Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kisah warga Desa Muara Siran, Kalimantan Timur, yang terus berupaya menjaga kelestarian alamnya.
Usaha budi daya sarang walet menjadi mata pencarian utama warga Desa Muara Siran.
Mereka kini mengembangkan ekowisata Danau Siran yang disebut-sebut mirip Raja Ampat.
MATAHARI yang terik jatuh di atas Danau Siran, danau di antara hutan gambut di Desa Muara Siran. Cahayanya memantul di permukaan air danau di Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, itu. Di sekitar danau itu terdapat sejumlah bangunan kayu tempat sarang burung walet yang sekilas tampak seperti rumah dengan tinggi belasan meter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat Tempo bertandang ke Danau Siran pada akhir Januari lalu, suara panggilan walet dari bangunan kayu itu ramai bersahutan, bersaing dengan deru mesin perahu ces yang membelah danau. Di tepi danau yang bersebelahan dengan hutan gambut yang rimbun, burung-burung bangau terlihat bertengger di pepohonan. Beberapa di antaranya turun ke danau, sibuk berburu ikan santapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Danau Siran tak terlihat seperti umumnya danau. Airnya tidak berwarna kebiruan, tidak juga cokelat keruh. Air itu berwarna cokelat kehitaman mirip air teh yang kental, seperti air yang sering dijumpai di kawasan Mahakam Tengah—sebutan bentang alam antara hulu dan muara Sungai Mahakam—tempat ekosistem gambut banyak terhampar di Kalimantan Timur.
Di Danau Siran banyak tumbuh rasau. Tumbuhan berjenis pandan itu hidup berkumpul dan menjulang hingga puluhan meter di tengah danau dengan warna dominan hijau. Jika dilihat sekilas, kumpulan tumbuhan itu tampak seperti pulau karang, yang membuat para pelancong yang datang ke Danau Siran menyebutnya mirip destinasi wisata Raja Ampat di Papua Barat.
Danau Siran bagian dari lanskap alam Desa Muara Siran. Mayoritas wilayah desa yang berbentuk datar itu adalah lahan gambut sehingga sebagian besar kawasannya terendam air. Maka air berwarna kehitaman pun menjadi pemandangan umum di desa ini. Dari luas 42,2 hektare, sekitar 80 persen wilayah desa itu berupa hutan rawa sekunder serta sungai-sungai kecil dan sedang.
Desa Muara Siran bisa dijangkau melalui jalur darat dan sungai. Dari Samarinda, Tempo bersama rombongan Yayasan Konservasi Alam Nusantara dan Yayasan Biosfer Manusia naik mobil melalui jalur darat ke arah Tenggarong, lalu menuju tempat penyeberangan sungai di Kecamatan Muara Kaman. Total waktu perjalanan darat itu empat-lima jam. Dari sana, perjalanan dilanjutkan dengan perahu ces bermotor menyusuri sungai hingga sampai di Desa Muara Siran dalam waktu sekitar satu jam.
Jembatan di Kampung Wisata Desa Muara Siran, Kecamatan Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kaltim. TEMPO/Sapri Maulana
Setiba di Muara Siran, kami menuju Danau Siran yang berada di hulu desa itu. Di sana kami bertemu dengan Abdul Agus Nuraini, 50 tahun, Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Alam Muara Siran, yang menunggu di pondok rakit kayu ulin yang dibangun di atas Danau Siran.
Menurut Agus, kisah perjuangan masyarakat desanya mempertahankan lingkungan dan menolak dijadikan lokasi perkebunan sawit, lalu memilih membudidayakan sarang burung walet, tak lepas dari keberadaan Danau Siran. Kisah ini bermula pada sekitar 2012. Saat itu memang sedang marak-maraknya pembukaan lahan untuk perkebunan sawit di Kalimantan Timur. “Kami berpikir, jangan sampai perkebunan sawit masuk wilayah kami. Jika masuk, sawit akan mempengaruhi lingkungan hidup di wilayah kami. Dan itu memberi dampak tidak baik bagi mata pencarian kami yang bergantung pada kondisi alam,” kata Agus kepada Tempo, Senin, 17 Januari lalu.
Agus bersama sejumlah rekannya kemudian mengumpulkan warga. Mereka membahas dan memperkuat langkah menolak sawit. Akhirnya, mereka memutuskan menyusun tata ruang desa. Tak semuanya berjalan lancar begitu saja. Sebab, saat itu sempat terjadi reaksi pro dan kontra tentang akan masuknya perkebunan sawit ke Muara Siran.
Agus dan rekan-rekannya tak surut langkah. Mereka melanjutkan
rencana menyusun tata ruang desa. Agus lalu mengundang berbagai pihak, dari yayasan hingga tokoh masyarakat, untuk berdialog menyusun rencana. “Kami menyusun, di mana area mencari ikan, mencari kayu, wilayah peternakan, dan area perluasan kampung. Total ada 14 ruang,” ujar Agus.
Dalam penyusunan tata ruang desa itulah, Agus melanjutkan, kemudian terbentuk Lembaga Pengelola Sumber Daya Alam (LPSDA) Muara Siran. Agus dipercaya menakhodai lembaga tersebut. “LPSDA dibentuk pada 2014. Alhamdulillah, pada 2016 tata ruang kami rampung, ditandai dengan surat keputusan dari Bupati Kutai Kartanegara,” tutur Agus.
•••
PENELITI senior Yayasan Biosfer Manusia, Akhmad Wijaya, menyatakan bersyukur masyarakat Desa Muara Siran bisa mempertahankan serta menjaga hutan gambut dan tak tergoda perkebunan sawit. Jaya—sapaannya—menjelaskan, pada 2012, saat ia pertama kali berkunjung ke Muara Siran, tujuannya adalah melakukan survei seusai kebakaran gambut di wilayah itu.
Sebelum berangkat, berdasarkan tampilan citra satelit, Jaya melihat luas Danau Siran bertambah. Dari 42,2 ribu hektare luas Desa Muara Siran, dia menerangkan, hampir 100 persen berada di atas lahan gambut. Saat berkunjung ke sana, dia pun mulai memperkenalkan pentingnya lahan gambut kepada warga setempat. Jaya menyebutkan, dalam konteks penyerapan karbon, gambut adalah berlian, sementara bakau adalah emas. “Jadi awalnya tidak ada program spesifik. Saya hanya memperkenalkan dan menjelaskan kepada warga apa itu gambut,” katanya.
Warga menyusuri danau di Desa Muara Siran, Kecamatan Muara Kaman, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. TEMPO/Sapri Maulana
Ancaman terhadap keberadaan gambut di Muara Siran, menurut Jaya, makin di depan mata saat pemerintah setempat mengizinkan perusahaan sawit mengelola lahan seluas 15 ribu hektare. Jaya bersyukur warga menolak kehadiran perusahaan sawit dan memilih mengembangkan usaha sarang walet serta menangkap ikan di danau.
Saat itulah Jaya dan lembaganya mulai ikut mendampingi warga Muara Siran. Ia dan lembaganya kemudian membantu masyarakat desa mendekati pemerintah untuk turut mengambil peran menjaga gambut di Kutai Kartanegara, termasuk di Muara Siran. “Jadi 70 persen lahan gambut di Kalimantan Timur, yang sekitar 400 ribu hektare, ada di Kutai Kartanegara, dan paling luas ada di Desa Muara Siran,” ujarnya.
Berbagai upaya pendekatan yang dilakukan masyarakat Muara Siran akhirnya membuahkan hasil. Pada 2017, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara mengeluarkan surat keputusan tentang kawasan konservasi, yang antara lain mencakup Desa Muara Siran. Kemudian terbit peraturan daerah tentang pengelolaan gambut.
Sejak saat itulah peluang masyarakat Muara Siran melestarikan gambut berlanjut. Apalagi, selain terancam pembukaan lahan untuk perkebunan, hutan gambut di Muara Siran rentan terbakar. Menurut catatan, kebakaran besar pernah terjadi pada 1982, 1983, 1997, dan 1998. Namun kebakaran tak pernah terjadi lagi seiring dengan makin ramainya usaha sarang walet di Muara Siran. Warga paham, hutan yang rusak akan mempengaruhi usaha sarang walet mereka.
Langkah warga Muara Siran menjaga alam pun mempengaruhi penghasilan mereka, baik dari penangkapan ikan maupun pengelolaan sarang walet. “Masyarakat Muara Siran banyak yang senang dengan usaha pengelolaan sarang waletnya. Waktu kerja mereka lebih luang, duduk-duduk, bekesahan (bercerita) dapat cuan,” ucap Jaya.
•••
GELIAT budi daya sarang burung walet masyarakat Desa Muara Siran bermula dari belasan tahun lalu. Sebelum usaha sarang walet menjadi mata pencarian utama, warga setempat hidup dengan menangkap ikan air tawar dari sungai dan danau. Pada 2010, mereka mulai melirik usaha budi daya sarang walet, yang tak mengubah danau dan lingkungan lain di wilayah desa, tapi justru mengharuskan mereka menjaga alam. Warga juga merasa usaha itu sangat pas karena tak menuntut banyak waktu. Mereka hanya perlu menjaga wilayah sekitar hutan dan mengantisipasi maling sarang.
Penjabat Kepala Desa Muara Siran, Anedy, menuturkan, dari 350 keluarga di desanya, lebih dari 80 persen hidup dari usaha sarang walet. Maka jangan heran jika mendengar suara kicau burung dari pemutar suara di tiap sarang bersahutan memanggil walet agar bersarang saat kita bertandang ke Muara Siran.
Menurut Anedy, modal membangun sarang walet lebih murah di desa ini. Sebab, warga menggunakan kayu dari pohon kahoi yang ada di tepi danau. “Tapi tak boleh banyak-banyak, hanya secukupnya untuk membangun sarang walet,” ujarnya.
Deretan pohon rasau di Danau Siran, Desa Muara Siran, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. TEMPO/Sapri Maulana
Anedy mengungkapkan, warga desa berpandangan bahwa menjaga danau dan hutan dapat meningkatkan produktivitas serta kualitas sarang walet. Karena itu, warga bersemangat menjaga danau dan hutan, yang juga menjadi habitat sejumlah satwa langka yang dilindungi. Adanya semangat perekonomian itu membuat warga termotivasi untuk terus menjaga lingkungan di Muara Siran.
Pada 2010, ketika usaha budi daya sarang walet mulai menggeliat di Muara Siran, Anedy melanjutkan, hanya ada satu sarang di desanya. Dua tahun kemudian, jumlahnya bertambah menjadi dua. “Kini ada ratusan sarang walet di Desa Muara Siran,” katanya.
Boleh dibilang usaha sarang walet mulai booming di Muara Siran pada 2015. Saat itu harga sarang mencapai Rp 8 juta rupiah per kilogram. Ketua Lembaga Pengelola Sumber Daya Alam Abdul Agus Nuraini pun tak mau ketinggalan mengelola usaha sarang walet. Sejak 2016, Agus membangun sarang sendiri. “Selain posisi sarang yang dibuat berada di atas danau, makin dekat sarang dengan hutan hasilnya biasanya lebih banyak. Berbeda-beda hasilnya tiap sarang,” ucapnya.
Agus mengatakan harga sarang walet saat ini bergantung pada kualitasnya. Jika berkualitas bagus, sarang bisa dijual seharga Rp 100 ribu per lembar, dan jutaan rupiah jika mencapai 1 kilogram. Dalam setahun, kisaran penghasilan warga dari usaha sarang walet puluhan hingga ratusan juta rupiah. Menurut Agus, warga Muara Siran juga mendapat penghasilan dengan cara mencari ikan di danau. “Rata-rata per hari bisa menghasilkan sekitar Rp 200 ribu,” katanya.
Agus bersyukur warga berhasil menolak perkebunan sawit masuk ke Danau Siran. Dia menjelaskan, dengan memiliki usaha sendiri, warga lebih nyaman dan bebas berekspresi. “Daripada kerja di kebun sawit, dapat ratusan ribu, kemudian lingkungan rusak. Hutan rusak, hasil sarang walet juga terpengaruh,” ujarnya.
Kini warga Muara Siran juga mulai mengembangkan potensi Danau Siran sebagai tujuan wisata alam. Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata Desa Muara Siran, Rodi Hartono, untuk memfasilitasi para wisatawan, mereka membuat sebuah bangunan terapung di Danau Siran. Bangunan dari kayu itu menjadi tempat singgah yang dilengkapi fasilitas toilet. Mereka juga menyediakan beberapa kano untuk wisatawan yang ingin berkeliling di sekitar tumbuhan rasau di Danau Siran.
Keberadaan tumbuhan rasau di Danau Siran itu viral beberapa bulan terakhir karena sempat dikira sebagai pulau-pulau oleh warganet di media sosial. Dari dekat, tumbuhan rasau itu terlihat seperti pandan, tapi ia tumbuh berdempetan. Tinggi rasau mencapai belasan meter dari permukaan danau. Rasau memiliki buah yang berbentuk seperti nangka dan cempedak. Hanya, buah tersebut tak bisa dikonsumsi. “Pernah saya coba, rasanya pahit,” kata Rodi.
Sarang burung walet di Danau Siran, Desa Muara Siran, Kalimatan Timur. TEMPO/Sapri Maulana
Saat ini, Rodi melanjutkan, semua fasilitas penunjang wisata di Danau Siran itu masih gratis karena kawasan wisata belum dibuka secara resmi. Rencana pembukaan destinasi wisata itu sempat terhambat pandemi Covid-19.
Warga yang hendak berkunjung ke kawasan wisata yang disebut-sebut mirip Raja Ampat itu saat ini cukup membayar biaya sewa perahu ces berkapasitas tujuh orang. Dari Muara Kaman ke Desa Muara Siran, biayanya Rp 350 ribu. Adapun ongkos sewa perahu dari Desa Muara Siran menuju lokasi wisata Rp 350 ribu pulang-pergi. “Pembangunan ini masih bertahap, akan kami lengkapi. Nanti akan ada peresmiannya,” ujar Rodi.
Rencananya, tutur Rodi, konsep wisata di Danau Siran adalah ekowisata. Rute akses dari danau ke hutan akan ditetapkan. Kemudian wisatawan akan singgah di kawasan habitat hewan di hutan sekitar danau. “Jadi di titik-titik yang menarik rencananya kami bangun pondok. Kami juga ingin memasang penguat sinyal agar warga yang berkunjung, setelah foto-foto, bisa langsung meng-upload ke media sosial,” ucapnya.
Rodi berharap pembangunan destinasi wisata di Danau Siran dapat menarik pengunjung. Dia menjelaskan, jika pengunjung ramai, hal itu akan menjadi peluang baru bagi warga untuk menambah pundi-pundi pemasukan yang merupakan buah upaya menjaga alam. “Pengunjung ramai, jadi ikan-ikan tangkapan bisa laku. Bisa juga ikan itu dibuat abon untuk dijual,” kata Rodi, menangkap peluang usaha lain.
Ketua LSPDA Agus Nuraini, yang mendampingi Rodi, menyebutkan, sembari memantapkan pembangunan fasilitas penunjang destinasi wisata di Danau Siran, LPSDA akan menggelar pelatihan untuk warga, seperti pembuatan abon, perahu, dan pernak-pernik yang bernilai guna. “Kami juga ingin membangun menara pantau sehingga dari menara itu bisa melihat dari ketinggian indahnya Danau Siran,” ujar Agus.
SAPRI MAULANA (SAMARINDA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo