Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KERENSA Dewantoro dan Liswati berguling-guling di atas genangan air di basement parkir mobil Teater Jakarta Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa malam pekan lalu. Rombongan orang mendorong troli lewat di depan mereka. Mereka tetap berbasah-basah, berlarian, dan menari di atas genangan air bocor itu. Di sudut lain basement, Busro Yusuf juga menggeliat-geliat di lantai sembari tangannya membawa pahat dan palu kayu. Tak lama kemudian sebuah mobil pickup yang dikendarai Malhamang Zamzam datang. Busro berdiri, kemudian naik ke bagian belakang mobil. Di situ, dia disodori mikrofon.
Busro memegang mikrofon dengan kedua tangan. Gayanya persis seperti penyanyi rock. Penonton mengerumuni mobil pickup. Ketika mobil pelan-pelan berjalan, Busro menyanyikan sepotong lirik Dancing Queen, salah satu lagu andalan kelompok musik asal Swedia, ABBA. "You can dance, you can jive. Having the time of your life. See that girl, watch that scene, digging the Dancing Queen," katanya.
Adegan itu menjadi salah satu bagian dari pementasan teater berjudul Dancing Queen oleh Bandar Teater Jakarta, yang disutradarai Malhamang Zamzam. Jangan buru-buru membayangkan pementasan itu berkaitan dengan lagu Dancing Queen. Sebab, sepanjang satu jam pementasan, cuma adegan itu yang menunjukkan keterkaitan dengan lagu tersebut. Sisanya sama sekali tak ada hubungannya dengan lagu itu.
Pementasan Bandar Teater Jakarta itu sesungguhnya mengangkat tema tentang laut. Ketika masuk ke basement parkir, penonton bisa melihat di beberapa area tempat itu, termasuk atapnya, ditembakkan sejumlah image tentang laut. Di antaranya image lukisan Girl at a Window karya pelukis Spanyol, Salvador Dali.
Persoalan tentang laut baru tampil setelah pementasan berlangsung setengah jalan, ketika seorang pria dengan wig biru berorasi menggunakan pengeras suara. "Saya sudah bertekad bulat untuk ikut berlayar. Saya mulai takut untuk kembali ke darat," ucapnya. Lalu disusul seorang pria bertopi yang tiba-tiba mengalihkan perhatian karena muncul dari kerumunan penonton. Berdiri di anak tangga, pria itu bercerita tentang ikan dan laut.
Setelah itu, pementasan terus-menerus berbicara tentang laut lewat beberapa adegan orasi di berbagai sudut basement. Seorang pemeran perempuan berbicara mengaku tak suka laut, lantas dia membeli perahu dan lelaki sebagai nakhoda. Lalu ada seorang pria "berpidato" di antara penonton. Ia mengaku berasal dari Kampung Luar Batang, Jakarta Utara.
Dia berorasi menceritakan sejarah kampung nelayan itu hingga ancaman penggusuran di sana. Adegan ini terasa wajar. Seolah-olah malam itu mereka yang terkena masalah di Kampung Luar Batang datang ke Taman Ismail Marzuki dan menceritakan persoalannya. Adegan tambah menarik ketika tiga karung garam curah ditumpahkan ke jalanan. Kemudian seorang perempuan berdiri termenung memandanginya.
Seluruh orasi tentang laut dan adegan bergulingan di atas genangan memberi kita pengertian bahwa performance ini tengah melakukan kritik terhadap kesewenang-wenangan. Apalagi ada tayangan audio-visual mengenai sejarah melalui video tentang diktator Italia, Benito Mussolini. Dua aktor yang berdiri di depannya berpose hormat ala Mussolini.
Pementasan ini berikhtiar membuat peristiwa teater di tempat yang sehari-hari tak pernah digunakan sebagai arena pertunjukan. Penonton mendapat sebuah alternatif. Yang jadi masalah, performance ini minim unsur shocking. Hampir tak ada adegan yang meneror, mengejutkan, atau tak terduga. Termasuk lintasan troli atau iring-iringan sepeda motor. Kecuali gundukan garam yang mengasosiasikan tersingkirnya para nelayan. Juga masih tetap menjadi tanda tanya mengapa sutradara memaksa memberi judul Dancing Queen.
Prihandoko
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo