Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepucuk surat melayang ke kantor Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, 14 Agustus lalu. Isinya lumayan galak: kritik keras atas kinerja pengurus pusat PDIP Perjuangan. "Dengan keprihatinan yang dalam kami sampaikan bahwa kami telah kehilangan kepercayaan kepada Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan...," demikian sepenggal bunyi surat itu.
Kalangan dalam "Partai Banteng" menyebut surat tersebut sebagai mosi tidak percaya kader PDIP kepada pengurus pusat partai pimpinan Megawati Soekarnoputri itu. Sang pengirim adalah dua "singa" PDIP: Meilono Suwondo dan Sophan Sophiaan. "Sebetulnya ada beberapa orang lain yang juga ingin teken. Tapi saya cegah. Biarlah risikonya saya ambil," kata Sophan.
Mosi Sophan dan kawan-kawan adalah puncak perseteruan dalam tubuh Partai Banteng. Babak terbaru perseteruan itu adalah polemik seputar jajak pendapat Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDIP yang hasilnya tak menggembirakan. Dalam polling itu PDIP disebutkan akan kalah dengan Golkar dalam Pemilu 2004 dan Megawati tak bakal terpilih lagi menjadi Presiden RI.
Alih-alih memperbaiki kinerja partainya, kader Banteng malah saling seruduk. Isi pertemuan Balitbang 25 Juli lalu bocor dan sampai ke telinga Megawati. Kwik lalu menyarankan Balitbang dibubarkan—usul yang membuat Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional ini dianggap mengkhianati Sophan dan kawan-kawan. Belakangan muncul ide menyelenggarakan kongres luar biasa untuk menggusur Mega. Sophan didaulat untuk menjadi tokoh yang menggantikan Mega.
Bergabung dengan PDI pada 1991, Sophan mengaku tak gentar. "Saya siap jadi martir," katanya. Putra tokoh Partai Nasional Indonesia (almarhum) Manai Sophiaan ini memang sudah kepalang tanggung. Ia terpilih menjadi anggota parlemen dan hengkang dari lembaga itu pada 24 Januari 2002 karena menganggap badan legislatif tersebut menyimpan banyak borok.
Meski tak lagi berkantor di Senayan, ia mengaku sebagai pengacara. "Mak-sudnya pengangguran banyak acara," katanya terbahak. Di tengah kesibukan menerima telepon dan mempersiapkan pernikahan putra sulungnya awal September nanti, Sophan menerima wartawan TEMPO Endah W.S. dan Arif Zulkifli untuk sebuah wawancara khusus. Berikut ini petikannya.
Apa sebenarnya yang terjadi dalam rapat Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) PDIP 25 Juli lalu?
Kami membicarakan kebobrokan pemerintah dan kelemahan kepemimpinan Megawati. Itu saja. Ini kan bukan pertemuan Balitbang yang pertama.
Anda diundang?
Selama ini saya merasa sebagai orang luar karena saya sudah keluar dari DPR. Jadi nggak ada minatlah. Tapi, mendengar itu semua, saya berminat kembali untuk ikut membenahi Partai. Artinya, kita semua sependapat, harus ada perbaikan dalam tubuh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP. Peristiwa yang berkembang kan macam-macam: ada pemecatan kader PDIP di daerah, ada campur tangan DPP soal pemilihan gubernur. Lalu ada isu politik uang di Kalimantan Timur, Lampung, Jakarta, dan Bali. Itu semua meresahkan sekali. Kami hanya ingin semua ini diperbaiki.
Siapa saja yang hadir dalam pertemuan itu?
Macam-macam. Ada Amris Hasan, Roy B.B. Janis, Noviantika Nasution, Meilono Suwondo, Arifin Panigoro, Julius Usman, Kwik Kian Gie, Haryanto Taslam, dan saya sendiri.
Mengapa Kwik dalam pertemuan itu disebut-sebut berkhianat?
Hasil polling yang diadakan Balitbang PDIP menunjukkan popularitas Megawati dan PDIP akan turun dalam pemilu nanti. Ini merisaukan kita. Tapi Kwik bilang hasil polling itu nggak betul. Meilono marah. Dia bilang, "Lo, Pak Kwik, you ini kan Ketua Litbang. Apa you nggak percaya sama hasil jajak pendapat yang you bikin sendiri?" Kwik tetap bilang nggak percaya. Sambil ngeloyor pergi, Meilono membanting kertas itu di depan Kwik. Di luar, Meilono mengirim SMS ke saya. Dia bilang nggak tahan melihat kelakukan Kwik. Kelihatannya Kwik kaget melihat reaksi Meliono saat itu. Saya juga kaget. Saya pikir nggak perlu begitu karena Kwik kan tetap orang yang lebih tua dari kita.
Apa argumentasi Kwik?
Dia katakan Mega masih kuat terutama kalau kita lihat di desa-desa. Menurut dia, dengan pemilihan presiden langsung, orang seperti Amien Rais atau lainnya nggak dikenal. Orang mengenal Mega karena anak Bung Karno.
Lo, apa yang salah dengan penjelasan ini?
Kwik berbalik. Sebelumnya dia keras mengkritik Mega. Kwik Kian Gie selalu memotivasi kami untuk melakukan koreksi dan perbaikan terhadap kinerja pimpinan pusat PDIP. Sekarang dia berbalik 180 derajat. Dia membela Mega, membela pemerintah.
Bukankah Kwik selama ini dikenal sebagai orang yang vokal di PDIP?
Saya dengar dari rapat di DPP sekitar dua minggu lalu, Kwik mengaku bersikap kritis terhadap pemerintah karena ingin mendapat informasi sebanyak-banyaknya dari kami. Pertemuan 25 Juli dianggap mewakili orang-orang yang memiliki ideologi yang berbeda dengan mereka (Kwik dkk.—Red.). Saya geli mendengarnya. Baru setelah mendengar kabar ini, saya pikir Meilono tidak salah membanting kertas di depan Kwik.
(Kepada TEMPO, 22 Agustus lalu, Kwik membantah pernah mengucapkan di depan DPP dua minggu lalu bahwa sikap kritisnya selama ini adalah untuk mengorek informasi dari mereka. Kwik menambahkan, sebenarnya dirinya tidak peduli mau dituduh apa lagi oleh mereka. Membantah atau tidak pun dia merasa dirinya tetap saja dicap sebagai "manusia comberan".)
Sebelumnya Anda tidak curiga pada Kwik?
Saya sering diundang rapat Balitbang. Biasanya dalam pertemuan itu Kwik mengundang pers. Saya sering merasa nggak enak hati melihatnya. Ini kan rapat intern, kenapa mesti ada pers? Tapi ternyata Kwik yang mengundang. Motivasinya apa, saya nggak tahu.
Apa pendapat Anda pribadi tentang Kwik?
Saya masih ingat bagaimana dia pernah mengatakan PDIP adalah partai yang paling korup. Saya dengar akhirnya dia minta maaf. Kalau memang Kwik mendukung semua kebijakan Mega dan DPP, blak-blakan saja dari pertama. Perbedaan pendapat kan biasa. Tapi, kalau sampai memata-matai kami, itu sebuah kejahatan luar biasa. Tapi saya pikir Kwik begitu karena dia mulai tersingkir (dari lingkaran dalam PDIP), lalu berbalik.
Dalam pertemuan itu sempat terlontar ide untuk mengganti Ketua Umum PDIP Megawati?
Begini. Jangan karena popularitas Mega menurun lalu kita ingin mengganti dia. Kita menganggap kinerja PDIP di bawah Mega ini tidak optimal. Kesimpulan ini merupakan hasil pengamatan selama berbulan-bulan. Bukan hanya dari polling tapi juga dari laporan lisan masyarakat. Saya kan orang film, jadi cukup dikenal. Di pompa bensin, di supermarket, mereka mengeluhkan hal itu kepada saya. Kami berkesimpulan, harus ada pemisahan antara Mega sebagai Ketua Harian PDIP dan Mega sebagai kepala negara. Jadi bukan menuntut Mega mundur.
Tapi nama Anda muncul sebagai alternatif pengganti Mega?
Dalam beberapa pertemuan Kwik selalu bertanya, jika harus diganti, siapa yang akan menggantikan Mega. Teman-teman lalu mendaulat saya. Saya bilang saya nggak berani dan nggak mampu. Memimpin partai kan tidak sama dengan memimpin organisasi biasa. Kita harus mampu membuat konsep berbangsa dan bernegara.
Tapi kenapa belakangan Anda mau?
Dalam pertemuan 25 Juli Kwik bertanya lagi. Meilono menunjuk saya. Saya jawab, oke, saya berani. Saya akan mengambil alih kepemimpinan, tapi dengan syarat ada dukungan dari kawan-kawan semua. Sebetulnya saya cuma mau untuk sementara—sampai Kongres PDIP 2005. Selama itu saya akan menjadi katalisator untuk meredam berbagai konflik dan kekecewaan di daerah. Saya tahu itu ada risikonya. Saya bisa dipecat atau mungkin dicelurit orang di jalan. Tapi saya nggak peduli. Saya siap jadi martir.
Bagaimana tanggapan Kwik saat itu?
Dia diam karena ini kan hanya rapat biasa. Dalam rapat seperti itu semua perasaan kecewa itu biasa terlontar—termasuk yang menggunakan kata-kata kotor. Yang salah adalah isi rapat itu lalu bocor keluar. Yang saya tahu rapat itu memang direkam dan ada transkripnya. Ada anggota DPP yang menyayangkan mengapa sampai keluar kata-kata keras. Jika tidak direkam, nggak mungkin orang tahu dengan detail isi rapat itu.
Betulkah Kwik sendiri yang membocorkan rapat itu?
Saya yakin 100 persen. Keyakinan ini sama dengan keyakinan saya jika mencium bau kentut padahal hanya ada dua orang di satu ruangan. Bukan saya yang kentut tapi saya nggak bisa pegang (bukti) bahwa lawan bicara itu yang kentut. Apalagi belakangan di pertemuan DPP Kwik ngomong bahwa selama ini dia sengaja bersikap melawan DPP untuk memata-matai kami. Dia melakukan itu tak hanya kepada kami tapi juga kepada orang-orang dalam pertemuan lintas fraksi. Alvin Lie (anggota DPR asal Partai Amanat Nasional) sampai mengontak saya. Katanya, ternyata selama ini kita bicara kepada orang yang salah. (Kepada TEMPO Kwik membantah telah membocorkan isi rapat. Di ruang itu, katanya, tak ada alat perekam. "Lagian, apa sih yang tidak bocor di negeri ini. Rapat kabinet saja bisa bocor," katanya. Ia curiga peserta lainlah yang menceritakan isi pertemuan ke mana-mana [lihat TEMPO 24 Agustus 2003].)
Tak lama setelah peristiwa itu, Kwik menulis surat yang meminta DPP membekukan Balitbang. Apa bisa?
Tidak bisa, dan Kwik tidak berhak membubarkan Balitbang. Yang berhak adalah DPP. Yang saya tahu, semua anggota DPP kecuali Kwik dan beberapa orang lainnya nggak setuju.
Anda tak khawatir kemelut ini akan tambah merontokkan PDIP dalam Pemilu 2004?
Saya ini selalu diajari bahwa kebenaran, betapapun pahitnya, harus diungkapkan. Apalagi PDIP ini kan partai demokrasi. Karena itu kemudian saya pertengahan bulan lalu mengirim surat ke DPP. Semacam mosi tidak percaya.
Siapa saja yang menyiapkan surat itu?
Surat itu saya tulis bersama Meilono Suwondo setelah kami bertemu dengan teman-teman dari daerah. Mereka mengatakan ingin berbuat sesuatu tapi nggak berani. Jadi, saya pikir, apa pun resikonya, surat itu harus saya tulis dan dikirimkan ke DPP.
Reaksi DPP?
Saya dengar mereka mengatakan bahwa mereka tidak mengenal mosi tidak percaya dari anggotanya. Karena itu mereka menolak adanya kongres luar biasa (KLB).
Menurut Anda, seberapa mungkin KLB bisa digelar untuk mengganti Megawati?
Menurut Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai, KLB harus dihidupkan atas permintaan dua pertiga cabang (pengurus di tingkat kabupaten) di seluruh Indonesia.
Mungkinkah itu tercapai?
Menurut saya, 95 persen daerah menghendaki penyegaran dalam tubuh Partai. Mereka merasa DPP telah jadi diktator. Banyak kader daerah yang menelepon saya dan kawan-kawan yang lain. Mereka ke DPP tapi tidak diterima. Dari Lampung, misalnya, ada laporan mereka tiba-tiba dipanggil DPP dan diminta memperjuangkan calon gubernur tertentu. Nggak lama datang lagi orang lain dari DPP lalu bilang, "Jangan dia, tapi ini saja calon gubernurnya." Lalu dibantah lagi untuk anggota DPP lainnya. Ada juga orang DPP yang kemudian datang minta proyek. Itulah yang terjadi. Sebagai kader Partai, saya malu.
Seberapa jauh Anda meyakini telah terjadi politik uang dalam tubuh PDIP?
Saya nggak tahu karena saya nggak ada bukti. Yang pasti, ada satu teman yang datang ke DPP karena mau jadi bupati di suatu tempat. Di DPP dia langsung dikenai tarif Rp 300 juta. Mereka bilang kalau orang lain tarifnya lebih mahal, bisa sampai Rp 1 miliar. Tapi, karena teman, cukup Rp 300 juta. Tapi saya sendiri nggak punya bukti.
Bisakah kita katakan kemerosotan moral partai ini disebabkan oleh kepemimpinan Megawati yang lemah?
Itu jelas sekali. Kalau Mega bisa sedikit tegas, ini semua tidak akan terjadi.
Bagaimana pengaruh Taufiq Kiemas?
Saya membantah jika Taufiq yang menyebabkan ini semua. Saya lihat sendiri bagaimana Mega pernah menyuruh Taufiq keluar ruangan ketika dia sedang rapat dengan anggota DPP.
Bagaimana persiapan PDIP menjelang pemilu? Adakah kekhawatiran Golkar akan melindas PDIP tahun depan?
Sekarang kekhawatiran saya begini: kalau PDIP yang menang, apakah negara ini tidak lebih parah dibandingkan dengan jika Golkar yang menang? Saya berpendapat lebih baik partai ini dibenahi dulu.
Anda tidak tertarik pindah ke partai lain?
Banyak partai lain yang mencoba menarik kami. Kami belakangan juga sering diundang oleh calon-calon presiden. Saya tetap menyampaikan kepada mereka bahwa saya orang PDIP. Walaupun sementara ini calon presiden saya adalah Siswono Yudhohusodo (Menteri Perumahan Rakyat di era Orde Baru).
Lo, mendukung calon di luar Mega kan melanggar keputusan Kongres PDIP?
Saya kan selain kader Partai juga pribadi yang independen. Saya mendukung Siswono sebagai pribadi. Jadi nggak apa-apa, ha-ha-ha.... n
Tanggal lahir: 26 April 1944 Pendidikan:
Pekerjaan:
|
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo