LANGKAH orang-orang bersepatu lars itu mengayun 35 tahun lalu. Namun derapnya masih sering terngiang-ngiang di telinga Dhorin sampai kini dan membuatnya berkeringat dingin. Inilah sebuah episode horor yang ujungnya menyeret petani Desa Lorejo, Bakung, di Blitar Selatan itu memasuki babak baru dalam hidupnya.
Lelaki yang kini berusia 75 tahun itu masih ingat persis saat desanya menjadi ladang pembantaian manusia pada akhir 1967 silam. Setiap malam, selepas isya, serombongan manusia bergerak ke sebuah gua—sekarang disebut Gua Tikus—di ujung desa. Sebagian besar penduduk desa tak sudi terlibat dalam kegiatan ini dan berusaha menghindar dengan mengunci diri di rumah. Begitu pula Dhorin, tidak mau mengotori tangannya dengan darah.
Hanya, pada suatu malam Dhorin tak punya pilihan lain. Seperti yang terjadi di malam sebelumnya, sayup-sayup mulai terdengar derap langkah orang-orang bersepatu lars. Makin dekat, suaranya makin jelas. Dikawal orang-orang berbadan tegap dan berseragam hijau, sejumlah lelaki bertelanjang kaki berjalan tertatih-tatih seperti baru saja disiksa. Mereka berjalan berpasangan. Tangannya masing-masing diikat dengan tangan temannya.
Siapa yang harus mati malam itu? Tetangganya? Familinya? Segumpal pertanyaan di kepalanya membuat Dhorin mengintip dari balik dinding bambu rumahnya. Saat itulah tiga orang tentara di barisan paling belakang berbelok ke pintu rumahnya. Mereka menerobos masuk dan memaksa lelaki jebolan kelas 3 sekolah rakyat itu keluar. Dhorin meratap menolak pergi. Raungan istrinya yang memohon agar tentara mengurungkan niat mereka malah membangunkan ketiga anaknya.
Tentara menuduh Dhorin sebagai kepala dusun yang melindungi pelarian anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) di desanya. Kendati telah membantah dengan berbagai alasan, dia tetap dipaksa. Dia akhirnya bergabung dengan rombongan itu, tapi tangannya tidak diikat. Saat itu dia mengenali beberapa orang tetangganya—yang tangannya juga tidak diikat—ikut dalam barisan tersebut.
Mereka lalu berhenti di depan Gua Tikus. Setiap pasangan diminta berbaris di depan mulut gua layaknya mau terjun bebas. Dua orang tentara, masing-masing menjinjing sebatang kayu, berdiri di kedua sisi korban. Secara bersamaan kayu itu terayun menghantam tengkuk. Saat posisi tubuh dua korban gontai, kaki-kaki bersepatu lars itu menyodoknya. Plung &! Tubuh mereka meluncur ke dalam gua berbatu-batu tajam, tersedot gravitasi.
Kedua tentara itu ternyata hanya memberikan contoh cara menghemat peluru. Eksekusi pasangan korban berikutnya diserahkan kepada warga Lorejo, termasuk Dhorin. Saat Dhorin mendapat giliran menyodok, tubuhnya lemas, maka dia menolak. ”Siapa yang tega memukul orang yang jelas-jelas akan mati?” katanya kepada TEMPO.
Karena membangkang, dia langsung diseret oleh tiga tentara ke semak-semak. Tubuhnya harus menerima terjangan popor senapan beberapa kali. Saat badannya terjatuh, sepatu lars melanggar wajahnya. Ketimbang mati dihajar atau dilemparkan ke gua, Dhorin akhirnya melakukan perintah itu.
Saat pembantaian masih berlangsung, seorang korban mengumpat-umpat, ”Mateni wong kok ngalah-ngalahne mateni kewan. Saiki mati, mengko yo mati. Timbang ngono mati bareng wae, ben impas (Membunuh orang kok melebihi membunuh hewan. Sekarang mati, nanti juga mati. Mending mati bersama biar impas).” Bersama pasangannya, orang itu berteriak sambil menyeret seorang tentara. Bertiga mereka tercebur ke mulut sang maut.
Kejadian itu memicu kemarahan tentara lain. Mereka menghajar korban yang tersisa dan melemparkannya ke dalam gua. Dhorin, yang bukan target, ditinggalkan di semak-semak saat acara pembantaian itu usai.
Lepas dari maut, Dhorin harus menerima cap sebagai antek PKI. Sejak saat itu, setiap hari dia wajib lapor ke kantor kecamatan. Seusai melapor, Dhorin harus bekerja mengangkut batu untuk jalan dan jembatan, menyapu jalan, atau membersihkan kantor. Kegiatan ini dijalaninya selama 30 tahun.
Dhorin, yang kini menjadi sukarelawan Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966, masih bertanya, dosa apa yang pernah dibuatnya. Yang pasti, gara-gara kerja paksa, dia telah menelantarkan anak dan istrinya selama puluhan tahun. ”Tidak serupiah pun saya terima dari kerja itu,” katanya.
Dari arah dapur terdengar isak tangis istrinya, yang sejak awal nguping penuturan Dhorin kepada TEMPO. Wanita itu hingga kini masih menyimpan trauma. Dia selalu merinding setiap kali mendengar derap langkah orang-orang bersepatu lars.
Agung Rulianto, Dwijo U. Maksum (Blitar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini