PARA petinggi dan pakar hukum kini berdebat soal penayangan koruptor di TVRI. Tapi apa sebenarnya yang dirasakan para tersangka dan terpidana korupsi. Sengaja TEMPO memilihkan bekas Kepala Dinas Pendapatan Kabupaten Bogor Brongkos Sya'ban, yang baru saja menyelesaikan hukumannya, dan pejabat bea cukai Menyok Wiyono, yang kini tengah diadili. Brongkos Sya'ban, 51 tahun, 1 Desember lalu baru saja bebas dari Lembaga Pemasyarakatan Pledang, Bogor, Jawa Barat. Ia divonis Pengadilan Negeri Bogor 9 tahun penjara karena terbukti menggelapkan uang negara Rp 2,3 milyar. Inilah pendapatnya: Saya tidak setuju penayangan di televisi. Sebab, sejak seseorang ditangkap, ia sudah kena sanksi masyarakat. Ketika dulu rumah saya dikepung, masyarakat sudah memberi sanksi. Sampai sekarang keluarga saya masih trauma, walau mereka tak lagi diasingkan masyarakat. Sebab itu, saya ingin bertemu Jaksa Agung untuk memberi masukan dalam memberantas korupsi. Saya tahu banyak soal korupsi, liku-likunya, dan itu ada di mana-mana. Saya mau membantu pemerintah memberi masukan-masukan teknis. Penayangan di televisi itu hanya berarti di permukaan. Orang tahu pelakunya, kejahatannya, tapi prosedur dan mata rantainya tidak. Saya tidak setuju dengan pendapat Pak Gandhi (Ketua Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan -- Red.) bahwa pejabat eselon III yang banyak korupsi. Coba lihat apa pernah eselon I kena tindak pidana korupsi. Mana ada? Padahal, eselon III kan hanya pelaksana, ujung tombak. Pasti eselon I dan II juga tahu apa yang dilakukannya. Seperti dalam rumah, kalau anaknya nakal, masa bapaknya tak tahu. Memberantas korupsi itu harus mendasar. Seperti rumah, kalau hanya lantainya dibersihkan tapi langit-langitnya dibiarkan kotor, pasti tetap ada kotoran jatuh. Penayangan di televisi kan bermaksud supaya orang yang ditayangkan malu dan tak korupsi lagi. Apa iya, orang yang melakukan korupsi, setelah hukumannya selesai, masih mungkin korupsi lagi? Yah, seperti saya ini, apa masih mungkin melakukan korupsi lagi? Menyok Wiyono, 58 tahun, Kepala Bidang Ekspor Kanwil Bea Cukai Tanjungpriok 1983-1986. Ia didakwa membantu tujuh perusahaan swasta memanipulasi Sertifikat Ekspor, sehingga merugikan negara Rp 43 milyar lebih. Antara lain, ia menyetujui Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dan SE milik Santoso Tjoa dari PT Tomy Utama Toy, yang berpura-pura mengekspor mainan anak ke luar negeri, padahal barang rongsokan. Ia malah mempertanyakan tujuan pemerintah memberantas korupsi saat ini. "Tidak ada manfaatnya memberantas korupsi dengan cara penayangan. Saya tidak setuju, karena ini hanya kemauan orang tertentu di kota, sedang rakyat di desa tidak mengerti," ujarnya. Penayangan, katanya, bukanlah cara yang tepat untuk memberantas korupsi. Yang perlu dibereskan adalah lembaga peradilan, sehingga keadilan bisa ditegakkan dan korupsi bisa ditanggulangi. Kalau untuk menumbuhkan budaya malu, sebenarnya Menyok sudah merasakannya sejak masalahnya diangkat oleh media massa. "Sampai detik ini saya tidak merasa bersalah. Namun, jangankan ditayangkan, dengan tulisan di media dan dilihat orang dalam sidang saja, saya merasa sudah dihukum dan dipojokkan oleh masyarakat. Tapi apakah itu tepat menurut hukum? Hakimlah yang harus memberikan hukuman, bukan masyarakat," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini