutip mingguan Soumen Kuvalehti. Kabarnya, setelah ini ia akan bergiat memasarkan alat-alat kedokteran produksi Finlandia di Indonesia.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo