Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dharmasraya: Kerajaan di Tepian Batanghari

Bhairawa, arca berbentuk raksasa menyeramkan, sampai sekarang tetap menjadi maskot dan primadona Museum Nasional Jakarta. Arca itu disebut-sebut sebagai simbol rohani Raja Adityawarman, penguasa Kerajaan Dharmasraya di Sumatera dari abad ke-14.

Tak banyak yang kita ketahui mengenai Kerajaan Dharmasraya, karena perihal kerajaan itu hanya disebut di prasasti Amoghapasa dan Negarakertagama. Diduga Dharmasraya dahulu adalah kerajaan yang kuat sehingga Singasari memintanya menjadi mitra untuk menahan pelaut-pelaut Kubilai Khan.

Wartawan Tempo Febriyanti melakukan perjalanan ke Padang Roco, tepian Sungai Batanghari. Padang Roco adalah lokasi yang diduga sebagai pusat Kerajaan Dharmasraya dahulu dan tempat ditemukannya arca Bhairawa. Reportasenya dilengkapi dengan tulisan mengenai Uli Kozok, ahli aksara-aksara kuno Sumatera asal Jerman yang menemukan naskah tua di Kerinci yang bisa sedikit membuka tabir Kerajaan Dharmasraya.

21 Januari 2008 | 00.00 WIB

Dharmasraya: Kerajaan di Tepian Batanghari
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Tepian Sungai Batanghari, Padang Roco, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat. Di situlah arca Bhairawa setinggi 4,41 meter dengan berat 4 ton, yang menakutkan, pernah berdiri gagah.

Patung raksasa dengan kaki menginjak tengkorak manusia yang dikaitkan dengan perwujudan Raja Adityawarman di tahun 1347 itu pada 1935 diangkut pemerintah Hindia Belanda ke Kebun Margasatwa Bukittinggi.

Dua tahun kemudian, patung tersebut dibawa ke Batavia. Sampai kini, patung itu menjadi maskot koleksi Museum Nasional Jakarta. Bila Anda datang ke Museum Nasional Jakarta, begitu melangkah ke pintu masuk, pandangan mata Anda pasti tertumbuk pada sesosok patung bersosok demon. Banyak pengunjung Museum Nasional yang tercekam melihat perwujudannya yang mengerikan, tapi sampai kini tak tahu asal-usulnya.

Dan pagi itu kami—saya dan beberapa teman wartawan—menaiki perahu bermesin 5 PK menuju tempat ditemukannya arca Bhairawa. Arah menuju lokasi adalah hulu Sungai Batanghari yang mengalir ke laut lepas dari arah timur. Pemilik perahu sebenarnya agak enggan membawa kami karena arus sungai yang disebabkan oleh hujan semalam sebelumnya masih deras. Pagi itu masyarakat juga masih mencari dua warga yang terseret arus. Tapi, dengan berbekal pelampung dan cuaca yang cerah, kami tetap berangkat.

Dari atas perahu, saya merasakan arus Batanghari yang mengalir tenang. Dalam kondisi agak banjir seperti hari itu, tepian sungai melebar, hingga lebar Batanghari mencapai 200 meter. Dan akibat banjir itu, tidak sulit membayangkan lalu lintas Sungai Batanghari tujuh abad lalu, saat Kerajaan Melayu sedang berjaya. Di masa lalu, lebar Sungai Batanghari 500 meter dan panjangnya sekitar 800 kilometer, dengan dalam lebih dari 5 meter. Ia menjadi ”jalan raya” penting bagi kapal-kapal dari Muara Jambi di Selat Malaka sampai ke pedalaman Sumatera Barat.

Menempuh perjalanan tiga kilometer, perahu yang saya tumpangi merapat di tepian Padang Roco, bekas pusat Kerajaan Dharmasraya. Kami kemudian mendaki. Tak lama, sampailah saya di tempat ditemukannya arca Bhairawa. Dari tempat ketinggian itu, terlihat Sungai Batanghari mengalir di bawahnya.

Dulu arca Bhairawa berdiri memandang ke arah Sungai Batanghari. Dipastikan, siapa saja yang melewati sungai besar yang menjadi ”jalan raya” utama dari Selat Malaka di Muara Jambi ke pedalaman Sumatera Barat akan mudah melihatnya. Arca Bhairawa itu dahulu sengaja ditempatkan di Padang Roco karena tempat ini merupakan gerbang masuk menuju pusat pemerintahan Kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Arca Bhairawa bukan satu-satunya peninggalan arkeologi yang ditemukan di kawasan itu. Sekitar 200 meter dari lokasi ditemukannya arca Bhairawa, ada Candi Padang Roco, yang terletak di tengah padang rumput. Di situ ditemukan arca Garuda kecil dari perunggu setinggi 15 sentimeter. Dari semua patung yang ditemukan di situ, memang arca Bhairawa yang paling besar dan bentuknya paling menakutkan.

Hal itu sampai kini melahirkan beberapa pendapat. Mengapa Adityawarman menyimbolkan dirinya sebagai arca Bhairawa yang bersifat demonis? Mengapa Adityawarman menampilkan dirinya dengan raut muka penuh amarah dengan tangan kanan memegang pisau seolah-olah siap dihunjamkan kepada musuh? Mengapa kakinya menginjak tubuh manusia ringkih dan ada delapan tengkorak kepala berjejer di bawah telapaknya? Apakah ada hubungannya dengan agama Tantrayana?

Menurut analisis Bambang Budi Utomo, arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional yang intensif meneliti Kerajaan Melayu di Sumatera, pada waktu itu Adityawarman tengah merasa terancam oleh agama Islam yang telah berkembang di Aceh sekitar akhir abad ke-13. Bukti tentang perkembangan Islam di Sumatera saat itu bisa didapat dari Marcopolo tahun 1292 dan adanya nisan makam Malik as-Saleh tahun 1297. Adityawarman, kata Bambang Budi, khawatir apabila sebagian besar penduduk Melayu beragama Islam; keadaan itu merupakan ancaman bagi kekuasaannya. ”Arca Bhairawa itu dapat dipandang sebagai lambang yang harus melindungi negara Adityawarman terhadap penyebaran agama Islam.”

Sesungguhnya, menurut cerita-cerita penduduk setempat, arca besar yang ada di Padang Roco bukan hanya Bhairawa. Bakhtiar, 54 tahun, Wali Jorong Sungai Lansek, Kabupaten Dharmasraya, menuturkan ada perempuan di sana yang sekarang berusia 80 tahun masih ingat kejadian sewaktu dia kecil di zaman kolonial Belanda. Patung Bhairawa itu sebenarnya berpasangan dengan satu patung Bhairawa perempuan.

”Patung besar itu dulu ada dua buah. Patung itu kemudian tersenggol gajah yang dulu hidup liar, lalu patung itu miring dan terjatuh. Dulu, kata nenek itu, penduduk sering menjadikan arca itu tempat mengasah parang,” katanya.

Berdasarkan cerita penduduk zaman dulu, kata Bakhtiar, ketika diangkut ke rakit yang jaraknya hanya sekitar 5 meter dari tepi Sungai Batanghari, satu arca terjatuh dan nyemplung ke dalam sungai yang dalamnya lebih dari dua meter di bagian tepi Batanghari yang airnya cokelat itu. Arca itu tidak pernah ditemukan hingga kini.

Nurmatias, Kepala Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang, memperkirakan tempat jatuhnya arca itu kini tidak lagi di dalam sungai. Setelah Batanghari mengecil, tempat jatuhnya arca kini berada di area yang sudah dijadikan sawah oleh penduduk. ”Meski begitu, belum ada program untuk mencarinya,” kata lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia yang pernah menjadi anggota tim pembangunan Candi Padang Roco itu.

l l l

Padang Roco dianggap sebagai pusat Kerajaan Dharmasraya karena, selain arca Bhairawa, di sana pernah ditemukan alas arca Amoghapasa, pada 1911. Arca Amoghapasa sendiri ditemukan di situs Candi Rambahan, 10 kilometer ke arah hulu Batanghari.

Besar kemungkinan Amoghapasa dulunya terletak di Padang Roco, lalu untuk penghormatan kepada Raja Mauliwarmadewa, raja pertama Dharmasraya, Adityawarman menaruhnya di Rambahan, tempat yang lebih ke hulu dan tinggi. Adityawarman juga membubuhkan tulisannya di punggung arca tersebut pada 1347 Masehi.

Arca Amoghapasa, yang kini juga berada di Museum Nasional Jakarta, sejak 1880-an, memiliki tinggi 163 meter, lebar 97-139 sentimeter, dan terbuat dari batu andesit. Amoghapasa adalah bukti kebesaran Kerajaan Dharmasraya di masa silam. Arca itu merupakan pemberian Kertanegara, Raja Singasari. Arca itu dikirim dengan pelayaran yang terkenal dengan nama ekspedisi ”Pamalayu”.

Meski banyak ahli di masa lalu menafsirkan Pamalayu sebagai sebuah ekspedisi penaklukan Dharmasraya, banyak ahli sekarang yang menafsirkan sebaliknya. Justru Pamalayu kini dianggap sebagai bentuk uluran tangan persahabatan Kertanegara kepada Maulawarman.

Informasi penting pengiriman Amoghapasa adalah teks yang tertulis di alas arca bertanggal 1208 Saka (22 Agustus 1286). Tulisan itu menginformasikan Amoghapasa dikirim oleh Kertanegara bersama 14 pengiringnya. Isi prasasti ini, menurut Bambang Budi Utomo, tidak menunjukkan adanya indikasi penaklukan Singasari atas Dharmasraya seperti yang banyak dikemukakan para pakar sejarah.

Menurut Bambang, Kertanegara membutuhkan persahabatan dengan Kerajaan Dharmasraya karena ia berkepentingan membendung ekspansi tentara Mongol yang hendak menyerang Singasari. Ekspedisi Pamalayu itu dilakukan Kertanegara setelah Kertanegara melukai utusan khusus Kubilai Khan. Letak wilayah Dharmasraya, yang secara geografis di antara daratan Asia dan Singasari, diharapkan menjadi benteng penahan serangan Mongol.

Artinya, Kerajaan Dharmasraya saat itu tidak dipandang sebelah mata oleh Singasari dan kemudian Majapahit. Tapi persoalannya sejauh ini—meski diperkirakan Dharmasraya adalah kerajaan yang sangat penting—para arkeolog hanya menemukan nama Dharmasraya dalam dua sumber sejarah. Pertama dari prasasti abad ke-13 Amoghapasa di atas yang ditemukan di Rambahan dan Sungai Langsat dan di Museum Nasional, dan kedua dalam lontar Negarakertagama pada abad ke-14. Selain itu, tidak ada lagi yang menyebutkan Dharmasraya.

Maka, ketika ahli linguistik Uli Kozok menemukan lontar di desa wilayah Kerinci yang membicarakan undang-undang Kerajaan Dharmasraya, hal itu merupakan sebuah temuan berharga (lihat ”Tersembunyi di Periuk Tanah”). Temuannya makin menguak tabir kebesaran Dharmasraya. Yang menjadi pertanyaan sekarang juga adalah apa penyebab keruntuhan Kerajaan Dharmasraya. Kenapa candi dan patung peninggalan Hindu-Buddha di sana banyak yang rusak dan terkubur?

Bambang Budi Utomo belum bisa memastikan penyebab kemunduran Dharmasraya. Kemungkinannya barangkali, menurut dia, setelah terus berkembangnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam di pantai timur Sumatera seperti di daerah Riau, Dharmasraya makin lama makin terdesak. ”Akhir hidup Adityawarman juga belum bisa disingkap oleh para arkeolog,” katanya. Tapi ia meyakini hancurnya bangunan-bangunan candi di daerah Batanghari lebih banyak disebabkan oleh alam

atau oleh tangan manusia yang mencari harta karun yang tidak pernah ada.

”Saya belum mengetahui adanya penghancuran atribut agama Buddha ketika Islam masuk. Kalau terjadi penghancuran, tentunya ada di dalam laporan Belanda tentang benda-benda purbakala yang termuat dalam Rapporten Oudheidkundige Commissie atau Rapporten Oudheidkundige Dienst,” ujarnya.

Febriyanti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus