Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Gara-gara Kebanyakan Kerja

Satu dari tujuh orang mengalami masalah kejiwaan karena pekerjaan. Bahayanya sama dengan merokok, kegemukan, dan tekanan darah tinggi.

22 Oktober 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA pekan belakangan, Adam- bukan nama sebenarnya- mesti bolak-balik ke rumah sakit. Ia khawatir ada yang tidak beres pada tubuhnya. Jantungnya kerap berdegup lebih kencang dari biasanya.

Tapi sederet dokter spesialis jantung dan pembuluh darah yang dia datangi mengatakan hal yang sama: tak ada masalah di organ vitalnya. Adam pun dipersilakan pulang tanpa membawa obat.

Tak puas dengan diagnosis dokter, Adam mencari opsi lain. Kali ini, pria 40 tahun itu menyambangi klinik psikosomatis. Sebab, dia merasa debar jantungnya menjadi-jadi saban memikirkan pekerjaan. Benar saja. Andri, dokter spesialis kesehatan jiwa yang memeriksa Adam, mengatakan Adam menderita kecemasan akibat beban kerja berlebih. "Karena proyek yang terus-menerus, ia tak bisa beristirahat," kata Andri kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Adam diminta mengambil cuti dan mengurangi beban pekerjaannya.

Andri mengatakan banyak pekerja menderita gangguan kesehatan jiwa seperti yang dialami Adam. Masalah ini diangkat pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia, 10 Oktober lalu. Tema kesehatan jiwa diekspos lantaran masih banyak orang yang tak mafhum akan problem tersebut. Padahal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat satu dari tujuh orang menderita masalah kesehatan jiwa di tempat kerja.

Menurut Ketua Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Eka Viora, banyak faktor di tempat kerja yang bisa menggoyahkan kesehatan jiwa. Selain karena beban kerja, ada kejaran target, jam kerja yang panjang, dan gangguan moral seperti perisakan. Karena tumpukan tekanan tersebut, pekerja jadi ogah-ogahan dan sering bolos dengan pelbagai alasan. Kalaupun masuk kerja, Eka mengatakan, biasanya pekerja tersebut sering meninggalkan meja kerjanya, misalnya untuk merokok. "Akibatnya, produktivitasnya menurun," ujarnya. Dampak ekonominya mahatinggi. WHO memperkirakan US$ 1 triliun hilang per tahun akibat turunnya produktivitas tersebab depresi dan kecemasan.

Selain mengurangi hasil kerja, kata Andri, tekanan seperti itu menyebabkan gangguan emosional. Tertekan sedikit saja, mereka langsung panik, tersinggung, dan marah. Andri mengatakan gejala gangguan jiwa berlaku sama, baik di tempat kerja, rumah, maupun lingkungan sosial. Jadi, dari masalah di kantor, yang kena getah bisa jadi adalah keluarga, tetangga, dan lainnya.

Menurut Andri, terdapat beberapa tahapan gangguan kejiwaan di tempat kerja. Awalnya biasanya berupa pikiran, perasaan, dan perilaku tak seimbang. Misalnya pikiran kalut dan merasa tak aman menghadapi tugas baru. Namun kekhawatiran ini tak selamanya berdampak negatif.

Saat tertekan, Andri melanjutkan, otak justru bisa terpacu untuk menyelesaikan masalah. Stres yang demikian disebut dengan eustress, artinya stres yang mendorong perbaikan. Namun ada pula tekanan yang membuat seseorang menderita, yang disebut distress. "Misalnya, tugas baru membuat dia keluar keringat dingin dan enggak bisa bekerja," ujar dokter yang berpraktik di Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang Selatan, Banten, itu.

Tahap berikutnya, stres akan direspons tubuh secara fisik. Badan jadi pegal-pegal, susah buang air besar, susah makan, sakit kepala, atau sakit lambung. Andri mengatakan stres sangat berkorelasi dengan munculnya dispepsia fungsional, gangguan lambung yang sulit sembuh.

Kusnandar, 30 tahun, mengalami ini dua tahun lalu. Ia menuding atasan yang tak komunikatif dan tugas menumpuk sebagai penyebab vertigo parah yang menderanya. Sakit kepalanya menjalar sampai leher dan bahu. "Pusing luar biasa sampai berputar-putar. Leher sampai pundak saya kaku dan tegang," ucap karyawan perusahaan penerbitan di Jakarta Selatan yang enggan mengungkap nama sebenarnya ini.

Dokter memvonisnya mengalami stres, kebanyakan pikiran dan pekerjaan, serta kurang istirahat. Penyebab lain adalah kelewat sering mengetik dengan posisi yang tak ergonomis.

Distress yang tidak dapat diatasi, menurut Andri, bisa memicu burnout, yakni kelelahan psikologis akibat pekerjaan. Kondisi ini dapat berujung pada depresi. Gejalanya, seseorang dilanda kesedihan dan kehilangan minat terhadap sesuatu yang sebelumnya dia sukai lebih dari dua pekan berturut-turut. Gelagat lain adalah tak bisa tidur dan berkonsentrasi serta emoh makan.

Depresi pun menggerogoti tubuh. Andri mengatakan tekanan mental ini sama bahayanya dengan merokok, kegemukan, dan tekanan darah tinggi. Depresi bahkan bisa menjadi faktor independen gangguan kardiovaskular, terutama serangan jantung. "Jadi, meski menjalani gaya hidup sehat, kalau sudah mengalami depresi, kemungkinan seseorang mendapat penyakit jantung sama dengan orang yang merokok ataupun mengalami darah tinggi," katanya.

Namanya pekerjaan, pasti ada tekanan. Hal yang bisa kita lakukan adalah mengelolanya. Menurut Eka Viora, jika masalahnya enteng, beban bisa berkurang dengan curhat kepada orang yang tepat. Tapi, kalau sudah dalam tahap melelahkan dan menimbulkan kecemasan, segera minta pertolongan kepada tenaga profesional.

Dokter spesialis okupasi Nuri Purwito Adi mengatakan setiap pekerja pantang melewatkan cuti untuk mengendurkan tekanan pekerjaan. Di sisi lain, dia melanjutkan, bos juga harus mengambil peran menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan tidak kelewat membebani pekerjanya. "Atasan harus bisa bekerja sama," ujarnya.

NUR ALFIYAH

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus