Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentang pembantaian itu, tentang ribuan orang Indonesia yang dibunuh pada tahun 1965-1966 itu, pernahkah kita bisa bicara dengan pikiran terang? Mungkin belum. Mungkin tak akan.
Tak mudah menentukan di titik mana cerita ini harus dibuka. Ada yang memulainya pada malam antara 30 September dan 1 Oktober itu, ketika sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat ditangkap oleh sepasukan tentara dan kemudian dibunuh di hutan karet agak di luar pusat kota Jakarta. Orang bisa mengatakan dari sinilah kekerasan berjangkit. Partai Komunis Indonesia dianggap sebagai penggerak pembunuhan awal itu. Maka dengan dendam dan ketakutan, seperti digambarkan dalam buku Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Massal yang Terlupakan (1965-1966), militer dan bukan-militer pun membantai beribu-ribu orang anggota PKI atau yang dianggap anggota PKI. Teror pun berkecamuk—dan sebuah pemerintahan baru ditegakkan.
Mengapa itu semua bisa terjadi? Pertanyaan ini segera bisa dibantah dengan: mengapa tidak? Kebuasan bukan barang asing dalam sejarah, dan yang pasti bukan dalam sejarah di kepulauan ini. Pada abad ke-17 di Mataram, tercatat Amangkurat I membinasakan 3.000 ulama yang dihimpun di alun-alun dalam waktu setengah jam.
Bukan karena orang Indonesia tak mampu mengendalikan kebengisannya sendiri, seperti ujar para analis murahan yang memakai kata Melayu "amok " sebagai penjelasan. Orang Indonesia juga makhluk yang merayap dalam sejarah—dan sejarah itu adalah sebuah perjalanan yang menakutkan. Kekerasan pada tahun 1965-1966 itu tak datang mendadak.
Awalnya dapat ditarik jauh ke masa sebelumnya. Mungkin sejak 1945: Indonesia mencoba berdiri sebagai republik yang merdeka, tapi dunia pascakolonial bukanlah sebuah lingkungan yang ramah. Hanya setahun setelah proklamasi kemerdekaan, datang aksi militer Belanda yang tak ingin kehilangan kekuasaannya di sini. Perang mempertahankan kemerdekaan tak dapat dielakkan. Hampir berbareng dengan itu, berkecamuk gerilya Darul Islam dari hutan-hutan Jawa Barat. Dari luar, Perang Dingin antara "blok kapitalis" dan "blok komunis" menularkan ketegangannya. Bergaung pula suara bersemangat dan teriak kesakitan negeri yang baru merdeka dan mencoba merdeka di tempat lain di Asia dan Afrika.
Gabungan semua itu menyebabkan sebuah dasawarsa yang tampak "normal", yang berakhir pada tahun 1958, sebenarnya menyimpan sesuatu yang "tak normal". Dalam masa itu Indonesia, dengan sebuah demokrasi parlementer, berniat mengelola konflik dan persaingan lewat partai, lembaga perwakilan rakyat, dan peradilan. Dengan kata lain, sebuah sistem yang ingin teratur tapi tetap terbuka, ketika pers bebas, partai bebas, dan hakim-hakim mandiri.
Tapi tentara tak menyukainya, terutama karena demokrasi ini meletakkan mereka di bawah kekuasaan sipil. Apalagi sistem ini selalu mudah dianggap sebagai kegaduhan yang meretakkan persatuan, sebuah mekanisme yang tak bekerja efektif, sebuah struktur yang "meniru Barat".
Di antara yang menentang demokrasi "Barat" ini adalah Presiden Sukarno. Maka ketika sistem demokrasi parlementer itu tak mampu mengatasi pembangkangan bersenjata sejumlah kolonel (yang dibantu CIA), Indonesia menempuh jalan radikal. Bung Karno membubarkan parlemen yang pada tahun 1955 dipilih rakyat dengan penuh harap. Ia juga mengharamkan partai politik yang dianggap menentangnya: pers diberangus.
Pada tahun 1958 "demokrasi terpimpin" pun berlaku, dengan Sukarno di pucuk. "Ekonomi terpimpin" juga diperkenalkan, perusahaan asing diambil alih dan dikendalikan tentara dan birokrat, yang akhirnya memimpin pelbagai bidang usaha (hingga hari ini). Di mana-mana, suasana "revolusi" dicanangkan untuk mencapai cita-cita dahsyat "sosialisme Indonesia". Dan sebagai lazimnya "revolusi", permusuhan pun dijadikan ajaran: ada "kawan" dan "lawan", ada kaum "progresif revolusioner" dan "kontrarevolusioner". Ketika Perang Dingin kian memanas di Asia—ketika AS kian terpojok di Vietnam dan "komunistofobia" menyebar ke mana-mana—suasana permusuhan itu menebarkan saling curiga yang menajam di Indonesia.
Sejak itu sebenarnya benih kekerasan tumbuh subur. Pelbagai organisasi dilarang, puluhan koran dibredel, orang-orang dipenjarakan tanpa diadili. Apa saja yang dinilai "kontrarevolusioner" dihajar. Retorika diberi aksen imperatif yang galak dan kekerasan jadi penanda utama ("Ganyang!" adalah kata yang paling bergema). Semua kekuatan politik, apalagi PKI, mengobarkan suasana "revolusioner" itu. Propaganda yang berapi-api bersipongang, dan hampir tiap kelompok politik mengerahkan pemuda berpakaian seragam dengan tampang siap tempur.
Akhirnya, sebuah ledakan. Itulah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965. Orang terus berdebat, siapa yang menarik picu: CIA? RRC? Yang agaknya belum dilihat adalah bahwa api "revolusioner" itu pada akhirnya dapat dipakai untuk membasmi siapa saja. Para jenderal yang malam itu dibabat semuanya dituduh "kontrarevolusioner". Tapi ketika pada awal Oktober 1965 Mayjen Soeharto membalas, ia juga menyatakan para pembunuh itu "kontrarevolusioner". Dengan atau tanpa CIA dan RRC, "revolusi" Indonesia telah siap memakan anak-anaknya sendiri.
Tak berarti dosa 40 tahun yang lalu itu sebuah kutuk bersama. Ada algojo yang menyembelih, menyiksa, mengurung orang yang tak bersalah selama bertahun-tahun: mereka itu pelaku kejahatan besar. Tapi kejahatan itu jadi seperti perkara ringan, sejak "membabat" adalah aksi yang sah dalam mencapai cita-cita besar, komunis ataupun antikomunis.
Maka ikut bersalah pula mereka yang waktu itu menguasai bahasa dan posisi, bila mereka tak bertanya: tak pernah salahkah cita-cita? Tak adakah batasnya? Bukankah batas itu tersimpul dalam hidup yang berharga sehari-hari?
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo