Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Helsinki, dua belas ribu kilometer lebih dari Aceh, dialog damai itu akhirnya berujung pada perjanjian, Senin pekan lalu. Bertempat di gedung Government Banquet Hall milik pemerintah Finlandia, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka bersepakat menamatkan konflik bersenjata yang bergolak sepanjang 30 tahun di tanah rencong itu.
Tak ada perayaan besar di Helsinki. Disiram kertap lampu kilat dari seratus lebih kamera wartawan, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaludin dan pemimpin Gerakan Aceh Merdeka Malik Mahmud, masing-masing mewakili pemerintah dan kelompok pemberontak bersenjata, serempak membuka naskah perjanjian berangkap tiga. Lalu, keduanya menyeret mata pena di atas kertas. Damai.
Tak ada lagi muka yang berkerut tegang. Hamid dan Malik duduk sejajar bersama Martti Ahtisaari, bekas Presiden Finlandia. Sebelumnya, Ahtisaari berperan sebagai ”wasit” selama lima kali putaran dialog damai itu. Di barisan sama, duduk juga Menteri Luar Negeri Finlandia, dan perwakilan Uni Eropa. Di saf belakang, delegasi pemerintah dan GAM berdiri bercampur baur.
Wakil Gubernur Aceh Azwar Abu Bakar berdempetan dengan perunding GAM Nurdin Abdul Rahman. Tak jauh dari mereka, ada Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Widodo A.S., bersebelahan dengan delegasi GAM yang datang dari berbagai penjuru negeri. Rombongan anggota DPR RI juga berdiri berdesakan.
Tak ada pidato dengan nada membakar. Meski memberikan catatan kritis, dan cemas akan terulangnya kegagalan perdamaian masa lalu, Malik juga tak berbicara garang. Menteri Hamid bahkan berpidato literer. ”Pat ujuen han pirang, pat prang tan reda,” ujar Hamid, mengutip pepatah Aceh saat menutup sambutannya. Artinya, tak ada hujan yang tak reda, tak ada perang yang tak berakhir.
Semua hadirin di ruangan yang sesak itu bertepuk tangan. Juga Malik Mahmud. Dia mengatupkan tangan dan mengangguk-angguk, seperti ikhlas mendengar pepatah itu dikutip Hamid.
Dua belas ribu kilometer lebih jauhnya, ratusan ribu mata di Aceh menyaksikan langsung acara itu di layar kaca. Di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, warga tumpah-ruah menonton bersama di televisi. Mereka tersenyum. Mereka menangis.
Di Aceh, perang dan damai berganti seperti musim.
DUA hari sebelum acara puncak itu, soal damai masih tersimpan di saku masing-masing. Sepanjang pagi sampai siang, pada Sabtu itu, Malik Mahmud dan pemimpin GAM lainnya tak begitu tenang. Mereka menggelar rapat di Hanasaari Hanaholmen, satu wisma di Teluk Espoo yang permai, di pinggiran Helsinki.
”Jumlah TNI tampaknya akan bertambah”, ujar Malik. Rekannya, Zaini Abdullah dan juru bicara Bakhtiar Abdullah, tak langsung menjawab. Mereka diam, seperti berpikir dan menimbang-nimbang. Sejak awal, para petinggi GAM itu rupanya terusik oleh isu bahwa TNI menambah pasukan organik di Aceh.
Seperti tercantum dalam naskah perjanjian, jumlah TNI nonorganik di Aceh akhirnya dipatok 14.700 personel, dan polisi 9.000 orang. ”Sebetulnya angka itu masih terlalu besar buat Aceh,” ujar Munawar Liza, Sekretaris Jenderal Acheh Center—organisasi kampanye GAM di Amerika Serikat. Dalam proses dialog, Munawar menjadi semacam asisten Malik.
Saat berkunjung ke Banda Aceh dua pekan lalu, seorang jenderal TNI menyebutkan kepada Tempo, pasukan organik di Aceh saat ini ada enam batalion, dengan kekuatan sembilan batalion. Artinya, kalau di Jakarta, kekuatan yang sama bisa membangun sembilan batalion. Penguatan detasemen juga dilakukan. Misalnya penambahan pasukan artileri dan kavaleri. ”Semuanya pasukan organik,” ujar sang jenderal.
Dari lobi wisma itu, Malik, ditemani Zaini Abdullah dan Bakhtiar Abdullah, berjalan keluar mengantar Juha Christensen pulang. Sejak siang, Christensen berdiskusi panjang lebar dengan para petinggi GAM itu. Christensen adalah pengusaha farmasi asal Finlandia. Dia berperan penting sebagai penghubung GAM dan pemerintah (lihat ”Dengan Bunga dan Ski Es”). Sesekali, Christensen terdengar bercakap dalam bahasa Swedia dengan para tokoh GAM itu.
M. Nur Djuli, satu dari perunding gerakan itu, bercerita bahwa mereka sedang membahas terjemahan draf perjanjian itu dalam bahasa Indonesia. Penyelenggara dialog itu, Crisis Management Initiative (CMI), menyodorkan draf terjemahan itu kepada GAM dan delegasi RI. Djuli menunjukkan sejumlah kata yang bisa menimbulkan tafsir berbeda. Tentu, kalau tak disepakati, perbedaan itu bisa menjadi bibit sengketa. ”Sejumlah kata dalam beberapa pasal punya beragam arti,” ujar Nur Djuli, salah satu perunding GAM yang turut dalam lima kali perundingan di Helsinki. Djuli sendiri bermukim di Kuala Lumpur, Malaysia.
Djuli menunjukkan draf yang penuh coretan tinta hitam itu, dan membandingkan dengan teks perjanjian bahasa Inggris. Kata ”administered”, misalnya, dalam draf itu diartikan ”diatur”. ”Kata yang lebih tepat, menurut kami, ’diselenggarakan’,” ujarnya.
Hari itu draf terjemahan dibahas oleh GAM dan pemerintah. Tak ada perdebatan serius. Semua sepakat, terjemahan hanya sebagai rujukan dalam bahasa Indonesia. Teks perjanjian secara legal tetap dalam bahasa Inggris.
SEHARI sebelum penekenan, kesibukan makin tinggi di Wisma Hanasaari. Malik menerima tamu, lalu ikut rapat. Panggilan telepon sebentar-sebentar masuk ke juru bicara GAM Bakhtiar Abdullah. Bakhtiar, 46 tahun, tampak sibuk berkoordinasi. Dia sedang menunggu sepuluh orang perwakilan GAM dari Aceh, sebagai bagian dari delegasi resmi gerakan itu. ”Mereka adalah pemimpin sipil GAM,” ujar Bakhtiar.
Seorang anggota delegasi dari wilayah Pidie terpaksa digotong ke rumah sakit hari itu. Dia bernama Thalib, berkulit legam dan berbadan gempal. Matanya liar dan tubuhnya menggigil. Tampaknya dia terjangkit malaria akut. ”Mungkin terkena sewaktu lama bersembunyi di hutan,” ujar Bakhtiar.
Tak semua delegasi bisa hadir. Rencananya, para juru runding GAM yang ditangkap pada Mei 2003 seturut bangkrutnya dialog damai yang digagas Henri Dunant Center, akan turut datang ke Helsinki. Mereka adalah Teungku Usman Lampoh Awe, Teuku Kamaruzaman, dan Amni bin Marzuki. Ketiganya meringkuk di penjara Sukamiskin, Bandung. Tapi, sampai Minggu pekan lalu, mereka tak kunjung tiba.
Soalnya, kata dia, Menteri Hamid pernah berjanji. Para tahanan itu, katanya, akan ikut menyaksikan penekenan damai. Sumber di Departemen Hukum dan HAM menyebutkan, niat Menteri Hamid itu sungguh-sungguh. Bahkan paspor bagi para tahanan politik itu sudah diurus. ”Tapi situasi tak memungkinkan,” ujar sumber itu. Dia tak mau menjelaskan lebih lanjut. Menteri Hamid sendiri tak mau menjawab.
Hari itu, situasi di Jakarta memang lagi panas. Meski sebagian besar anggota DPR RI setuju dengan substansi perundingan itu, beberapa kekuatan politik nasional menanggapinya dengan kritis. Sejak proses perundingan itu dibuka, PDI Perjuangan, yang mengambil jalur opisisi, menuding pemerintah SBY-Kalla telah melakukan langkah politik melewati batas dan berbahaya bagi kesatuan Republik (lihat Bukan ”Janji Tinggal Janji”).
Bahkan, setelah naskah perjanjian diteken pekan lalu, partai itu akan menggugat ke Mahkamah Konstitusi, karena pemerintah tak melibatkan DPR dalam menandatangani perjanjian itu. ”Kami memilih jalur konstitusi, sesuai dengan pesan Ibu Megawati,” ujar Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung, Kamis pekan lalu.
Ketua fraksi partai itu, Tjahjo Kumolo, masih meributkan persoalan internasionalisasi, terutama keterlibatan para pemantau asing dalam Aceh Monitoring Mission. ”Dalam waktu dekat pemerintah malah akan mengadakan MOU dengan Uni Eropa. Ini kan gila,” ujarnya. Yang dimaksud Tjahyo adalah SOMA (status of mission agreement)—pertemuan turunan dari perjanjian Helsinki.
Bukan hanya di parlemen angin ribut itu bertiup. Dari jalanan, meski tak besar, berulang kali aksi menentang perundingan muncul di Jakarta. Para demonstran membakar foto para perunding GAM dan mengutuk keterlibatan asing atas kasus Aceh dan Papua. Satu salinan berita itu diberikan Munawar Liza kepada Bakhtiar. Tapi, ”Saya malas membacanya,” ujar Bakhtiar.
Telepon genggamnya berdering lagi. Lalu Bakhtiar bicara dalam bahasa Arab yang fasih. ”Dari AlJazeera,” ujarnya. Dia menjawab lancar wawancara dengan televisi Qatar itu. Bakhtiar menguasai bahasa Arab sejak mengikuti latihan militer di Libya, dua puluh tahun lalu.
DI lobi wisma, mereka berpakaian rapi dengan jas hitam. Semuanya berasal dari Aceh. Tapi tak semuanya mau bicara terbuka dengan orang asing. Ada yang datang dari Aceh Tengah dan Singkil, Aceh Selatan. Selebihnya dari pesisir barat dan timur Aceh. Inilah barisan tokoh lokal GAM, yang disebut-sebut dari sayap sipil itu. Berbaris memanjang, semua delegasi itu menyimak arahan dari Malik Mahmud.
M. Nur Djuli menarik napas panjang. ”Saya tak tahu mengapa politisi Jakarta meributkan GAM harus bubar setelah perjanjian ini diteken, GAM tak akan bubar setelah perjanjian itu diteken.” Ujarnya. Mereka tetap ada dan berjuang secara politik. ”Kalau bubar, siapa yang akan menjalankan semua isi perjanjian ini, dari pemusnahan senjata dan sebagainya?” ujarnya lagi.
Namun, apakah pemimpin GAM di Swedia akan pulang memimpin partai lokal? ”Kami pulang, tapi tak usah tanya kapan,” ujarnya. Sejak malam sebelumnya, diskusi siapa yang akan memimpin partai lokal menggelinding di antara para tokoh gerakan itu. Di antara mereka tampaknya belum ada kata sepakat. ”Mungkin kita akan mendukung calon independen di luar GAM,” ujar Nur Djuli.
Bakhtiar mengatakan banyak di antara mereka yang bisa mengambil tugas transformasi politik gerakan itu nanti. Dia menunjuk, antara lain, para juru runding di Sukamiskin sebagai calon potensial. Tapi, dua pekan sebelumnya, Teuku Kamaruzaman dengan rendah hati menolak. ”Saya tak berpikir jabatan, saya berjuang untuk keadilan di Aceh,” ujar Kamaruzaman kepada Rana Akbari Fitriawan dari Tempo, yang mengunjunginya di penjara.
Satu telepon lagi masuk ke Bakhtiar Abdullah. ”Kami dengar kabar, pemerintah tak akan melucuti senjata para milisi,” ujarnya. Suaranya galau. Jakarta memang membantah telah mempersenjatai milisi di Aceh.
Malam ini, delegasi gerakan bersenjata itu bersiap makan malam di Kulosaari Casino. Semua berpakaian rapi dengan jas hitam. Mereka bertemu delegasi Indonesia di sana. Matahari masih bersinar terang di Helsinki, meski sudah pukul delapan petang. Pohon-pohon pinus menggigil ditiup angin Teluk Hanasaari.
Di Aceh, perang dan damai berganti seperti musim.
Nezar Patria (Helsinki)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo