Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Berawal dari D.N. Aidit

Buku yang membahas peristiwa G30S-PKI melalui sepak-terjang pemimpin pucuk PKI. Sayang, kesalahan cetaknya cukup mengganggu.

4 Oktober 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mengapa G-30-S/PKI Gagal?
(Suatu Analisis)
Pengarang: Mayjen (Purn.) Samsudin Sampul: Rahmatika Creative Design Tebal: xxxv + 316 Penerbit: Yayasan Obor (September 2004)

Inilah buku yang bercerita tentang sebuah kekalahan. Lebih tepat lagi, sebab-musabab kekalahan suatu kekuatan besar yang pernah menikmati kemenangan yang cukup gemilang (baca: juara empat) dalam pemilu pertama Indonesia pada 1955. Kita semua tahu bahwa kekuatan itu, Partai Komunis Indonesia (PKI), mendapat suara terbanyak setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU). Tapi, tak banyak yang tahu bagaimana kekuatan itu ambruk satu dasawarsa berselang.

Dan Mengapa G30S/PKI Gagal? (Suatu Analisis), karya Mayjen (Purn.) Samsudin, adalah buku yang membahas kepemimpinan dan manajemen militer PKI. Ya, sesuatu yang jarang tersentuh para pakar gerakan komunis di Indonesia. Sikapnya sama dengan "buku putih" pertama karya Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, yang berangkat dari naskah The Coup Attempt of the September 30 Movement (1968), ataupun "buku putih" kedua yang berjudul panjang-lebar, Gerakan 30 September, Partai Komunis Indone-sia, Latar Belakang, Aksi dan Penumpasannya (1994). Samsudin yakin bahwa PKI pelaku peristiwa berdarah itu. Namun, pendekatannya tidak dari sudut pandang "si pemenang"—sebagaimana kedua buku putih itu— melainkan dari telaah tentang "si kalah".

Buku Mengapa G30S/PKI Gagal? (Suatu Analisis) tak menafikan peran D.N. Aidit, sang pemimpin, yang mendongkrak citra PKI secepat kilat: dari peristiwa Madiun 1948, yang melekatkan cap "pengkhianat", hingga prestasinya mengambil hati para pemilih dalam Pemilu 1955. Setting politik waktu itu cukup kondusif. Di luar, keluar dari PBB dan konfrontasi dengan Malaysia dianggap mampu memecah konsentrasi Amerika Serikat, yang sibuk menghadapi komunis di Indocina. Di dalam, Nasakom dan Front Nasional menempatkan PKI dalam posisi penting.

Sejarah bergerak terus, tapi D.N. Aidit tidak mampu dan salah mengambil keputusan pada saat-saat kritis pelaksanaan kup. Termasuk pelaksanaan kup yang tidak dilakukan serentak. Padahal, dari persidangan mahkamah militer luar biasa, terungkap bahwa persiapan di seluruh Jawa sudah cukup baik. Suatu badan yang bertugas menggarap personel dan kesatuan-kesatuan TNI-AD telah merambah sampai kota-kota kecil di Jawa Tengah. Setengah dari pimpinan staf umum di tingkat Kodam juga telah dikuasai. Tak kurang dari tujuh batalion TNI-AD di Jawa Tengah, lima batalion di antaranya telah berjanji mendukung gerakan ini. Ditambah kekuatan seribu orang anggota Pemuda Rakyat. Kedua, konfrontasi dengan Malaysia digunakan PKI sebagai faktor pendadakan dari segi momentum. Gerakan PKI pada 30 September 1965 ini persis seperti pemberontakan partai tersebut pada tahun 1948 di Madiun. (hlm. 49).

Kesalahan fatal yang dilakukan D.N. Aidit adalah meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah tanpa maksud yang jelas pada dini hari, 2 Oktober 1965, beberapa jam setelah Soeharto mengambil inisiatif menghentikan kup. Di mata pengarang, seharusnya ia tetap tinggal di Jakarta, memimpin momentum kup yang sedang berjalan, bagai-manapun sulitnya, "the point of no return", katanya. Padahal, empat jam pertama, G30S belum hilang sama sekali dan pada saat itu harusnya D.N. Aidit bersikap all out dengan memerintahkan Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat supaya bergerak. Jika menganalisis persiapan yang dilakukan, D.N. Aidit pasti mampu mengimbangi manuver Soeharto.

Perginya D.N. Aidit ke Jawa Tengah tak hanya menjadi kesalahan, tapi juga menjadi teka-teki. Demikian pula menyangkut kematiannya. Ketergantungan D.N. Aidit pada Bung Karno sangat kuat. Ia juga sadar, partai yang dipimpinnya andalan Bung Karno untuk menjalankan Nasakom. Seharusnya, D.N. Aidit all out dan tidak bergantung pada siapa pun. Padahal pukulannya sudah masif, pada waktu yang tidak diharapkan, dan dilakukan pada titik terlemah. Inilah kegagalan D.N. Aidit dalam gerakan revolusi (hlm. 210).

Sayang sekali, buku yang bisa memperkaya wacana tentang gerakan komunis di negeri ini tersebut memiliki kelemahan serius. Rendahnya akurasi penyebutan nama orang, misalnya, bisa mementahkan semangat baca. Ya, kelemahan yang muncul terlalu dini, dalam kata pengantar. Sneevliet, pendiri Indische Social-Democratishe Vereniging, cikal-bakal PKI, dicetak dengan nama Neevliet. Juga ada bagian yang seolah menyelonong masuk: kisah perlindungan Wiranto saat kejatuhan Soeharto, yang tak ada hubungannya dengan tema buku ini.

Bayu Wicaksono, pemerhati masalah hukum dan sosial

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus