Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aliran Hindu-Buddha yang dikembangkan Adityawarman dan dua generasi di atasnya adalah aliran Buddha Wajrayana, yaitu bagian dari Buddha Mahayana yang sangat dikenal dengan upacara Bhairawa-nya. Para penganutnya melakukan ritual menari di atas tumpukan tulang-belulang sambil mabuk-mabukan dan minum darah binatang.
Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional yang tekun meneliti aliran Buddha Wajrayana di Sumatera, menunjukkan gambar yang terpahat pada sosok arca perwujudan Adityawarman yang ditemukan di Padang Roco. Sosok itu berdiri di atas mayat laki-laki yang terlipat pada bantalan teratai dan dikelilingi delapan tengkorak manusia. Pada mahkotanya yang bentuknya menyerupai umbi, terdapat sebuah arca Aksobhya kecil memakai jamang dan hiasan telinga seperti yang dikenakan pada arca-arca Majapahit.
Hiasan lain berupa anting-anting serta gelang berbentuk ular pada bagian lengan dan pergelangan tangannya, seperti yang dikenakan pada arca-arca Dwarapala di Jawa. Sarungnya berpola tengkorak yang pinggiran bawahnya sampai ke lutut memakai ikat pinggang dengan ikatan berhiasan manik-manik serta hiasan permata berbentuk kala. Dari mulut hiasan kala ini keluar rantai berujung genta. Bertangan dua; tangan kiri memegang pisau pemotong kurban dan tangan kanan memegang mangkuk dari tengkorak manusia.
Upacara Bhairawa yang dilakukan oleh Adityawarman dapat diketahui dari prasasti yang dipahatkan di bagian belakang arca Amoghapasa yang ditemukan di Rambahan itu. Angka tahun pada arca Amoghapasa menunjuk tahun 1268 Saka (1347 Masehi) dan dikeluarkan oleh Sri Maharaja Diraja Adityawarman.
Dalam prasasti itu, Adityawarman menyebut dirinya dengan nama Úrîmat Úrî Udayâdityawarmman. Selanjutnya, prasasti ini menyebutkan penyelenggaraan upacara yang bercorak tantrik, penahbisan arca Buddha dengan nama Gaganaganja, dan pemujaan kepada Jina.
”Aliran Wajrayana di Sumatera diduga kuat masuk dari Jawa, yang anasirnya dibawa ketika Dinasti Sailendra berkuasa di Sumatera pada abad ke-8-9 Masehi,” kata Bambang Budi Utomo. Tantrayana lahir bukan dari India, tapi dari sekitar Tibet. Diduga berasal dari Jawa, karena pada Candi Borobudur, yang dibangun pada abad ke-8, sudah ada indikasi Tantrayana. Di Candi Bumiayu, Sumatera Selatan, Tantrayana sudah tampak pada abad ke-10 Masehi.
Menurut Bambang, aliran ini di Sumatera berkembang pesat pada sekitar abad ke-11 Masehi dengan pusat-pusat keagamaannya di Padanglawas, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Di Padanglawas sendiri, di kawasan seluas 1.500 kilometer persegi, banyak terdapat kompleks percandian di daerah aliran Sungai Barumun dan Pane.
Di situs itu, misalnya, ditemukan arca Heruka. Heruka adalah salah satu dewa dalam panteon Buddha yang cukup dikenal. Menurut kepercayaan para penganutnya, apabila mengadakan pemujaan terhadap Heruka, orang yang memuja itu akan masuk nirwana dan selalu unggul dalam menaklukkan semua mâra di dunia.
Menurut penelitian Bambang Budi Utomo, di Sumatera, agama Buddha aliran Tantrayana agaknya dianut juga oleh sebagian besar rakyat. Sebagaimana yang tersirat dalam isi prasasti: ”Semoga hadiah itu membuat gembira segenap rakyat di bhûmi mâlayu, termasuk brâhmaòa, ksatrya, waiúa, sûdra dan terutama pusat segenap para âryya, úrî mahârâjâ úrîmat tribhuwanarâja mauliwarmmadewa.”
Febriyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo