Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gunung Thian San nun di Sin-kiang tiada banding-annya di jagat ini. Di dunia cerita silat karya Liang Ie-shen, mereka yang ingin mencapai gunung ini harus melintasi Gurun Gobi.
Di puncak utara berdiam kampiun bernama Hui-bing Siansu. Di puncak selatan tinggal menyepi seorang nenek bernama Pek-hoat Mo-li. Keduanya berselisih, tapi sa-ling menghormati. Mereka lama tak turun gunung. Jarak antara kedua puncak itu jauh. Sungai-sungai es malang melintang. Perubahan hawa menuju titik beku kerap terjadi. Dan dari atas sering menggerujuk salju mencair.
Puluhan tahun di situ, Hui-bing berhasil menyarikan ilmu pedang berbagai aliran, yang dinamainya Thian San Kiam Hoat. Sementara itu, Pek-hoat Mo-li di masa muda-nya adalah seorang tukang begal tersohor. Ia ikut memim-pin pemberontakan melawan kekaisaran di barat Siamsay. Namanya tak terlupakan lantaran pernah seorang diri bertempur dan menekuk delapan pendekar Butong-pay.
Mereka mati di umur seratus tahun lebih. Mereka memiliki murid pesilat-pesilat tangguh yang juga membangkang terhadap kekaisaran hingga membuat daerah Sin-kiang tak tertundukkan. Mereka adalah Leng Bwe-hong, Kui Tiong-bing, Thio Hua-tjiau, Lauw Yu-hong, Lauw Yu-hong, Ie Lan-tju, Huai Ang-kin, dan Bu Ging-yao. D-unia kang-ouw mengenal mereka sebagai Thian San Tjhit Kiam atau Tujuh Pendekar dari Thian San.
Mereka berpencar. Mereka datang dan pergi mengga-bungkan diri dengan rakyat penggembala. Huai Ang-kin, misalnya, di padang rumput luas menjadi ketua perserikatan bangsa Sinkiang. Mereka menjalin persahabatan dengan pendekar-pendekar Taiwan, Mongolia, dan Tibet yang saat itu juga melawan kaisar.
Para penggemar cerita silat Cina mengenal kisah Liang Ie-shen karena di sini sejak 1960 sudah diterjemahkan oleh Gan K.L. (1928-2003). Liang Ie-shen adalah salah satu tokoh besar dalam kan-cah cerita silat. Gan Kok Liang yang lahir di Xiamen memang termasuk paling ge-tol menerjemahkan karya-karya Liang, termasuk di antara-nya Pendekar Hina Kelana atau Pendekar Jembel.
”Gaya bahasa terjemahan-nya Semarangan,” kata Robin Bernadus, Pemimpin Redaksi Rimba Hijau, majalah cerita silat bersambung. Mak-sudnya, dialek Hokkian gaya Se-marang. Pada 2005, Panca Satya, sebuah penerbit kecil di Semarang, mencetak ulang terjemahan Gan K.L. Ba-nyak penggemar cerita silat ketika mendengar bakal ada film Seven Swords dari Tsui Hark mengira film ini pastilah adaptasi dari karya Liang Ie-shen. Ternyata bukan. ”Sama sekali tidak, malah le-bih dekat ke Seven Samurai karya Akira Kurosawa,” kata Nasruddin Madjid, Pemimpin Umum Rimba Hijau.
Mungkin, setidak-tidaknya, Tsui Hark mengambil ilham dari buku itu. Gunung es yang beku dalam Seven Swords jelas mengambil imajinasi Thian San. Semenjak adegan awal, kita juga disuguhi antek-antek kerajaan yang memiliki senjata aneh-aneh seperti cakram terbang. Bila kita baca terjemahan Gan K.L., terdapat seorang pende-kar yang disewa kerajaan bernama Hek Keh-bing. Ia memiliki sepasang cakram besi yang bila disambitkan akan menyambar ke mana saja, menebas apa saja yang menghalangi.
Juga, masalah pedang. Dalam film, para pendekar dikisahkan memiliki pedang-pedang pusaka dahsyat. Dalam terjemahan Gan K.L., memang beberapa pendekar Thian San memiliki pedang unggulan. Kui Tiong-bing, misalnya, memiliki pedang yang selain tajam, juga bisa lemas sehingga dapat dipakai sebagai sabuk.
Sesungguhnya, film Cina karya Yang Zhimou dan Ang Lee akhir-akhir ini banyak yang bertolak dari legenda atau kisah-kisah silat Cina. Film Crouching Tiger Hidden Dragon karya Ang Lee, misalnya, adalah penggalan dari cerita silat karya Wang Dulu (1909-1977). Di Indonesia, kisah itu sudah diterjemahkan oleh Oey Kim Tiang, seorang penerjemah cerita silat besar di Indonesia selain Gan K.L., dengan judul Harimau Mendekam, Naga Merunduk.
Proyek selanjutnya dari Tsui Hark adalah mengangkat kisah Sun Go Kong, Journey to the West, ke layar perak. Usaha gerilya menerbitkan kembali cerita silat Cina memang penting. Dulu, cerita silat pernah berjaya di kios-kios penyewaan buku, tapi kemudian lenyap. Entah bagaimana asal-muasalnya, cerita silat dulu kerap dianggap sebagai cerita murahan. Padahal, dari sisi kisahan, para penggemar cerita silat lebih memiliki bekal untuk mengapresiasi.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo