Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Denyut Kampung Arak Merita

MERITA dikenal sebagai penghasil arak terbaik di Bali. Tradisi membuat arak di banjar atau dusun di Desa Laba Sari, Karangasem, itu turun-temurun sejak ratusan tahun lalu. Kini arak tradisional Merita telah merambah hingga ke luar Bali. Masyarakat setempat juga meyakini tradisi pembuatan arak erat kaitannya dengan Ida Bhatara Arak Api atau Dewa Arak Api.

22 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARISAN pohon siwalan yang terhampar di kiri-kanan jalan menyambut Tempo begitu memasuki kawasan Banjar Merita, Desa Laba Sari, Kecamatan Abang, Karangasem, Bali, sekitar 80 kilometer di sebelah timur Denpasar pada pertengahan September lalu. Pohon siwalan- di Bali biasa disebut ental atau lontar- menjadi pemandangan alam banjar yang dikenal sebagai pusat pembuatan arak itu. Tuak ental hasil sadapan dari pohon siwalan merupakan bahan baku untuk membuat arak.

Arak Merita, yang sering disebut arak Karangasem atau arak api, itu terkenal hingga ke Denpasar, bahkan luar Bali. Arak api juga telah menjadi komoditas pariwisata. Bahkan sejumlah restoran dan hotel di Bali belakangan menyuguhkan arak sebagai koktail. Kepopuleran arak tradisional Merita pun mendorong industri minuman untuk memproduksi dan mengekspornya.

Tradisi pembuatan arak di Merita diperkirakan berlangsung sejak 1700-an. Kelian Adat Banjar Merita, I Nyoman Arta Asih, mengatakan keterampilan membuat arak warga setempat diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. "Keturunan keluarga pembuat arak terbiasa melihat kegiatan itu sehari-hari," kata Arta Asih.

Saat ini ada 10 keluarga yang membuat arak sebagai industri rumahan di banjar berpenghuni 162 keluarga itu. Jumlah keluarga pembuat arak di Merita menyusut bila dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya, yang mencapai lebih dari 50 keluarga. Menurut Kepala Lingkungan Banjar Merita, I Nyoman Arnawa, menyusutnya jumlah warga yang membuat arak terutama dipengaruhi oleh kebutuhan hidup. Belakangan, warga Merita banyak yang memilih bekerja di sektor pariwisata.

Salah satu yang hingga kini masih bertahan sebagai pembuat arak adalah I Nyoman Wartana. Siang itu, Wartana baru saja pulang dari perkebunan untuk menyadap tuak. Pria 38 tahun itu menyimpan tuak hasil sadapannya di dalam ember di tempat pembuatan arak berukuran 4 x 3 meter di bagian belakang rumahnya. Selanjutnya tuak itu akan melalui proses penyulingan untuk menjadi arak- warga setempat menyebutnya proses mumpunin. "Sebelum penyulingan, tuak itu dipanaskan dulu," ujar Wartana.

Warga Banjar Merita membagi pekerjaan dalam proses pembuatan arak. Para pria bertugas memanjat pohon siwalan untuk menyadap tuak. Sedangkan perempuan mengerjakan proses pengolahan tuak menjadi arak. Istri Wartana, Ni Made Sutini, 33 tahun, yang sehari-hari mengerjakan pembuatan arak.

Boleh dibilang peralatan untuk proses pembuatan arak secara tradisional di rumah Sutini cukup sederhana: panci, bambu, botol, dan tungku- perapian dari tanah liat yang menggunakan kayu bakar. Dulu, sebelum orang Merita mengenal panci dan botol atau blek dan jeriken, wadah proses penyulingan arak adalah gentong tanah liat dan guci. Gentong untuk merebus tuak dan guci sebagai penampung uap hasil penyulingan.

Siang itu, Sutini tengah merebus tuak dalam panci di atas tungku. Tuak yang direbus itu akan menguap, dan kemudian uapnya mengalir ke dalam rongga bambu sepanjang sekitar satu meter. Selanjutnya, tinggal menunggu proses alami selama tiga jam, arak akan menetes dari ujung rongga bambu yang sudah diikatkan botol untuk menampungnya. "Makin sedikit arak yang terkumpul, kualitas arak yang dihasilkan akan makin bagus. Itulah arak kualitas nomor satu," ujar Sutini.

Untuk menghasilkan kualitas arak kelas I, menurut Sutini, perbandingan tuak 5 liter setelah penyulingan menjadi sekitar 1,8 liter. "Itu sama dengan tiga botol bir ukuran besar," ucapnya. Sutini menjelaskan, agar proses alami penyulingan selama tiga jam itu bisa menghasilkan arak bermutu, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Saat merebus tuak, api dalam tungku harus dijaga, tidak boleh terlalu besar dan terlalu kecil. Untuk memanaskan tuak juga menggunakan kayu bakar pilihan, seperti kayu pohon jambu mete atau pohon juwet.

Para pembuat arak di Merita juga memiliki anggapan bahwa ukuran bambu penyulingan bisa menentukan kualitas arak yang dihasilkan. Bambu yang pendek, sekitar 1 meter, dianggap bisa menghasilkan arak dengan mutu terbaik. Sedangkan ukuran bambu yang lebih panjang akan menghasilkan arak kualitas nomor dua.

Selain itu, faktor cuaca mempengaruhi mutu arak. Pembuat arak di Merita meyakini September adalah bulan produksi tuak terbaik sebagai bahan baku arak karena musim kemarau. "Intinya, kalau hujan, tidak bisa mendapatkan tuak yang bagus, malah bisa kosong," ucapnya.

Dalam sehari, para produsen arak tradisional di Merita bisa tiga kali membuat arak. Satu keluarga biasanya memiliki empat panci atau blek. Rata-rata volume satu panci bila diisi penuh bisa menampung 20 liter tuak. Tapi tuak yang direbus tidak sampai memenuhi seluruh volume panci. Biasanya tuak dituangkan tidak sampai setengah bagian. Ini untuk memberikan ruang penguapan ketika proses penyulingan. Adapun kayu bakar yang digunakan dalam satu hari bisa menghabiskan empat batang berukuran sepanjang 2 meter.

Warga yang membuat arak pada umumnya membagi masing-masing dua panci untuk menghasilkan kualitas berbeda. Dari empat panci, dua untuk menghasilkan arak nomor satu, sedangkan dua panci lagi digunakan memproses kualitas arak nomor dua. Namun hasilnya tidak selalu sesuai.

Dosen Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Putu Ayu Indrayathi, mengatakan, berdasarkan hasil penelitiannya, arak nomor satu di Banjar Merita rata-rata mengandung alkohol 51,15 persen. "Sedangkan arak nomor dua mengandung alkohol sekitar 31,59 persen," ujar Putu Ayu, yang meneliti arak di Banjar Merita pada 2014-2016.

Sebetulnya ada beberapa cara mudah untuk mengetahui arak itu kualitas nomor satu atau bukan. Menurut I Made Sekari, 51 tahun, yang juga pembuat arak di Merita, salah satu caranya adalah mengocok arak dalam botol. Butiran-butiran gelembung yang muncul setelah dikocok menandakan kualitas arak tersebut. Jika butiran gelembungnya kecil dan lambat naik ke permukaan, berarti jenis arak tersebut terbaik. "Kalau butiran gelembungnya besar dan mudah hilang, itu tidak bagus kualitasnya," kata Sekari.

Saat Tempo mencoba arak yang disuguhkan Sekari, rasa panas terasa menyesap dada. Mulut seolah-olah sulit menutup karena aroma alkohol yang pekat. Sendawa menandakan reaksi kehangatan arak di dalam tubuh. Walaupun memiliki kadar alkohol yang sangat keras, di atas 45 persen, arak nomor satu terasa lembut saat ditelan. Sedangkan arak nomor dua terasa agak kasar ketika melewati tenggorokan dan rasanya cukup hangat. Adapun arak nomor tiga agak hambar, beraroma tengik saat ditelan, dan muncul rasa kecut di lidah.

Arak berkualitas terbaik di Banjar Merita rata-rata dijual seharga Rp 50 ribu per 1,5 liter. Harga tersebut akan naik jika cuaca tidak menunjang untuk menghasilkan tuak yang bagus. Bila sering turun hujan, harga arak pun bisa meningkat. Sedangkan arak kualitas menengah atau nomor dua dihargai sekitar Rp 30 ribu. Adapun arak nomor tiga memiliki harga yang berbeda-beda, yakni Rp 10 ribu ke atas.

Bagi warga Merita, selain untuk dijual, arak hasil produksinya itu biasanya mereka simpan di rumah. "Biasa untuk suguhan tamu kalau mau minum," kata I Nyoman Arta Asih, Kelian Adat Banjar Merita. Arak, menurut Arta Asih, lebih enak dinikmati sedikit saja untuk sekadar menghangatkan tubuh. "Arak menjadi teman untuk mengisi obrolan," ucapnya.

Meskipun Banjar Merita terkenal sebagai penghasil arak, saat ada waktu luang, warga di sana lebih sering menikmati tuak. Seperti yang terlihat pada keluarga I Nyoman Daprik. Ditemani sate dan kacang serta alunan musik dangdut, Daprik bersama anggota keluarga lainnya, I Made Suratmika, 28 tahun, dan Jero Darma, 40 tahun, menikmati segelas tuak yang diputar bergiliran untuk diminum. "Warga di sini biasa minum saat bersantai," kata Daprik, 65 tahun, di rumahnya suatu sore pada pertengahan September lalu.

Menurut Daprik, saat masih muda, ia sering minum arak, terutama sebelum tidur. Bagi Daprik, minum satu sloki arak bisa menambah kenyamanan istirahat. Namun kini ia tidak lagi minum arak. "Saya sudah tidak kuat menelan arak," ucapnya. I Made Suratmika mengatakan, bila ada pesta, seperti pernikahan, barulah arak dijadikan untuk minum-minum. Meski begitu, ujar Suratmika, tuak tetap ada mendampingi arak sebagai pilihan minuman saat berkumpul di pesta tersebut.

Bagi Suratmika, yang terpenting saat minum adalah menjalin keakraban. "Tua dan muda berkumpul minum saling mengendalikan diri," tuturnya. Suratmika tidak pernah mau minum arak ataupun tuak selain hasil alam di Banjar Merita. "Kami percaya warisan turun-temurun leluhur," ucapnya. Jero Darma pun berpendapat sama. Bagi dia, minum arak atau tuak bukan bertujuan mabuk-mabukan. Meski begitu, ia tidak menampik bahwa saat minum, tak jarang ia berlanjut sampai mabuk. Tapi tidak sampai menimbulkan masalah. "Sudah terbiasa minum, jadi bisa menyesuaikan," katanya.

l l l

POPULARITAS arak Bali, terutama dari Karangasem, belakangan ini kian meningkat, terutama untuk kebutuhan pariwisata. Ketut Darmayasa, Ketua Indonesian Food and Beverage Executive Association (IFBEC) Bali, mengatakan, dalam dunia pariwisata, arak sudah disuguhkan menjadi beberapa varian. Beberapa hotel dan restoran di Bali menyediakan arak sebagai koktail. "Namun saat ini arak secara kuantitas masih kalah bersaing dibanding minuman jenis vodka dan wiski," kata Darmayasa.

Selain diracik dengan minuman karbonasi, arak bisa diracik dengan karakter buah-buahan. Darmayasa mencontohkan, saat ini mulai berkembang arak dengan perpaduan sari buah jeruk dan kranberi. "Arak dengan madu juga bisa," ujar mantan Ketua Asosiasi Bartender Indonesia Bali itu.

Bagi Darmayasa, bukan tidak mungkin arak Bali menjadi unggulan produk minuman lokal. Ia mencontohkan minuman sake di Jepang dan soju khas Korea Selatan. "Kita perlu mengembangkan kreasi lokal Bali," ucapnya.

Saat ini arak tidak hanya diproduksi secara tradisional di perdesaan-perdesaan di Bali, seperti di Kabupaten Karangasem. Peluang bisnis arak pun sudah menyentuh sampai tingkat retail. Ida Bagus Rai Budarsa, Direktur Firma Udiyana, pemilik produk Arak dan Brem Bali Dewi Sri, mengatakan minuman tradisional tersebut memiliki pasar yang bagus di sektor pariwisata. "Arak cocok untuk koktail," tuturnya.

Rai menjelaskan, awalnya Firma Udiyana hanya memiliki produk brem, yang mulai diproduksi pada 1968. Namun, pada 1995, arak menjadi produk baru yang memiliki keuntungan sama dengan brem. "Kami juga mengirim arak ke Jepang," ujarnya. Dia menyebutkan satu kali pengiriman arak ke Jepang bisa mencapai 5.000 botol.

Menurut Rai, yang membedakan produk arak milik perusahaannya dengan di Banjar Merita adalah bahan bakunya. Arak Bali Dewi Sri menggunakan bahan baku beras ketan. Bahan baku tersebut dipilih untuk menyesuaikan dengan produk brem miliknya. "Brem adalah hasil fermentasi beras ketan, kemudian kami destilasi (penyulingan) menjadi arak," tuturnya. Produksi Arak Bali Dewi Sri, ujar Rai, berkisar 3.000 liter per bulan.

Produk Arak Bali Dewi Sri mengandung alkohol 40 persen yang dikemas dalam dua jenis ukuran botol. Ukuran besar berkapasitas 680 mililiter, sedangkan ukuran kecil 350 mililiter. Selain di hotel dan restoran, distribusi Arak Bali Dewi Sri masuk ke retail. "Distribusi ke semua tingkatan hotel dari bintang satu sampai lima," ucapnya.

Meskipun sudah terkenal sebagai penghasil arak berkualitas, para pembuat arak di Banjar Merita masih kucing-kucingan karena tidak mendapat izin resmi dari pemerintah. "Kami memang tidak mengeluarkan izinnya," kata Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Karangasem I Gusti Ngurah Suarta.

Namun, menurut Suarta, produksi arak tradisional dari Karangasem dan daerah lain di Bali mendapat pemakluman karena juga sering digunakan untuk keperluan upacara keagamaan umat Hindu. "Dipersilakan arak untuk tabuh (dituangkan saat ritual) di kawasan desa atau kecamatan masing-masing," ujarnya.

BRAM SETIAWAN (BALI)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus