Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tabuhan genderang rapa’i passe membahana di seluruh Aceh awal bulan ini. Lebih dari 200 pria menabuh alat tradisional berupa perkusi raksasa itu tanpa henti selama dua hari berturut-turut. Musik tradisional yang menandai perayaan panen itu muncul kembali setelah sempat menghilang selama belasan tahun.
Ada alasan istimewa yang membuat rapa’i passe kembali dipentaskan di kampung halamannya. ”Nyo ka jimeusue rapai uröh, lageum dipiyoh jimeusue budee.” Kalau rapai sudah berbunyi, rentetan senjata akan berhenti. Kalimat itu dipercaya oleh orang Aceh sejak zaman mereka berperang melawan Belanda. Kini kesepakatan damai Helsinki yang disambut oleh rapa’i passe yang merdu.
Sementara itu, di luar Aceh, justru sambutan sumbang yang ramai terdengar. Awalnya telah terasa tiga hari menjelang kesepakatan diteken. Beberapa politisi nasional, seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Akbar Tandjung bersuara lantang mendesak pemerintah agar membuka isi kesepakatan. ”Masih banyak yang disembunyikan dari kami,” ujar Abdurrahman saat itu.
Begitu poin-poin kesepakatan antara Indonesia dan GAM akhirnya terkuak, suara-suara sumbang pun semakin berhamburan. Megawati, misalnya, mengkritik kesepakatan itu secara blak-blakan. ”Isinya jauh lebih buruk dari yang saya bayangkan,” ujar Megawati. Untuk menunjukkan kekecewaannya terhadap nota kesepahaman itu, Megawati menolak hadir dalam upacara detik-detik proklamasi kemerdekaan RI di Istana Negara, pekan lalu.
Ia menuduh kesepakatan damai itu telah menaikkan status Aceh menjadi semacam negara bagian di Indonesia. Bau federalisme itu terendus, menurut Megawati, dalam butir yang memperbolehkan Aceh menggunakan bendera dan hymne sendiri.
Agenda ekonomi yang disepakati di Helsinki itu juga tak lepas dari hujan kritik. ”Konsesi ekonomi yang diberikan berbahaya karena mempertaruhkan kedaulatan ekonomi Indonesia,” ujar Drajad Wibowo, anggota DPR dari Fraksi PAN. Beberapa poin kesepakatan Helsinki memang menerabas urusan fiskal dan moneter, yang selama ini dianggap identik dengan kedaulatan pemerintah pusat.
Kewenangan moneter pemerintah pusat yang terpotong, misalnya, hak Aceh untuk menentukan suku bunga berbeda dari tingkat bunga yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Jika untuk kepentingan pembuatan suku bunga eksklusif ini Aceh diperkenankan membentuk semacam bank sentral sendiri, maka, ujar Drajad, ”Garis batas Indonesia dengan konsep federal semakin pendek.”
Konsesi semacam itu, katanya, dapat merepotkan BI sebagai penjaga gawang stabilitas moneter. Soalnya, tingkat suku bunga biasa dijadikan pedal gas sekaligus rem terhadap laju inflasi. Jika inflasi kelewat rendah, BI cenderung menurunkan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia ataupun tingkat bunga BI. Yang terakhir ini merupakan instrumen di pasar uang.
Kemampuan menyetir laju inflasi bukan soal sepele. Sejak beberapa tahun belakangan, otoritas moneter Indonesia menjadikan laju inflasi sebagai indikator kesehatan makro yang paling penting. Sebelumnya, ukuran kesehatan yang paling dicereweti adalah jumlah uang beredar.
Dengan pemberian hak penetapan suku bunga ke pemerintah daerah Aceh, muncul kekhawatiran akan berbuntut pada beragamnya nilai riil rupiah di Aceh. Nilai rupiah di Aceh bisa jadi akan lebih murah ketimbang di provinsi-provinsi lain bila suku bunga di wilayah barat Indonesia itu lebih rendah. Nilai rupiah juga akan mendadak berlipat jika para penguasa daerah Aceh menyetel tinggi-tinggi suku bunga mereka.
Selain itu, urusan pengelolaan fiskal dalam kesepakatan damai Aceh juga dipersoalkan. Hak menarik pajak untuk membiayai anggaran daerah dan mendapatkan kesempatan membentuk suatu wilayah perdagangan bebas dianggap mencemaskan. Hak yang terakhir ini mengkhawatirkan karena dianggap bisa menggerogoti penerimaan negara dari cukai.
Semua kekhawatiran bahwa perjanjian damai itu akan menggoyang kedaulatan ekonomi Indonesia ditepis oleh para pejabat. ”Saya pikir ini (kesepakatan damai) tidak terlalu mengkhawatirkan,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Kepala Bappenas Sri Mulyani, pekan lalu.Hak untuk menetapkan suku bunga tak akan menjadi masalah sepanjang mata uang yang ditetapkan sama. Mekanisme pasar dipercaya akan menjadi penyeimbang tingkat suku bunga.
Jika suku bunga di Aceh dikerek kelewat tinggi, tentu uang di segenap penjuru Indonesia akan tersedot. Kebanjiran uang jangan dilihat sebagai berkah, karena uang itu ada biayanya. Sebaliknya, kalau bunga disetel kelewat rendah, Aceh akan kekeringan likuiditas. Untuk dua skenario itu, tentu ada biaya yang harus ditanggung oleh Pemerintah Daerah Aceh. Itu sebabnya, tak terlalu banyak yang percaya Aceh akan menyetel suku bunga semaunya.
Konsesi penetapan suku bunga pun lebih terkesan sebagai pemanis muka belaka. Soalnya, di negara federal semacam Amerika Serikat pun, tak semua negara bagian memiliki bank sentral. Hanya ada belasan bank sentral di seluruh Amerika Serikat yang bekerja mendampingi Federal Reserves. Tujuan bank sentral negara bagian itu pun bukannya menetapkan suku bunga di negara bagian masing-masing. Sebaliknya, bank-bank sentral negara bagian itu merupakan anggota Komite Pasar Terbuka, yang berhak menurunkan atau mengerek bunga federal.
Anton Gunawan, analis dari Citibank, menduga konsesi suku bunga itu lebih mengarah ke pemberlakuan sistem ekonomi syariah secara paripurna di Aceh. ”Sistem perhitungan imbal hasil di syariah memang berbeda,” ujarnya. Jika dugaan Anton benar, tentu tak ada yang menakutkan dengan hak istimewa Aceh untuk menyetir sendiri suku bunga di wilayahnya.
Bukan hanya hak penentuan suku bunga yang memantulkan dua wajah. Hampir semua kesepakatan damai di bidang ekonomi itu bisa dibaca dalam dua skenario, karena hingga kini belum ada pagar-pagar yang jelas. Wakil Presiden Jusuf Kalla hanya menegaskan bahwa kesepakatan itu tak menggergaji satu pun pasal dalam UUD 45. ”Menurut Undang-Undang Otonomi Daerah, kewenangan pemerintah pusat memang berkurang,” ujar Kalla.
Jika kacamata itu yang dipakai, yang terlihat adalah kesepakatan damai antara Aceh dan Indonesia ini tak membawa banyak perubahan. Sebagian konsesi itu sebenarnya sudah termuat, meski tak sama persis, dalam undang-undang sebelumnya, seperti Undang-Undang Otonomi Daerah ataupun Undang-Undang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam.
Hak menarik pajak, misalnya, telah dimuat dalam UU Otonomi Daerah. Ada belasan jenis pajak yang disebut menjadi jatah pemerintah daerah, seperti pajak hiburan ataupun retribusi. ”Baru istimewa jika Aceh boleh menarik jenis pajak di luar yang telah ditetapkan UU,” ujar Bambang Brodjo, Dekan FE UI yang dikenal sebagai pakar ekonomi regional.
Porsi pendapatan Aceh dari cadangan minyak dan gas yang dimuat dalam kesepakatan damai itu pun, menurut Bambang Brodjo, sama persis dengan yang telah dianugerahkan ke Aceh dalam UU Otonomi Khusus.
Demikian pula hak untuk mencari pinjaman di luar negeri. Undang-Undang Otonomi Daerah memang membuka celah bagi semua pemerintah daerah untuk menerbitkan surat utang. Namun, celah itu kemudian dipagari oleh banyak peraturan.
Dua tahun lalu, misalnya, beberapa daerah berniat menerbitkan surat utang, namun Menteri Keuangan saat itu, Boediono, melarangnya dengan alasan membahayakan keuangan negara. Tingginya rasio utang Indonesia terhadap produk domestik bruto saat ini, yang masih di atas 60 persen, dijadikan patokan.
Patokan moneter itu adalah yang biasa dipakai di negara-negara Eropa. ”Indonesia sebagai negara yang tak semaju mereka seharusnya menggunakan batasan yang lebih ketat,” ujar Boediono saat itu. Ia merujuk pada pengalaman Meksiko sebagai contoh klasik negara berkembang yang terbenam oleh utang pemerintah daerah.
Yang memang betul-betul baru dari konsesi kemarin adalah Aceh dinyatakan boleh mencari pinjaman dari luar negeri. Ini tentu melampaui pagar yang ditetapkan sekitar dua tahun silam. Saat itu pemerintah daerah disebutkan hanya boleh berutang dari kreditor dalam negeri serta dalam denominasi rupiah.
”Utang dari luar negeri itu teorinya diperbolehkan, tetapi tetap harus melalui pemerintah pusat,” ujar Bambang. Dalam pakem yang berlaku sekarang, daerah boleh-boleh saja mengantongi pinjaman yang mengalir, namun yang berhak meneken kesepakatan utang tetap pemerintah pusat. Dari Jakarta, uang hasil pinjaman itu baru dialirkan ke daerah.
Kalaupun kewenangan mengakses pasar utang di luar negeri yang dianugerahkan ke Aceh benar-benar tanpa batas, Pemerintah Daerah Aceh diragukan dapat memanfaatkan hak itu. Di Amerika sekali pun, obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah tergolong obligasi dengan derajat risiko tertinggi alias junk bonds.
Derajat risiko obligasi pemerintah daerah di Indonesia malah bisa berlipat ganda. UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah menyebutkan, pemerintah pusat tak menjamin obligasi daerah. Maka, untuk Aceh yang sudah kaya dari minyak dan gas, penerbitan obligasi yang berbiaya mahal itu secara ekonomi kurang menarik.
Thomas Hadiwinata
Kesepakatan damai Indonesia–GAM di bidang ekonomi
- Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh bank sentral Republik Indonesia.
- Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional untuk serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.
- Aceh akan memiliki kewenangan atas sumber daya alam yang hidup di laut teritorial di sekitar Aceh.
- Aceh berhak menguasai 70 persen hasil dari semua cadangan hidrokarbon dan sumber daya alam lainnya yang ada saat ini dan di masa mendatang di wilayah Aceh maupun laut teritorial sekitar Aceh.
- Aceh melaksanakan pembangunan dan pengelolaan semua pelabuhan laut dan pelabuhan udara dalam wilayah Aceh.
- Aceh akan menikmati perdagangan bebas dengan semua bagian Republik Indonesia tanpa hambatan pajak, tarif, ataupun hambatan lainnya.
- Aceh akan menikmati akses langsung dan tanpa hambatan ke negara-negara asing, melalui laut dan udara.
- Pemerintah RI bertekad untuk menciptakan transparansi dalam pengumpulan dan alokasi pendapatan antara pemerintah pusat dan Aceh dengan menyetujui auditor luar melakukan verifikasi atas kegiatan tersebut dan menyampaikan hasilnya kepada kepala pemerintah Aceh.
- GAM akan mencalonkan wakil-wakilnya untuk berpartisipasi secara penuh pada semua tingkatan dalam komisi yang dibentuk untuk melaksanakan rekonstruksi pascatsunami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo