SEMULA jarang orang berani mendekati gua ini kecuali Khasan Bakri, 81 tahun. Dia seolah menjadi juru kunci gua yang oleh penduduk sekitarnya disebut Luweng Tikus itu. Sudah 30 tahun lelaki ini tinggal sendirian di sebuah gubuk tak jauh dari gua angker tersebut untuk menggarap ladang di perbukitan. Dia hanya turun ke kampung bila kangen pada anak-istrinya atau bila persediaan makanannya habis.
Pada malam hari, dari mulut gua itu Mbah Bakri sering mendengar suara orang merintih kesakitan. Sering pula terdengar lolongan anjing liar yang membuat bulu kuduknya tegak. ”Suara-suara yang menyeramkan itu belakangan jarang muncul setelah saya rajin berdoa di dekat gua itu,” katanya.
Dari cerita orang-orang di kampungnya, Bakri memang sudah tahu bahwa Gua Tikus dulu pernah dijadikan kuburan massal. Di situlah, pada sekitar 1968, orang-orang yang diduga anggota Partai Komunis Indonesia dicemplungkan hidup-hidup. Dan kisah ini mengapung lagi setalah Agustus lalu diadakan penggalian oleh Yayasan Kasut Perdamaian. Apalagi, setelah digali sedalam 21 meter ditemukan tulang rahang manusia di sana.
Gua Tikus persisnya terletak di Dusun Kedunganti Kaliwaru, Desa Lorejo, Kecamatan Bakung, sekitar 50 kilometer dari Kota Blitar. Jalan menuju Desa Lorejo tidak terlalu bagus. Selain berdebu bila musim kemarau, banyak sekali tanjakan dan tikungan. Setelah sampai di sana, orang harus berjalan kaki menaiki dua bukit berbatu dan melintasi sebuah sungai untuk sampai ke gua itu.
Di sekeliling mulut gua nyaris tak ada pepohonan besar yang tumbuh. Tanah sekitarnya berbatu. Hanya ilalang yang bisa tumbuh. Orang yang tidak mengenal perbukitan ini bisa tercebur ke dalam gua karena sepintas mulut luweng tidak kelihatan.
Melongok dari mulut gua akan membuat orang gamang. Di dalamnya terdapat rongga sebesar kamar yang berbelok sehingga dasar gua tidak kelihatan dari atas. Pernah suatu saat warga sekitarnya mengukur kedalaman gua itu dengan tali yang diberi pemberat. Tapi, sampai menghabiskan tali sepanjang 300 meter, bandul belum juga menyentuh dasar gua. Karena itu, hingga kini orang hanya bisa bilang, gua itu dalamnya lebih dari 300 meter.
Mengapa disebut Gua Tikus? Ada sejarahnya. Dulu, usai masa pendudukan Jepang pada 1942, warga Desa Lorejo punya pekerjaan sambilan: berburu tikus. Soalnya, hewan ini telah merusak tanaman mereka sampai gagal panen. Karena kelaparan, tak sedikit pula orang yang menangkap tikus-tikus untuk dimakan. ”Yang diburu umumnya tikus wirok, yang sebesar kucing,” tutur Dhorin, bekas kepala dusun di Lorejo.
Nah, suatu hari ada sekelompok warga yang berburu tikus di perbukitan Kedunganti. Seekor tikus yang mereka buru kebetulan bersembunyi di balik batu yang cukup besar. Dengan menggunakan kayu, warga lalu mencongkel batu itu agar si tikus menampakkan diri. Tapi tiba-tiba batu itu meluncur ke bawah karena tanah di bawahnya ambrol, meninggalkan lubang yang menganga. Saat itulah warga setempat baru mengetahui di situ ada gua. Tapi tidak ada di antara mereka yang berani masuk, karena amat dalam. ”Orang lalu menyebutnya Luweng Tikus” kata Dhorin.
Saat penggalian Agustus lalu, gua itu sempat ramai dikunjungi orang. Tapi, setelah pelacakan kerangka mayat itu dihentikan, suasannya kembali sepi. Hanya Mbah Bakri yang masih setia menunggui di gubuknya. Sesekali ada juga orang yang bersemedi di sana dengan sesaji daging anjing. Mereka mengharapkan dapat ”bisikan” angka judi togel.
Orang-orang di sekitar gua itu memang percaya tempat itu cukup ”keramat” dan penuh misteri. Pernah suatu kali dikabarkan ada orang yang berhasil membuat bangkrut bandar judi di Tulungagung, Jawa Timur, setelah bersemedi di situ. Tapi tak seorang pun, termasuk Mbah Bakri, yang tahu mayat siapa saja dan berapa yang terkubur di sana.
Hadriani Pudjiarti dan Dwidjo U. Maksum (Bitar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini