Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA mirip gadis Harajuku: memakai baju dan celana pendek penuh warna, kaus kaki pelangi di atas lutut, sepatu wedge dengan tempelan di sana-sini. Gayanya centil, juga riang. Tapi coba lihat lebih lekat motif pada bajunya. Bukankah dia memakai batik?
Dia memang bukan gadis Jepang yang suka nongkrong di Shibuya, Tokyo, dengan dandanan unik. Ia hanya seorang model yang memperagakan koleksi batik bergaya Harajuku dari Lennor-second line (merek nomor dua) perancang Lenny Agustin. Koleksi itu mendapat tepuk tangan meriah dari pengunjung Indonesia Fashion Week (IFW) di Balai Sidang Senayan, Jakarta, akhir bulan lalu.
Keesokan harinya, Lenny menampilkan koleksi dari merek utamanya. Dalam koleksi bertema Offerings ini Lenny menjadikan kebaya Bali sebagai inspirasi. Tapi jangan bayangkan akan melihat kebaya seperti yang dipakai perempuan Pulau Dewata ke pura. Di tangan Lenny, kebaya warna-warni itu diubah menjadi lebih muda. Ia melepas pakem kebaya yang selama ini identik dengan brokat dan payet. Bajunya kaya dengan aplikasi kain, rajutan, dan bordir.
Soal warna, desainer yang selalu tampil dengan gaya rambut pixie ini terlihat ekspresif. Kebaya merah bisa terlihat menyatu dengan rok pensil di atas lutut berwarna hijau. Di atas kebaya, terdapat aplikasi kain hitam di pinggang dan pinggul. Kemudian ada kebaya merah muda dilapis bolero rajutan tanpa lengan berwarna biru dan rok mini oranye.
Selain Lenny, selama acara itu berlangsung pada 23-25 Februari lalu, ada puluhan perancang yang memamerkan koleksinya di atas catwalk. Salah satunya adalah Imelda Kartini, yang menampilkan busana menjelang kiamat ala film Mad Max. Bahan-bahan seadanya dililit-lilitkan di tubuh dengan berbagai cara. Masker untuk melindungi napas dari udara yang berpolusi harus dipakai. Sepatu bot adalah alas kaki yang wajib dikenakan.
Tentu saja, ini bukanlah hal baru di dunia mode. Sejumlah desainer, baik dalam dan luar negeri, pernah memakainya. Namun Imelda tampaknya mengerti benar apa yang harus dia munculkan dalam koleksinya agar tampak berbeda dengan yang lain.
Selain keduanya, ada Jeffry Tan, yang mengeksplorasi gaya 1980-an: celana gombrong ala rapper Mc Hammer dibuat lebih indah. Sedangkan Nikicio mengangkat lagi gaya grunge namun dengan warna-warna pastel. Mardiana Ika dengan label Ika Butoni mengemas kekayaan budaya Indonesia menjadi karya modern. Ika menyajikan gaun mini, aneka rok, mantel, bolero hitam pekat.
Ada banyak karya menarik lain yang ditampilkan para desainer sepanjang empat hari itu. Tapi, kalau hanya menampilkan koleksi menarik, kenapa IFW harus digelar? Toh, tiap tahun setiap desainer menggelar pameran sendiri. Selain itu, IFW bukanlah satu-satunya pekan mode di Indonesia. Sejak empat tahun lalu Jakarta Fashion Week sudah digelar. Tahun ini pun akan tetap dilaksanakan.
Dina Midiani, Direktur IFW, punya jawaban. "Event utama Indonesia Fashion Week ini bukan peragaan busana, tapi pameran dagangnya," kata Dina. IFW yang pertama kalinya digelar kali ini memang punya cita-cita menjadi lokomotif industri mode Indonesia. Maklum, sejak lahirnya mode Indonesia pada 1970-an, dunia mode Indonesia belum naik kelas. Sebagian besar desainer, menurut perancang mode Mardiana Ika, hanya menjadi "pembuat pola dan tukang jahit".
Yang dimaksud Ika, selama ini perancang mode lebih banyak melayani pembuatan busana secara khusus (made by order). Masih amat jarang perancang yang berani masuk ke bisnis ready to wear. Bisnis busana siap pakai memang butuh modal besar dan rencana yang matang. Setiap enam bulan sekali mereka harus siap membuat puluhan bahkan ratusan busana yang belum tentu laku. Berbeda dengan busana siap pakai biasa, pasar busana ready to wear yang fashionable memang terbatas. Kualitas bahan dan kesulitan pengerjaan (karena bentuk yang tidak standar), membuat baju mereka lebih mahal-Rp 750 ribu hingga Rp 5 juta. Modal dan risiko besar inilah yang membuat desainer bertahan di zona nyaman.
Agar tak terus-menerus jadi "tukang jahit" itulah pekan mode seperti IFW digelar. Keinginan ini sejalan dengan rencana pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode Asia pada 2015 dan salah satu pusat mode dunia pada 2025. Terlalu ambisius, memang. Tapi, di luar soal target yang agak mustahil dicapai itu, Indonesia sebenarnya memiliki modal untuk ke sana. Dibandingkan dengan sejumlah negara Asia lainnya, kecuali Jepang, kreativitas desainer Indonesia terbilang maju. Hal ini ditandai dengan keberhasilan sejumlah perancang kita di ajang internasional (baca: Di Dunia Mereka Berjaya). Indonesia juga memiliki kekayaan tekstil tradisional yang bisa memperkuat karakter desain perancang negeri ini.
Selain itu, kita juga memiliki banyak pabrik garmen yang dipercaya merek-merek mode dunia untuk memproduksi koleksi mereka secara massal. "Masalahnya, antara desainer dan pemilik garmen itu belum ada kerja sama," kata perancang muda Stella Rissa, yang berkeras masuk ke busana siap pakai. Menurut dia, untuk bisa masuk ke industri mode, garmen, desainer, pabrik tekstil, pemodal, dan peretail harus berkolaborasi. "Seperti lima jari tangan. Tanpa kerja sama, tak mungkin kita bisa meraih sesuatu," kata Stella lagi.
Menurut Stella, seharusnya pabrik garmen tidak hanya mengerjakan pesanan dari luar negeri. "Mereka harus berani ambil risiko membuat brand sendiri yang desainnya dibuat oleh perancang kita. Awalnya pasti berdarah-darah, karena ini adalah brand baru. Tapi setelah itu keuntungan mereka lebih besar daripada hanya mengerjakan pesanan orang," kata dia.
Sebaliknya, kata dia, desainer harus mau memangkas ego dan idealisme, membuat baju yang lebih ramah pasar. Tanpa itu, para desainer hanya membuat baju dalam jumlah terbatas yang jatuhnya pasti lebih mahal.
Mardiana Ika, yang menggelar Bali Fashion Week selama delapan tahun, kerap menemui desainer yang mengalami kesulitan itu. Kerap, ketika melayani pemesanan dari luar negeri dalam jumlah besar, perancang kita tidak bisa memenuhi dari kualitas dan kuantitas yang diminta. "Karena permintaan besar, barangnya dibagi ke beberapa teman perancang. Padahal, beda tangan, berbeda pula pengerjaannya. Hasilnya tidak sama dan itu mengecewakan pembeli," kata Ika, yang berhasil mengekspor busananya ke 35 negara.
IFW tampaknya ingin mengatasi masalah itu bersama empat kementerian-Perdagangan, Perindustrian, Pariwisata dan Industri Kreatif, serta Koperasi. "Pilot project-nya adalah membuat national brand. Kami akan membuat satu merek dagang yang mengeluarkan konsep tertentu, lalu barangnya disuplai oleh desainer dan dipasarkan bersama," kata Dina. Mereka juga akan membuat lembaga tren seperti yang dimiliki Prancis, agar koleksi para desainer di satu musim memiliki benang merah. "Tanpa itu, kita tak akan bisa jadi trend setter," kata Dina lagi.
Sebagai batu loncatan menuju ke sana, Dina berharap desainer Indonesia dapat terlebih dahulu menaklukkan pasar lokal. Diaz Persada, Creative Director Jakarta Fashion Week, sepakat. "Desainer lokal sebenarnya tidak perlu menjual barangnya ke luar negeri," katanya. "Ekspor hanya memberi nilai tambah pada produk, konsumen lokal banyak." Paling tidak, target pasar mereka yang menengah atas mulai mau memakai produk lokal. "Dulu pakai Gucci, sekarang pakai Biyan," kata dia.
Qaris Tajudin, Hadriani P., Sorta Tobing
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo